webnovel

Marodo Qalbi

Setelah selesai menonton youtube. Barra segera membersihkan diri. Kamar pemuda ini sangat luas dia terbiasa dengan kaos dan celana pendeknya.

Seusai mandi dia kembali memegang buku itu lalu duduk di pinggir ranjang.

"Ha ...? Marodo Qolbi? Sakit hati karena cinta?" bacanya, dia tengkurap di atas ranjang.

"Cinta itu memang tidak harus memiliki. Cinta secara positif adalah cinta yang tidak memaksa dan tidak terobsesi. Aku mengganggu minyak sejak lama. Namun, apa daya kalau memang kita berjodoh. Aku mengikhlaskan dia untuk sahabatku, walau aku sendiri merasakan cinta yang teramat dalam. Cinta adalah perasaan yang istimewa dan tidak bisa dipaksa. Akupun tidak berjuang karena aku tidak ingin merusak persahabatan yang aku jalin dengan Zalina.

Biarlah cinta ini terbang, kemana pun dia pergi, biarkan juga aku merasakan sakit ini. Buku merah jambu, kamu adalah sebuah alasanku untuk menggambarkan dan menuliskan semua perasaanku. 

Luka ini pasti akan sembuh dengan sendirinya, memang butuh waktu untuk mengikhlaskan sesuatu. Lagian aku juga selalu ingat firman Allah SWT. La tahzan innallaha ma'ana. 

Sakit ini begitu hebat dan begitu nyeri, namun aku tidak mau terpuruk dalam keadaan ini. Aku memandang banyak orang, lalu aku sadar, perasaanku ini hanyalah secuil dari cobaan yang tidak terlalu berat. 

Banyak dari mereka yang kekurangan, yang sulit makan, tidak ada tempat untuk berteduh. Jika mengingat itu maka aku akan bersyukur bagaimana baiknya Allah kepadaku. 

Cinta dan pengorbanan untuk sahabat itu memang sudah ada pada zaman Nabi. Cinta sahabat Salman Al Farisi. Kisah yang sangat menggetarkan perasaanku. Hingga akupun larut dan menangis. 

Bagaimana adat melamar wanita di kalangan masyarakat Madinah? Bagaimana tradisi Anshar saat mengkhitbah wanita? Demikian yang dipikirkan Salman. Ia tak tahu-menahu mengenai budaya Arab. Sedang dia sangat tidak sabar agar dapat segera meminang pujaan hatinya. Tentu saja mengkhitbah tidak bisa sembarangan tiba-tiba datang mengkhitbah wanita tanpa persiapan yang matang. 

Dia pun kemudian mendatangi seorang sahabatnya yang merupakan penduduk asli Madinah, Abu Darda'. Ia bermaksud meminta bantuan Abu Darda' untuk menemaninya saat mengkhitbah gadis impiannya. Mendengarnya, Abu Darda' pun begitu bahagia. 

"Subhanallah wa alhamdulillah," ujarnya begitu senang mendengar sahabatnya berencana untuk menikah. Ia pun memeluk Salman dan bersedia membantu dan mendukungnya. 

Setelah beberapa hari mempersiapkan segala sesuatu, Salman pun mendatangi rumah sang gadis dengan ditemani Abu Darda'. Keduanya begitu gembira. Setiba di rumah wanita salihah tersebut, keduanya pun diterima dengan baik oleh tuan rumah.

"Saya adalah Abu Darda' dan ini adalah saudara saya, Salman dari Persia. Allah telah memuliakan Salman dengan Islam. Salman juga telah memuliakan Islam dengan jihad dan amalannya. Ia memiliki hubungan dekat dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Bahkan, Rasulullah menganggapnya sebagai ahlu bait (keluarga)-nya," ujar Abu Darda' menggunakan dialog bahasa Arab setempat dengan sangat lancar dan fasih. 

"Saya datang mewakili saudara saya, Salman, untuk melamar putri Anda," lanjutnya kepada tuan rumah lalu menjelaskan maksud kedatangan mereka. 

Mendengarnya, wali dari gadis rumah merasa terhormat. Tentu saja, ia kedatangan dua orang sahabat Rasulullah yang utama. Salah satunya bahkan berkeinginan melamar putrinya. "Sebuah kehormatan bagi kami menerima sahabat Rasulullah yang mulia. Sebuah kehormatan pula bagi keluarga kami jika memiliki menantu dari kalangan sahabat," ujar ayah si wanita.

Namun, sang ayah tidaklah kemudian segera menerimanya. Seperti yang diajarkan Rasulullah, ia harus bertanya pendapat putrinya mengenai lamaran tersebut. Meski yang datang adalah seorang sahabat Rasul, sang ayah tetap meminta persetujuan sang putri.

