webnovel

perasaan Naomi

Naomi membuka sebuah album berisikan semua foto-foto Axel. Aku terkejut melihatnya, bagaimana mungkin Naomi bisa menyimpan semua foto Axel dalam satu album tersebut.

"Nom, sejak kapan kamu menyimpan foto-foto Axel?" tanyaku sambil melihat satu persatu foto yang ada di album tersebut.

"Sudah lama, Sya, aku menyukainya sejak kelas 1 SMP," kata Naomi seraya memandangi foto Axel.

"Selama itu, Nom? Apa Axel mengetahui jika kamu menyukainya?"

"Nggak, Sya, justru itu aku ingin meminta bantuanmu supaya aku bisa jadian sama Axel."

Mendengar permintaan Naomi, aku tersentak, bagaimana mungkin Naomi meminta bantuanku sementara aku sendiri belum pernah dekat dengan seorang cowok.

"Kayaknya aku nggak bisa deh, Nom."

"Ayolah, Sya, bantuin, ya, please?" Naomi memohon seraya menggenggam kedua tanganku.

Aku bergeming memikirkan cara apa yang harus kulakukan agar Naomi tidak memaksaku untuk membantunya.

"Gini aja deh, Nom, coba nyatain perasaan kamu ke Axel, kalau aku lihat, dia juga suka sama kamu."

"Masa sih, Sya? Kalau memang dia suka, kenapa nggak langsung nembak aku?" Naomi mengacak rambutnya kasar seolah menandakan keraguan.

"Entahlah, Nom, mungkin dia menunggu waktu yang tepat."

Aku tak mengira jika Naomi menyimpan perasaan selama itu. Memang benar apa yang dikata orang, cinta terkadang membuat kita buta. Mungkin itu yang Naomi rasakan saat ini. 

"Besok, antar aku cari kado untuk Axel, ya. Aku mau nembak dia duluan," kata Naomi sambil menutup album yang berisi foto-foto itu.

"Yaudah, kalau gitu aku pulang, ya, Nom," ucapku sembari menghabiskan jus mangga yang masih tersisa.

"Kamu pulang naik apa, Sya?"

"Naik angkot aja, Nom, kan masih bisa lewat di depan rumahku.

"Mau aku antar sampai depan rumah?"

"Nggak usah, aku bisa sendiri kok."

Setelah keluar dari kamar Naomi, aku pun berpamitan pada tante Mala. Tak lupa mengucapkan terima kasih padanya.

Aku berdiri di pinggir jalan sambil menunggu angkot datang. 

Beberapa saat kemudian, angkot yang kutunggu datang. Aku melambaikan tangan untuk menghentikan angkot itu. Setelah berhenti, aku langsung menaiki angkot tersebut.

Kali ini aku duduk di dekat pintu angkot, karena penumpang yang hampir penuh itu membuatku sedikit berdesakan.

"Syafira, kamu baru pulang dari rumah Naomi?" 

Aku menoleh ke arah kanan, ternyata Axel duduk di ujung angkot itu.

"Iya," jawabku singkat.

Axel meminta salah seorang penumpang di sampingku agar bertukar tempat dengannya. Sehingga kini aku dan Axel duduk berdampingan.

"Sya, kamu habis ngapain ke rumah Naomi?" tanya Axel sambil menatap ke arahku.

"Main," jawabku singkat.

Axel tersenyum menatapku. Aku pun hanya menundukkan pandangan.

"Sya, kamu kenapa nunduk gitu? Aku membuatmu tidak nyaman, ya?" 

"Nggak enakan aja deket-deket kayak gini, nanti Naomi marah lagi."

"Naomi? Kenapa dia harus marah? Kita kan cuma teman biasa."

"Kamu nggak tahu kalau Naomi suka sama kamu, Xel?" Aku menutup bibir dengan kedua tanganku, kenapa bisa keceplosan begini, batinku saat menyadari apa yang kuucapkan.

"Naomi? Suka sama aku? Nggak mungkin lah, Sya, kamu tahu dari mana kalau dia suka sama aku?"

"Dari Naomi, Xel. Apa kamu juga menyukai Naomi?"

Mendengar pertanyaanku Axel hanya tersenyum tanpa menjawabnya.

"Xel, kok malah senyum? Kamu suka nggak sama Naomi? Awas aja loh ya, kalau kamu mainin perasaan Naomi," kecamku pada Axel.

"Siapa yang mainin perasaan Naomi, Sya? Aku menganggap semua siswa di sekolahku itu teman, tidak lebih, karena kedua orang tua menyuruhku untuk fokus ke sekolah."

Pernyataan Axel membuatku terkagum, bagaimana mungkin cowok setampan dan sepintar dia tidak tergoda dengan perempuan yang selama ini dekat dengannya.

