webnovel

prolog

Aku tidak pernah membayangkan jika harus hidup berjauhan dengan kedua orang tua. Bagi mereka, pendidikan agama adalah nomor satu. Memang benar, ilmu agama adalah satu-satunya tabungan untuk kedua orang tua menuju surga. 

Namaku Syafira, saat ini aku duduk di kelas 9b di salah satu SMP di kota Indramayu.Semua bermula dari kekhawatiran kedua orang tua atas pergaulan remaja akhir-akhir ini yang tidak sehat. Mereka khawatir aku terjerumus dalam dunia terlarang. Sehingga mereka diam-diam mendaftarkanku ke pesantren. Mungkin mereka pikir aku adalah anak yang penurut dibanding kedua kakakku yang lain. 

Pagi itu, saat aku hendak pergi ke sekolah, seperti biasa kami menyempatkan sarapan pagi bersama. Segelas susu dan roti sudah ada di meja tersebut. Tak ketinggalan, ada nasi goreng kesukaanku yang biasa ibu buat setiap pagi. Kami berlima makan bersama di meja itu. 

"Sya, kapan kamu ujian?" tanya ibu sembari mengoles roti dengan selai coklat untuk bapak.

"Bulan depan, Bu. Memang kenapa tanya soal ujian?" Jawabku sambil menyantap lahap nasi goreng buatan ibu.

"Ibumu sudah tidak sabar ingin mengunjungi sekolah barumu," celetuk Bapak.

"Sekolah baru? Maksud Bapak?" tanyaku heran.

"Oh ya, Ibu lupa memberitahumu jika Ibu dan bapak sudah mendaftarkan kamu di pondok pesantren di kota Bandung."

Mendengar hal itu aku tersentak dan menjeda makananku, bagaimana mungkin mereka sudah mendaftarkanku sementara ujian belum saja dimulai.

"Cie … yang sebentar lagi jadi anak ponpes," ledek Sabrina–kakak pertamaku.

"Kamu beneran mau masuk pondok, Sya?" tanya Syauqi–kakak keduaku

Aku hanya terdiam tanpa membalas apa yang dikatakan kedua kakakku. Ingin rasanya menolak hal itu, tapi karena bapak dan ibu sudah mendaftarkannya, terpaksa aku menuruti keinginan mereka.

"Sudah, cepat selesaikan makanan kalian, jangan sampai terlambat hanya karena urusan Syafira," ujar Bapak.

Aku dan kedua kakakku menghabiskan makanan itu segera, melihat waktu sudah menunjukkan pukul 06.20, segera kuambil tas di sofa dan menuju ke samping rumah untuk mengambil sepasang sepatu berwarna hitam itu di rak, tak ketinggalan, kedua kakakku juga melakukan hal yang sama. Kak Sabrina seorang mahasiswi fakultas ekonomi, sementara kak Syauqi seorang pelajar di salah satu sekolah menengah atas. Memang jarak usia kami tidak terlalu jauh.

"Sya, kamu yakin masuk ponpes? Nggak enak loh, Sya, nggak bebas," kata kak Syauqi sambil mengenakan sepatu yang baru saja diambilnya dari rak.

"Iya nih, nggak asik tau hidup di ponpes, cepetan gih bilang sama ibu dan bapak kalau kamu nggak pengen masuk ke pesantren," celetuk kak Sabrina sambil memakai sepatu pantofelnya.

Aku hanya menyunggingkan senyuman tipis di bibir, meski dalam hati semua ucapan kakakku itu benar, aku tidak ingin hidup di pondok pesantren, apalagi melihat kedua kakakku yang sekolah seperti pada umumnya, aku berpikir mengapa ibu dan bapak tidak adil terhadapku? Ah, seketika kutepis semua hal-hal yang membuatku suudzon pada mereka.

Suara klakson mobil dari depan rumah terdengar nyaring di telingaku. Sepertinya Bapak sudah melihat kami yang sedari tadi keasyikan mengobrol.

"Ayo anak-anak kalian mau terlambat?" teriak Bapak dari dalam mobil.

Aku dan kak Syauqi berlari menuju mobil bapak, sementara kak Sabrina mengenakan sepeda motor, karena jarak sekolahku dan kak Syauqi berdekatan, jadi kami selalu diantar saat Bapak juga hendak pergi bekerja.

"Kalian ngapain ngobrol-ngobrol? Mau buat Bapak terlambat ngantor?" protes Bapak pada kami.

"Ya namanya juga anak gadis, Pak, wajarlah kalau suka ngegosip," celetuk kak Syauqi.

Mendengar hal itu membuat bapak menggeleng. Aku duduk di kursi depan samping bapak, sementara kak Syauqi duduk di kursi tengah sebelah kanan, tepat di belakang kursi bapak.

