webnovel

BAB 5: Lelaki Ganteng di Pinggir Danau

"KYAAA!!" Diana berteriak nyaring saat tubuhnya terlempar ke atas danau. Perempuan itu memejamkan mata erat-erat, bersiap merasakan air yang dingin menenggelamkan dirinya. Satu detik, dua detik, tiga detik … kenapa Diana tidak mendengar suara tubuhnya saat tercebur ke air?

"Mau sampai kapan kau memejamkan mata seperti itu?"

Mata Diana terbuka lebar mendengar suara bariton tepat di depan telinganya. Diana menelan saliva dengan gugup, tidak yakin siapa orang itu. Dengan takut-takut, Diana melirik lelaki …

… yang memeluk pinggangnya!

"Lepaskan!" Tergesa, Diana menjauhkan dirinya dari lelaki itu. Tangan Diana memeluk tubuhnya seolah melindungi diri dari lelaki asing yang wajahnya samar-samar di bawah langit malam. "Siapa kau? Kenapa kau memelukku?" serunya.

Lelaki itu membuang napas lelah. "Jadi, ini yang kau katakan pada penyelamatmu?" tanyanya.

"Penyelamat apa?"

"Aku menyelamatkanmu sehingga kau tidak tercebur ke danau."

Lelaki itu … menyelamatkan Diana? Kedua mata perempuan itu memicing. "Sejak kapan kau di sini?"

"Sejak kau dengan bodohnya berdiri di pinggir danau. Kau berniat tenggelam, ya?" kata lelaki itu dengan nada mengejek. Lelaki itu mengeluarkan lilin dan korek api dari tas yang dia sampirkan di pundak, lalu menyalakan sumbu lilin. Cahaya kecil menerangi pinggir danau samar-samar, termasuk wajah lelaki itu.

Diana tercengang melihat wajah di depannya. Lelaki itu … ganteng banget! Rambut hitamnya yang sedikit berantakan membingkai wajah dengan rahang tegas. Matanya yang berwarna hijau balas menatap Diana dengan sorot tajam, sedangkan bibirnya yang tipis mengerut pada Diana.

"Kau sedang menilai penampilanku, ya?" tuduh lelaki itu.

Mulut Diana terbuka dan tertutup dengan cepat. Pipi perempuan itu sedikit merona, tapi Diana pura-pura tidak menyadari. "A-apa? Aku tidak menilai penampilanmu," bohongnya. Lelaki itu terlihat tidak percaya dengan ucapan Diana, jadi dia melemparkan pertanyaan untuk mengalihkan perhatian. "Apa yang kau lakukan di sini malam hari?"

"Seharusnya aku bertanya hal yang sama. Apa yang kau lakukan di sini malam hari? Apa lagi kau perempuan yang berkeliaran dengan …," lelaki itu membuang muka, "dengan pakaian seperti itu."

Diana memperhatikan pakaian yang melekat di badannya. Pakaian itu hanyalah gaun putih sepanjang mata kaki dengan lengan mencapai siku. "Apa yang salah dengan pakaianku?"

Wajah lelaki itu memerah. "Memangnya kau tidak malu keluar berpakaian seperti itu?"

Malu …? Apakah Diana seharusnya merasa malu? Tapi, Diana tidak tahu di mana letak memalukannya pakaian ini. Well, pakaian ini memang terlalu ribet untuk disebut gaun tidur. Tapi, bahannya terasa adem di kulit Diana. Dan, yang terpenting, gaun tidur ini bukan seperti lingerie di dunia asalnya.

"Itu gaun tidur, kan?" Lelaki itu melirik Diana dari sudut mata. "Kau seharusnya tidak berkeliaran dengan gaun tidur."

Diana mengernyit. "Tapi, pakaian ini masih sopan," bantah Diana.

Tanpa basa-basi, lelaki itu melepaskan mantel dari tubuhnya. Diana bisa melihat tubuh seksinya dari balik kemeja putih, membuat perempuan itu memalingkan wajah karena merasa malu telah memperhatikan lelaki di depannya.

