Burung-burung mengipaskan sayapnya di langit jingga, serangga kecil yang berbaris itu masuk ke dalam lubangnya.
Danau itu menjadi cermin bagi mentari yang ingin melihat sinarnya, seruan ibu-ibu memanggil pulang malaikat kecil mereka.
suara seruling seorang pemuda yang duduk di tepian, menjadikan kedap suara sang pengembala yang menggiring domba masuk kandang.
suasana sore di desa ini menjadi candu baginya, setiap bunyi yang diterima ia tirukan dengan seruling yang berbahan bambu kuning.
"Tama,, ayo pulang!" seorang pria tua berjenggot putih memanggil sang pemuda, namun seruling itu masih berhembus kencang dengan tangannya yang makin menari selaras dengan angin, semua pepohonan seakan ikut menari bersamanya, menikmati setiap detik sebelum malam.
Tama meletakkan tasnya di teras, "Apa yang kau lakukan di sana? setiap hari kau duduk main seruling" ucap pria pada Tama yang sedang membersihkan kakinya.
"menikmati masa mudaku" Tama membantu pria itu menyusun kayu bakar ke kolong rumah.
"Aahhh,, apa yang kau maksud menikmati masa muda dengan duduk tak melakukan apa-apa di sana? bukan itu yang kau lakukan jika ingin menikmati masa mudamu." Tama hanya diam mendengar ocehannya.
"Kau tau? ketika aku seusia denganmu, aku sudah berkelana meninggalkan rumahku, aku mencari pengalaman di desa-desa yang kudatangi, bermain dengan anak seusiaku di sana, belajar dengan orang yang lebih tua, dan menjadi pelindung bagi orang yang membutuhkan."
Tama hanya melanjutkan pekerjaannya meski terdapat sedikit senyuman di wajahnya.
"Jika kau ingin menikmati masa muda, keluarlah dari desa ini dan cari jati dirimu sebagai pemuda yang berani, jangan seperti katak dalam tempurung seperti ini." pria itu tak berhenti mengoceh.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Tama mengambil pakaiannya dan bersiap untuk mandi di tepi danau yang dekat dari gubuk itu.
sedangkan sang pria berjenggot itu menyiapkan api dan tungku untuk memasak makanan yang ia beli di pasar tadi.
Sebuah lampu minyak menerangi Tama yang sedang membuka kulit singkong rebus yang masih panas, sedangkan sang pria memakan ikan bakar yang terakhir.
"Tama, kenapa kau tidak mau untuk keluar dari desa dan berkelana ke kota seperti yang dilakukan anak-anak seumuranmu?" pertanyaan itu tidak menghentikan Tama yang sedang menikmati makan malamnya.
"Pikirkanlah, hanya kaulah anak muda yang tidak pergi merantau di desa ini, semua temanmu telah pergi, dan mungkin mereka sudah menjadi orang sukses di luar sana."
Tama melihat wajah pria itu, lalu menarik nafas yang cukup berat dan lanjut makan singkong.
seakan sudah terbiasa baginya mendengar pria itu membahas hal yang sama, setelah selesai makan ia duduk di teras yang terbuat dari anyaman bambu dengan sebuah lampu minyak di sudut penyangga.
namanya adalah Tama, seorang pemuda yang hanya bisa membaca dan menulis. ia tak melanjutkan pendidikannya, sebab untuk makan saja mereka hanya mencari kayu bakar dan menjualnya.
Tama hanya tinggal dengan pamannya, pria itu bernama Adi. orang tuanya telah meninggalkannya sejak Tama masih berumur dua tahun, dan sejak itu pula Adi lah yang menggantikan peran mereka.
Adi adalah abang dari ibu Tama, dia dulu adalah seorang guru di salah satu sekolah menengah namun kembali pulang ke desa setelah mendapat kabar bahwa adiknya Sri meninggal.
Tama sangat menyayangi pamannya itu, mereka hanya tinggal berdua dan rumah mereka berada di sudut desa.
Tama tak pernah mengeluh tentang kehidupannya, dia hanya menuruti yang dikatakan oleh pamannya meski terkadang pamannya sering mengoceh untuk meninggalkannya.
Namun Tama tak bisa meninggalkan pamannya sendirian, dia akan tetap tinggal di desa sambil menemani pamannya yang sudah tua itu.
keseharian Tama hanya dihabiskan untuk mencari kayu di hutan, sehingga dia sangat jarang berinteraksi dengan warga desa yang lain.