Sambil menatap ke arah jalan, kami menikmati kota kecil ini dengan memutar lagu kesukaan bapak. 

"Sya, kamu nggak masalah kan jika Bapak dan ibu memasukkanmu ke pondok pesantren?" tanya Bapak sambil mengangguk-angguk dan sedikit berjoget menikmati lagu kesukaannya.

"Cepetan ngomong, Sya," kata kak Syauqi berbisik ke telingaku. 

"Aku harus ngomong apa, Kak?" balasku berbisik.

Bapak yang sedang asik menikmati lagu tak menyadari jika kami saling berbisik. Beberapa saat tak mendengar jawaban dariku, membuatnya mengulang pertanyaan.

"Sya, nggak masalah, kan?" Bapak menatapku dan menjeda lagu yang sedang diputarnya.

Aku langsung mengangguk tanpa berkata apapun. Meski dalam hati kecil ingin rasanya menolak, tapi melihat keinginan bapak dan ibu aku urungkan niat untuk menolaknya.

Mendengar jawabanku, Bapak kembali mengarahkan pandangannya ke depan dan mempercepat laju kendaraan. Setelah beberapa menit, sampailah kami di sekolah kak Syauqi, karena letaknya hanya berjarak lima ratus meter dari sekolahku, aku memilih turun bersama kak Syauqi agar bapak bisa langsung melanjutkannya tanpa berbelok.

Tak lupa, aku dan kak Syauqi mencium tangan bapak untuk berpamitan.

"Pak, hati-hati di jalan," ucapku dan kak Syauqi kompak.

"Ya, kalian belajar yang rajin, jadi orang sukses dunia dan akhirat," balas Bapak dan berlalu dari sekolah kak Syauqi.

Kami saling berpisah satu sama lain, kak Syauqi langsung memasuki lingkungan sekolahnya, sementara aku harus berjalan lima ratus meter dari sekolah itu. Sekolah kami memang satu yayasan, sehingga letaknya berdekatan.

"Sya, nanti pulang sekolah kita balik masing-masing aja," ucap kak Syauqi saat aku hendak pergi meninggalkan sekolahnya.

Mendengar ucapannya, aku hanya melambaikan tangan dan membulatkan kedua jariku menandakan kata Ok.

Aku menyusuri jalan sekolah dengan berbagai prasangka, bagaimana jika di ponpes aku tidak betah? Bagaimana dengan teman-temanku? Terus nanti siapa yang menyuci baju? Beberapa pertanyaan itu timbul saat aku memikirkan hidup dalam sebuah pesantren. Aku langkahkan kaki lambat, sempat ingin berpikir positif namun hati enggan melakukannya. Lagi, batinku bergejolak dan berbicara. Sya, kamu nggak usah melakukan hal itu, lihat tuh kedua kakakmu saja nggak masuk pesantren, masa sih kamu mau? Aku langsung mengacak kepala yang tertutup jilbab, sehingga membuatnya terlihat sedikit berantakan.

Meski langkahku lambat, namun karena jaraknya yang dekat membuatku sampai di sekolah. Gerbang yang belum tertutup menandakan jam pelajaran belum dimulai. 

"Sya, tunggu!" 

Terdengar suara perempuan memanggilku. Aku yang hanya menatap ke arah sekolah sejenak menoleh dan mengikuti arah suara itu. Ternyata dia Naomi-teman sebangku di kelas.

"Eh, Naomi, kamu sudah mengerjakan tugas matematika?" 

"Sudah, Sya, kamu gimana?"

"Sudah. Oh ya, bulan depan kita ujian loh, apa kamu sudah siap?"

"Siap dong, By the way, setelah lulus nanti kamu mau lanjut ke SMA mana, Sya?"

Aku bergeming mendengar pertanyaan Naomi, tak ingin memberitahunya sekarang, aku khawatir keputusanku akan berubah jika teman-teman mengetahuinya.

"Sya?" Naomi menggerakan kedua tangannya di depan wajahku. Sontak saja membuyarkan lamunanku.

"Lihat nanti aja deh, Nom," kataku sambil berlalu menuju ruang kelas.

"Ih, ditanya kok malah gitu? Kalau aku mau ke ponpes, Sya."

Deg. Pernyataan Naomi membuatku terkejut. Bagaimana mungkin gadis cantik dan modis seperti dia ingin hidup di ponpes.

"Kamu serius mau melanjutkan sekolahmu di ponpes, Nom? Apa enaknya sih di ponpes, setauku belajar di sana membosankan."

"Tau dari mana jika hidup di ponpes membosankan? Kamu nggak tau aja, jadi santri itu mengasyikan loh, aku tau kok karena kedua kakakku juga seorang santri," kata Naomi memperjelas.

Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Mendengar hal itu membuatku sedikit lega, setidaknya ada sesuatu yang tidak membuatku merasa khawatir. Hingga kami sudah sampai di depan kelas dan memasukinya sebelum pelajaran dimulai.

Aku dan Naomi sudah dua tahun menempati kelas yang sama, sehingga hubungan kami cukup dekat. Banyak lelaki yang memuji kecantikannya, selain pintar, dia juga modis, apapun yang dikenakannya selalu pantas. Berbeda denganku, wajah dan otakku yang pas-pasan membuatku sedikit minder berteman dengan Naomi. Meski begitu, dia mau berteman denganku apa adanya.

"Eh, Sya, kamu belum jawab pertanyaanku, loh," kata Naomi mengingatkanku kembali.

"Pertanyaan yang mana si, Nom?" Aku berpura-pura tidak mengingatnya agar Naomi tidak lagi membahasnya.

"Sudahlah aku malas mengulangnya, eh tapi gimana kalau kita sekolah di ponpes yang sama?" 

Belum saja menjawab pertanyaannya, bel tanda pelajaran dimulai. Aku hanya tersenyum sambil mengambil buku dalam tas. 

Sepuluh menit setelah bel itu berbunyi, terlihat seorang guru dengan langkah tegap, berkumis tebal dan mengenakan kacamata itu adalah Pak Karyo–guru matematika sekaligus wali kelasku.

Siapa yang tidak takut pada guru tersebut, selain sorot matanya yang tajam, dia terkenal dengan guru yang sering menghukum anak didiknya jika tidak mengerjakan tugas. Meski begitu, Pak Karyo tetap wali kelas yang baik, dia ingin anak didiknya mempunyai sikap disiplin.

"Selamat pagi anak-anak," sapa Pak Karyo dengan menghampiri meja dan menaruh beberapa buku yang dibawanya.

"Selamat pagi, Pak," jawab kami kompak.

"Bagaimana dengan tugasnya? Apa diantara kalian ada yang tidak mengerjakan?" tanya Pak Karyo sembari mengambil buku cetak matematika dan menunjukkannya pada kami.

Aku dan teman sekelasku menggeleng, kami tidak pernah terlewat mengerjakan soal matematika.

Karena melihat semua muridnya mengerjakan tugas, Pak Karyo menyuruh Naomi untuk mengumpulkan tugasnya. Selain cantik dan pintar, Naomi juga menjabat sebagai ketua kelas. Diambilnya buku cetak itu satu persatu lalu ditaruhnya di atas meja guru. Pelajaran pun dimulai setelah itu.

"Hari ini kita akan belajar tentang bentuk akar. Apa itu bentuk akar?" Tanya Pak Karyo pada semua murid.

Karena tidak ada yang menjawab pertanyaannya, Pak Karyo menunjukku untuk menjelaskan apa itu bentuk akar. 

"Syafira, coba jelaskan apa yang kamu ketahui tentang bentuk akar."

Aku berusaha menjawabnya semampuku namun tetap saja salah, suara teriakan teman-teman membuatku tertunduk malu karena salah dalam menjelaskannya. Beruntung ada Naomi, dia yang membantuku menjelaskan sedikit tentang  bentuk akar.

"Syafira, kamu harus banyak-banyak belajar dari Naomi. Untuk yang lainnya juga, sebentar lagi akan memghadapi ujian, jangan sampai nilai kalian buruk," ucap Pak Karyo dengan menaikkan volume suaranya.

Aku hanya mengangguk berusaha menerima apa yang dikatakan Pak Karyo. Mungkin benar kata beliau, aku tidak boleh jauh dari Naomi. Seketika aku melontarkan pertanyaan padanya setelah Naomi selesai menjelaskan materi tentang akar.

"Nom, kamu mau lanjut ke ponpes mana?"  tanyaku saat Naomi baru saja menutup buku cetaknya.

"Rahasia! Kamu sendiri tidak memberitahu kemana melanjutkan sekolahmu."

Aku menautkan kedua alis, sepertinya Naomi tidak akan memberitahu ponpes mana yang menjadi pilihannya sampai aku memberitahunya.

"Oke, aku mau jujur sama kamu, sebenarnya ibu dan bapak sudah mendaftarkanku ke ponpes, Nom," bisikku agar tak terdengar oleh Pak Karyo.

"Apa? Aku nggak salah dengar, kan?" Naomi meninggikan suaranya sehingga membuat Pak Karyo menatap kami berdua.

"Naomi, Syafira, kalau ngobrol sebaiknya di luar sana!" 

"Tidak, Pak," aku dan Naomi menggeleng kompak.