"Ini." Lalu, dengan sangat mengejutkan lelaki itu menyampirkan mantel bulu miliknya ke pundak Diana. "Kurasa kau lebih membutuhkannya dari pada aku."

Diana membuka mulut untuk menolak, tapi segera mengurungkan niatnya saat melihat lelaki itu menatap Diana dengan sorot tegas seolah tahu apa yang akan dikatakannya. Karena merasa canggung, Diana berdeham. "Kau belum menjawab pertanyaanku. Apa yang kau lakukan di sini?"

Lelaki itu sedikit memiringkan kepalanya ke kiri sambil memperhatikan Diana dengan seksama. "Aku ada urusan di sekitar sini. Apa yang kau lakukan di sini?"

Dagu Diana sedikit terangkat. "Aku sedang mencari kalung milikku yang hilang," jawabnya.

"Kau mencarinya di dalam danau?"

"Aku berpikir benda itu tenggelam di dasar danau."

"Kenapa kau harus mencarinya sekarang? Kau bisa melakukannya besok."

"Benda itu sangat penting …." Diana tergagap. "Intinya, aku membutuhkan benda itu sekarang juga. Ini urusanku, silakan pergi jika kau ingin."

Lelaki itu memperhatikan Diana cukup lama, lalu mengangguk. "Kau benar. Aku terlalu bodoh karena berusaha menyelamatkanmu. Silakan lanjutkan apa pun yang kau ingin lakukan." Dia berbalik memunggungi Diana, kemudian berjalan menjauhi perempuan itu.

Diana menatap punggung lelaki itu beberapa lama, kemudian menghadap danau di depan matanya. Perempuan itu melepaskan sepatu, menggulung rambut merahnya yang tergerai sepanjang punggung, lalu …

… mantel lelaki itu!

Diana berbalik untuk memanggil lelaki yang telah menyelamatkannya, ingin mengembalikan mantel yang dia pakai. Diana bersiap memanggil lelaki itu, tapi suaranya tersekat di tenggorokan. "K-kau!" seru Diana, terkejut melihat lelaki itu sudah berdiri di depannya.

"Aku tidak bisa membiarkan kau masuk ke danau," katanya.

"Apa?"

"Biar aku saja yang masuk ke danau. Lagi pula, aku perlu air dingin untuk membuatku tetap terjaga sepanjang malam." Tanpa basa-basi, lelaki itu melepaskan kancing kemeja satu per satu.

"Tunggu," Diana menahan tangan lelaki itu, "kau yakin ingin masuk ke sana?"

"Iya. Aku lebih memilih untuk masuk ke danau itu dari pada mantelku yang kau pakai terkena air," balasnya.

"Aku bisa melepas mantelmu dan masuk ke danau–"

"Maksudku," lelaki itu menatap Diana lekat-lekat, "kau tunggu di sini saja. Aku yang masuk."

Dalam hitungan detik, lelaki itu menyeburkan diri ke dalam air. Sambil memegang lilin yang menyala, Diana menunggu di pinggir danau penuh harap-harap cemas. Diana sempat berpikir untuk menyusul lelaki itu ke dalam danau. Tapi, setiap kali dia berusaha masuk ke air, lelaki itu selalu muncul di permukaan air dan menyuruh Diana untuk tetap di pinggir danau. Dan, meskipun Diana selalu merasa gelisah, dia mengikuti permintaan lelaki itu.

Diana tidak tahu pastinya berapa lama lelaki itu berenang di danau. Tapi, Diana menunggu cukup lama di pinggir danau sampai kakinya kebas.

Ketika kepala lelaki itu muncul ke permukaan air untuk ke sekian kalinya, Diana berkata dengan cemas, "Sepertinya kita sudah terlalu lama di sini. Kita kembali saja–"

Lelaki itu tersenyum bangga. "Kau yakin? Karena aku menemukan sebuah kalung."