webnovel

BAB 6: Kabar Buruk di Pagi Hari

Diana tidak tahu alasan mana yang membuatnya senang: kalung zamrud berhasil ditemukan atau lelaki itu keluar dari danau dengan cara yang sangat elegan. Pakaian basahnya melekat di tubuh lelaki itu seperti kulit kedua, rambutnya turun sehingga membuatnya terlihat lebih ganteng, dan … astaga. Apakah bibir lelaki itu membiru?

Dengan cepat, Diana menghampiri lelaki yang baru saja menemukan kalungnya. Mantel berbulu yang sejak tadi menghangatkannya segera dia lepas, lalu Diana menyampirkan mantel itu ke tubuh pemiliknya. "Kau menggigil. Kita harus menyalakan api unggun!" kata Diana.

Untungnya ada banyak ranting kering di pinggir danau. Diana mengumpulkan dan menumpuknya, lalu dia menggunakan api dari lilin di tangan untuk menyalakan api unggun. Dalam sekejap, udara malam yang dingin berubah hangat.

Lelaki itu duduk di dekat api sambil memeluk dirinya. "Ini," kata lelaki itu. Dia menyerahkan kalung zamrud kepada Diana. "Aku berhasil menemukannya. Untungnya kalung ini tidak jatuh terlalu dalam."

Setelah mengucapkan terima kasih, Diana menerima kalung pemberian itu lalu mendekatkannya ke api. Dia memperhatikan setiap detailnya: rantai tipis yang yang terbuat dari emas dan bandul zamrud yang membentuk huruf R. "Namaku Diana. Kenapa kalung ini berinisial R?"

Lelaki itu memperhatikan Diana dari samping, mengernyit setelah mendengar kata-kata perempuan itu. "Kau bilang itu kalungmu," ucapnya. "Jangan bilang itu kalung curian?"

"Apa? Tidak!" Diana cepat-cepat membantah. "Ini memang kalungku! Ini … diberikan oleh cinta pertamaku."

"Benarkah?" Lelaki itu ikut memperhatikan kalung di tangan Diana. "Kalau begitu cinta pertamamu adalah orang seorang bangsawan atau orang yang sangat kaya "

"Kenapa begitu?"

"Kau tidak tahu atau apa, sih?" balas lelaki itu dengan nada mengejek. "Kalung zamrud termasuk mahal. Tidak mungkin sembarang orang bisa membelinya. Lagipula, ada peraturan kerajaan yang menyebutkan bahwa perhiasan sekelas kalung zamrud hanya bisa dibeli oleh keluarga terpandang. Jadi, antara dia bangsawan ternama atau dia adalah orang biasa yang memiliki usaha sangat sukses."

Benarkah? Diana baru tahu itu. Well, dia tahu bahwa kalung seperti ini tidak mungkin murah. Tapi, dia baru tahu tentang peraturan membeli perhiasan. "Apa lagi yang kau ketahui tentang perhiasan ini?" Diana mencondongkan kalung itu ke depan wajah lelaki di depannya.

"Aku bukan ahli perhiasan atau penjual perhiasan," katanya cepat. Lelaki itu berdiri, melipat mantel berbulunya yang basah, lalu mulai merapikan tasnya. "Aku harus pergi setelah ini," ucapnya. Kemudian, dia memakai sepatunya dan bersiap pergi.

"Tunggu." Diana mencegah lelaki itu. "Pakaianmu masih basah. Lagipula, kau baru menyelamatkanku. Setidaknya aku bisa mengambil pakaian ganti untukmu. Sepertinya ada baju ayahku yang cocok untukmu–"

"Tidak perlu. Tujuanku dekat dari sini. Dan, sejujurnya aku membantumu karena aku tidak ingin besok ada berita tentang seorang perempuan yang mati kedinginan karena berenang di danau dengan pakaian setipis itu dan tubuh sekurus dirimu."

Secara refleks, wajah Diana memerah. Pertama, gaun tidur ini tidak tipis. Kedua, Diana tidak kurus!

Diana mengangkat dagu dengan angkuh. "Terima kasih sudah membantuku menemukan kalung!"

Lelaki itu melirik Diana sekilas sebelum pergi meninggalkannya.

"Astaga!" seru Diana tidak percaya sambil menatap punggung lelaki itu menjauh. "Dia benar-benar pergi begitu saja!" Diana pikir lelaki itu akan kembali dan memohon pakaian kering untuknya. Namun, punggung lelaki itu menghilang di antara pepohonan, menandakan bahwa dia benar-benar tidak ingin berurusan lagi dengan Diana.

"Terserah saja!" gerutu Diana. Dia mematikan api unggun dengan air danau. Lalu, Diana pulang ke rumah dengan langkah cepat.

***

"Kak Diana, bangun!"

Diana membuka mata, melihat wajah Sarah, lalu segera terbangun dari tidurnya. Namun, perempuan itu segera menyesali keputusan tersebut karena lehernya sakit. "Aww!!!" pekiknya.

"Ya ampun, Kak!" Tergesa, Sarah menghampiri Diana. Perempuan itu membantu Sarah duduk di atas sofa depan perapian. "Kak Diana semalaman tidur di atas sofa?!"

Hanya cengiran yang bisa Diana berikan pada Sarah. Dia tidak mungkin menjawab kalau semalam nyaris melompat ke danau demi menemukan zamrud yang terkalung di lehernya, kan?

"Semalam aku kedinginan," kata Diana—sama sekali tidak berbohong. Setelah kembali dari pinggir danau, Diana memang merasa dingin sehingga memutuskan untuk menghangatkan diri di depan perapian. "Ada apa ke sini?"