Tama hanya berinteraksi jika seseorang menyapanya atau saat dia membeli sesuatu di pasar.
meski wajah Tama cukup tampan, dia sama sekali tidak tertarik untuk mendekati wanita-wanita di desa.
banyak ibu-ibu di desa yang mendatangi Tama dan menyuruhnya untuk menikah dengan putri mereka, karena Tama sangat rajin dan memiliki perilaku yang baik.
Namun Tama tak pernah menganggap mereka serius, di pikirnya dia hanyalah seorang pencari kayu bakar dan bagaimana bisa untuk menghidupi keluarganya jika dia menikah.
di siang hari, setelah Tama mengumpulkan beberapa kayu, ia naik ke atas pohon yang biasa ia datangi.
Dari pohon itu dia bisa melihat dengan jelas gunung yang begitu tinggi dan hutannya yang lebat, Paman selalu berkata kepadanya bahwa dibalik gunung itu Tama bisa melihat kehidupan yang lebih luas.
perkataan pamannya memang sudah lama berkeliaran di pikirannya, namun dia tidak bisa meninggalkan desa jika harus meninggalkan pamannya sendirian.
paman Adi juga tidak ingin lagi keluar dari desa, dia sudah terlalu tua untuk itu.
Tama kembali ke rumah, ia membelah kayu dengan kapak dan menyusunnya sejajar agar kering terjemur matahari.
"Heyy.. potonglah rambutmu! ada tukang potong rambut di tengah desa." ucap paman yang duduk di teras sembari memperhatikan Tama.
"Tidak usah paman, aku suka rambut model begini". "Bagaimana mungkin kau menyukai hal seperti itu, lihatlah! kau terlihat tua dari umurmu." ucapnya
"Yang penting aku masih terlihat lebih muda darimu" ucap Tama sambil tersenyum pada pamannya.
paman mengambil sesuatu dari dalam saku celananya, "Ini, ambillah, potong rambutmu yang bagus!, biar rapi." paman mengulurkan tangannya.
Tama berhenti dan melihat ke arah pamannya, "lebih baik kau beli obatmu dengan duit itu, tak perlu kau menahan batukmu di depanku, aku lebih mengetahuimu dari dirimu sendiri pak tua"
Tama menguncir rambutnya, lalu melanjutkan kembali pekerjaannya.
Hari yang terus berlanjut seperti biasa, kayu bakar banyak kering dan sudah saatnya untuk menjualnya ke desa.
Tama menaikkan beberapa ikat kayu ke gerobak, lalu mendorongnya ke tengah pasar untuk dijual.
Banyak yang membeli kayu bakar milik Tama, dan kebanyakan dari mereka datang untuk membeli hanya karena ingin mencari perhatian dari pemuda itu.
tak sampai setengah hari semua kayu sudah terjual habis, Tama pulang dengan membawa ikan segar dan obat untuk paman.
Tama melihat pamannya yang sedang membelah kayu, "Tidakkah sudah keropos tulangmu? mungkin saja kayu itu lebih kuat darimu." ucap Tama.
"eehh,, tidak perlu tenaga yang banyak jika kau bisa menggunakan otakmu dalam bekerja". "jika tidak dengan tenaga, bagaimana kau membelah kayu yang dua kali lebih besar darimu?"
"Lebih baik kau siapkan tungku dan api!, aku akan memasak ikan bakar hari ini." ucap Tama sambil mengambil kapak dari pamannya.
setelah makan malam selesai, mereka berdua duduk di teras dan ditemani singkong bakar untuk lalapan.
"Tama,, sudah berapa umurmu?" ucap paman. "sebentar lagi dua puluh tahun, januari nanti". "sudah dewasa rupanya, aku masih ingat saat kau menangis ketika tidak bisa turun dari pohon itu." ucap paman sembari tertawa pada Tama.
"Selama delapan belas tahun ini, tak ada sesuatu yang berharga kuberi padamu." paman melihat Tama sambil menahan tangisnya.
"Aku tak pernah menyangka bahwa ibumu akan lebih dulu pergi daripada aku, mungkin jika dia masih hidup kau takkan kesusahan seperti ini." ucapan Paman menjadikan malam itu begitu sendu.
Tama yang tidak pernah tahu bagaimana wajah ibunya hanya bisa membayangkan kehidupan jika kedua orang tuanya masih hidup.
mungkin keceriaan akan menghiasi kesehariannya, tak perlu mencari kayu di hutan dan tidak perlu terbakar matahari yang begitu panas.
namun semuanya tidak pernah begitu dipikirkan oleh Tama, dia hanya ingin melakukan apapun untuk pamannya.
Paman adalah segalanya, tidak ada yang lebih berharga daripada itu baginya.