"Jujur deh sama aku, apa kamu suka sama Naomi?"

Lagi, Axel hanya memberikan jawaban dengan senyumannya.

"Pak, berhenti di depan, ya," kata Axel pada sopir angkot.

"Loh bukankah tadi rumahmu di jalan jendral sudirman, Xel?"  

"Iya, Sya, aku mau ke toko buku. By the way, aku duluan, Sya," jawab Axel sambil bersiap-siap menunggu angkot berhenti.

Setelah angkot berhenti, Axel pun turun. Aku melihatnya menuju toko buku, pantas saja Naomi menaruh hati pada Axel, jika dibandingkan dengan cowok lainnya, Axel begitu sempurna.

Selang beberapa menit, angkot itu sampai di depan gang rumahku. Aku pun segera turun dan membayar ongkos pada sopir angkot.

"Ini, Pak, uangnya." Aku mengulurkan uang sepuluh ribuan.

"Sudah dibayar, Neng, sama temen cowok Neng tadi," kata supir angkot itu.

Aku pun terkejut mengetahui jika ongkos angkot sudah dibayar Axel.

"Yaudah, Pak, makasih," balasku sambil menarik kembali uang dan menaruhnya di saku rok.

Karena angkot itu berhenti di pinggir jalan, sementara rumahku sedikit masuk gang, akhirnya mau tidak mau aku harus berjalan kaki.

Sesampainya di rumah, bapak yang sedang membaca koran di teras itu tiba-tiba melipat korannya karena melihatku yang baru saja datang.

"Kamu baru pulang, Sya?" 

"Iya, Pak, habis main ke rumah Naomi," jawabku singkat.

"Dicariin tuh sama ibu, katanya mau ajak kamu beli gamis."

Gamis? Sepertinya ibu sudah mulai memperhatikan penampilanku. Sampai-sampai urusan pakaian saja harus mengenakan gamis. 

"Bu, Ibu!" teriakku memanggil karena tak kunjung melihat ibu.

Terdengar suara dari dapur itu memanggil.

"Sya, sini! Ibu di dapur," sahut Ibu. Aroma masakan sudah tercium wangi. Perutku menjadi lapar saat menghirup bau masakan ibu. Tak perlu menunggu lama, aku langsung menghampiri ibu di dapur.

"Ibu lagi masak?" tanyaku saat memasuki dapur dan melihat ibu sedang mencicipi masakan.

"Iya, Sya, kamu sudah makan belum?"

Aku menggeleng, tak perlu menunggu ibu menawarkan makanan, aku langsung mengambil sebuah piring dan sendok.

"Eh … eh … eh … mau ngapain, Sya? Masakan Ibu belum matang loh, Sya."

"Hehehe, aku lapar, Bu," jawabku sambil menatap ke masakan ibu. 

"Sya, nanti selesai makan kita ke supermarket yuk! Cari gamis buat sekolah barumu nanti."

"Kenapa harus pakai gamis, Bu? Baju dan celanaku masih banyak loh."

"Kamu perlu memakainya ketika di pondok nanti, Sya."

Aku menautkan kedua alis sambil menatap ke arah ibu. Ibu tahu aku tidak pernah memakai gamis. Belum saja masuk ke pondok pesantren, ibu sudah mengubah caraku berpakaian. Perutku yang tadi lapar, tiba-tiba kehilangan selera makan. Kutaruh piring dan sendok itu di meja, aku memilih pergi ke kamar untuk berganti baju terlebih dulu.

"Sya, nggak jadi makan? Masakannya sudah matang nih," kata Ibu saat melihatku pergi dari dapur.

"Nggak jadi lapar, Bu!" jawabku singkat.

Entah ibu tahu atau tidak jika kali ini aku sedikit kesal padanya. 

Saat aku hendak memasuki kamar, bapak memanggilku.

"Sya, sini sebentar," panggil Bapak dari ruang televisi.

"Ada apa, Pak?"

"Kalau kamu nggak suka pakai gamis, mending bilang sama ibu, jangan menuruti sesuatu yang  bukan kehendakmu.

Deg.

Perkataan bapak tadi membuatku berpikir, apa aku harus mengungkapkan jika aku tidak ingin sekolah di pesantren?

Ah … nyatanya aku tak cukup berani untuk mengatakan hal itu. Aku terlalu takut membuat ibu dan bapak kecewa. Lagi, batinku bergejolak, ayolah,  Sya, ini waktu yang tepat buat kamu ngomong sama orang tuamu.

"Iya, Pak, nanti aku bilang sama ibu soal itu." Aku kembali menuju kamar sambil mengingat perkataan bapak.