"Jawaban lamaran ini merupakan hak putri kami sepenuhnya. Oleh karena itu, saya serahkan kepada putri kami," ujarnya kepada Abu Darda' dan Salman al Farisi.

Sang tuan rumah pun kemudian memberikan isyarat kepada istri dan putrinya yang berada di balik hijab. Rupanya, putrinya telah menanti memberikan pendapatnya mengenai pria yang melamarnya. Mewakili sang putri, ibunya pun berkata, "Mohon maaf kami perlu berterus terang," katanya membuat Salman dan Abu Darda' tegang menanti jawaban.

"Maaf atas keterusterangan kami. Putri kami menolak lamaran Salman," jawab ibu si wanita tentu saja akan menghancurkan hati Salman. Namun, Salman tegar. Aku juga harus tegar. IngyaAllah banyak laki-laki yang shaleh nanti. Aamiin. 

Tak sampai di situ, sang ibunda melanjutkan jawaban putrinya yang semakin menghancurkan hati Salman."Namun, karena kalian berdualah yang datang dan mengharap ridha Allah, saya ingin menyampaikan bahwa putri kami akan menjawab iya jika Abu Darda' memiliki keinginan yang sama, seperti Salman," kata ibu si wanita salihah idaman Salman yang diinginkannya untuk menjadi istri. Namun, justru wanita itu memilih Abu Darda', yang hanya menemani Salman.

Jika seperti pria pada umumnya maka hati Salman pasti hancur. Ha ... aku juga. Ia akan merasakan patah hati yang teramat sangat, apalagi aku. Namun, Salman merupakan pria saleh, seorang mulia dari kalangan sahabat Rasulullah. Dengan ketegaran hati yang luar biasa, ia justru menjawab, "Allahu akbar!" seru Salman girang.

Ya allah berilah aku kesabaran. Aamiin. Dia adalah embun yang terlihat namun mudah menguap saat mentari semakin beranjak. Dari kisah itu pun aku merasakan kalau  masalahku. Hanya masalah sepele, dan pasti akan ada akhir bahagia. Aamiin. Aku menulis ini agar aku selalu ingat bahwa apa yang aku inginkan tidak mesti tercapai dan harus ikhlas melepasnya."

Tulis Afrin, di bawahnya ada gambaran mawar dan kelopaknya yang gugur dari tangkai.

Setelah membaca itu ide muncul dari pikiran pemuda itu. Dia segera beranjak, meraih ponsel dan mencari nomer Dosen Rusdi.

Tutttt!

Tutttt!

Panggilan menunggu.

"Assalamualaikum. Halo, maaf ini dengan siapa?" jawab Rusdi. Barra malah menggigit bibirnya dan tubuhnya bergetar hebat dan terus menggerakkan kaki resah. Dia mengusap keringat yang mulai keluar dari telapak tangannya.

"Wa'alaikumsalam," jawabnya dengan suara bergemetar. Dia sangat gugup dan tidak terkendali deru napas cepat.

"Barra ya?" tanya Pak Rusdi.

"Iya Pak. Seratus untuk Bapak," ceplosnya. Dia segera membungkam bibirnya dan mengerutkan kening sambil menepuk dahinya.

'Kenapa aku ngomong begitu. Dasar Barra!' batinnya, kesal pada diri sendiri.

"Hehehe, kamu lucu," ujar Rusdi.

"Ekhm. Apa Bapak punya Adik yang bernama Afrin?" tanya Barra dengan ekpresi memejamkan mata dan membungkam bibir.

"Iya. Kenapa? Kamu suka sama Afrin?" tanya Rusdi.

"Banget Pak." Dia bergumam dan menjauhkan ponselnya agar Dosennya tidak mendengar ucapannya.

"He, bukan itu. Tadi saya menemukan buku. Saya terinspirasi untuk taubat. Apa boleh, jika saya berguru ke Pak Rusdi? Saya ... ingin taubat dan mendapat bimbingan secara langsung," jelasnya sambil menggerakkan kaki dan harap-harap cemas.

"Bukan modus agar dekat dengan Afrin 'kan?" tanya Rusdi.

"Tau banget nih orang," gumamnya menjauhkan ponsel.

"Huk, huk, ekhm. Intinya tidak ada yang mengajariku agama. Takutnya salah guru 'kan bahaya," kilah Barra lalu tersenyum merasa bisa mencari alasan yang benar.

"Baiklah besok kita bertemu setelah jam kuliah. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," jawab Barra menutup telepon dengan bahagia.

"Hiak ... Yes!" Teriaknya girang lalu membating tubuh di kasur.

Bersambung....