"Sekarang sudah pagi, Kak," jawab Sarah. "Waktunya sarapan."

Seperti aba-aba, perut Diana berbunyi nyaring. Diana hanya bisa memberikan cengiran tidak bersalah pada Sarah, berharap dia tidak terlihat memalukan. "Kalau begitu, ayo ke dapur! Aku tidak sabar untuk makan. Kira-kira ada makanan apa di dunia ini? Bubur ayam ada tidak, ya?" Diana beranjak dari sofa dan mengikuti Sarah ke depan lemari di dalam kamar. Namun, Sarah menahan lengannya.

"Kak," panggil Sarah, "apa yang terjadi dengan bagian bawah gaun tidurmu? Kotor banget!"

"Apa?" Diana mengecek bagian bawah gaunnya. "O-oh, haha! Ini hanya … sepertinya terkena arang perapian," bohongnya.

Diana tahu kebohongan yang dia lontarkan kelewat konyol. Siapa yang akan percaya ….

"Oh, kupikir terkena debu," balas Sarah sambil sedikit memiringkan kepalanya. Sarah memberikan senyuman bodoh pada Diana, lalu menggamit tangan Diana. "Ayo kita ganti baju. Dan, Kak Diana … aku harap Kakak tidak marah mendengar ini."

Diana mengangguk.

"Setelah sarapan akan ada dokter berkunjung."

"Dokter?"

Sarah berbisik di telinga Diana. "Iya. Ibu berpikir Kakak sakit setelah kejadian kemarin. Jadi, Ibu ingin memeriksa Kakak."

Diana berhenti di depan lemari kayu di kamarnya. Matanya membulat dan jantungnya berdebar. Jangan bilang Lucy menyadari bahwa dia bukan Diana asli!

"Kenapa Ibu berpikir begitu?" tanya Diana, panik.

"Kata Ibu, Kakak bersikap aneh seolah bukan Kakak."

"Oh, sial!" Tanpa sadar, Diana mengeluarkan kata-kata kasar sehingga Sarah terkejut. "Tidak, maksudku bukan begitu, Sarah," ucap Diana cepat. "Aku tidak … itu … Haaah, Sarah, bisakah kau keluar kamar? Aku ingin memakai baju sendiri."

Sarah terlihat ragu. "Tapi, Ibu menyuruhku membantu Kakak—"

"Aku bisa melakukannya, Sarah," potong Diana.

Sarah terlihat ragu, tapi dia mengikuti permintaan kakaknya. Setelah Sarah keluar dari kamar, Diana segera menutup pintu dan berpikir keras.

Apa yang harus dilakukan Diana agar Lucy tidak mencurigainya?

***

"Selamat pagi." Diana langsung menyapa Lucy dan Sarah di meja makan begitu menemui mereka. Kedua perempuan itu menatap Diana seolah kepalanya tiba-tiba berubah menjadi babi, sangat jelas terlihat ragu dengan kehadiran Diana.

Lucy yang pertama membalas Diana. "Selamat pagi, Diana. Apa kabarmu?"

"Aku baik-baik saja, Ibu," jawab Diana. Perempuan itu memperhatikan seisi meja yang sudah dipenuhi makanan, lalu mengernyit. "Di mana ayah dan Cinderella? Mereka tidak ikut makan?"

Lucy berdeham. "Cinderella tidak akan makan bersama kita."

"Kenapa?" Refleks, Diana bertanya. Namun, saat dia melihat sorot mata curiga dari Lucy, Diana segera melupakan pertanyaan itu. "Lalu ayah?"

Sarah dan Lucy saling bertatapan misterius. "Kau tidak ingat apa yang terjadi dengan ayah tirimu?"

Sebelum menjawab, Diana menarik kursi di samping Sarah lalu duduk di kursi tersebut. "Oh, aku lupa. Maaf, ayah pasti kecelakaan dalam perjalanan bisnisnya. Maaf, aku lupa."

"Diana!" Lucy membentak sambil memukul meja makan. "Apa maksudmu berkata begitu? Kau sengaja mendoakan ayahmu yang buruk-buruk, ya? Astaga!" Lucy mengelus dadanya sambil memelotot pada Diana. "Ibu tidak tahu mulutmu bisa seperti ini—"

Tok, tok, tok!

Terdengar ketukan keras di pintu utama.

"Cinderella!" Lucy kembali berteriak, kali ini memanggil anak tirinya. "Cepat buka pintu! Ada tamu!" Setelah itu, Lucy kembali memusatkan perhatian pada Diana.

"Dengar, Diana. Ibu bisa mengabaikan kelakuan konyolmu yang ingin menenggelamkan diri di danau! Tapi, kau mendoakan yang buruk pada ayah tirimu … keterlaluan! Ayah tirimu sedang melakukan perjalanan bisnis ke pulau lain—"

"Nyonya Lucy!" Tiba-tiba Cinderella berdiri di ambang pintu ruang makan dengan wajah panik. Matanya bergetar dan berkaca-kaca sedangkan tangannya memegang kusen pintu seolah tubuhnya bergantung pada kayu tersebut. "Ada pengawal kerajaan datang," kata Cinderella panik.

Lucy segera bangkit dari kursinya. "Apa maksudmu, Cinderella? Apa yang terjadi?!"

Cinderella terisak. Lucy menghampiri anak tirinya, tidak sabar mendengar jawaban perempuan itu.

"Ayahku … hilang di lautan, Nyonya Lucy."