webnovel

Bab 17

Dari posisi Dean berdiri, ia tidak terlihat dari para polisi itu karena terhalang mobil van yang digunakan perampok. Dean mendekat lalu mengambil peluru yang masih mengambang di udara dengan tangan kosong lalu membuangnya ke samping begitu saja. Setelah itu ia mendatangi perampok itu lalu melucuti senjata mereka, Dean merebut satu per satu pistol yang mereka pegang lalu membuangnya juga, kemudian menghajar mereka.

Dean menonaktifkan kekuatannya, seketika para perampok itu terjatuh, ada yang memegang kaki, perut dan bagian belakang bahunya, mereka meringis kesakitan. Teller bank wanita itu shock melihat apa yang terjadi, ia bingung kenapa para perampok ini bisa kesakitan seperti habis dipukuli. Ia mengerjap-ngerjap.

"Cepatlah pergi dari sini sebelum terlambat." Dean membuka suaranya.

Wanita itu tersentak dan menatap kaget Dean. "Baik." Ia mengangguk canggung.

Dean melihat wanita itu berlari cukup kencang meninggalkannya tanpa melihat ke belakang. Ia menoleh ketika ada yang menyentuh kakinya.

"Kau... apa yang kau lakukan?" tanya lirih, ia berusaha menahan sakit dari perutnya yang dirasa mendapatkan pukulan keras.

"Tidak ada, aku hanya berdiri saja dari tadi," jawabnya santai.

Perampok itu melotot, matanya merah, ingin marah tapi ia sama sekali tidak tahu apa yang dilakukan lelaki di hadapannya ini, yang ia ingat cuma dirinya yang sudah tergeletak dan perutnya yang sakit.

Salah satu dari mereka bangkit dan menyerang Dean, Dean mencekal tangan perampok itu lalu memelintirnya ke belakang. Satu perampok lagi mencoba untuk menyerangnya, Dean menendangnya.

"Cepatlah kemari sebelum para penjahat ini melarikan diri!" Dean berteriak kencang.

Polisi yang mendengar teriakan Dean mengerutkan dahinya, mereka saling pandang.

"Cepat ke sana, apa yang kalian tunggu?" seru kepala polisi.

Beberapa dari polisi itu langsung berlari ke belakang Van dan mereka terkejut mendapati perampok itu sudah tergeletak menahan sakit di bawah, tanpa menunggu lama mereka pun mengeluarkan borgol dan menangkap mereka termasuk perampok yang terluka tadi, ia berada di dalam mobil.

Tidak perlu waktu yang lama untuk menangkap semua perampok bank itu. Teller wanita yang sempat melarikan diri tadi ditanya oleh pihak kepolisian, ia terlihat masih shock dan ketakutan jadi ia hanya bisa berkata sebisanya. Ia juga tidak paham mengapa dirinya bisa selamat, ingatan terakhirnya saat perampok itu menembak dan tiba-tiba tergeletak begitu saja.

Karena yang memintanya untuk memberi kesaksian adalah kepala polisi sendiri jadi pria itu hanya mengangguk-angguk saja dan tentu saja pernyataan teller ini tidak akan ia sampaikan nantinya. Cukup paham siapa Dean walau apa yang dimiliki Dean ia tidak tahu, yang ia ketahui hanyalah Hollow memiliki unit khusus berkemampuan tinggi, hanya itu. Misterius tapi sangat bisa diandalkan.

"Terima kasih atas bantuannya."

"Sama-sama."

Mereka pun berjabat tangan lalu Dean meninggalkan bank untuk mengambil mobilnya. Para polisi yang melihat Dean menatapnya penuh heran, bagaimana caranya ia mengalahkan lima orang bersenjata tanpa menggunakan apa pun. Dean tadi sempat diperiksa juga tapi tidak ada senjata yang ia bawa.

"Bukankah dia aneh? Tidak membawa senjata tapi bisa menumbangkan lima perampok bersenjata."

"Iya. Tapi ya sudahlah, ada hal yang tidak perlu kita ketahui."

"Aku hanya penasaran saja dengannya, bagaimana caranya ia melumpuhkan mereka."

"Lebih baik tidak mengetahuinya, firasatku mengatakan kalau ia bukan orang sembarangan."

"Menurutmu dia siapa?"

"Entahlah." Ia mengangkat bahu, "yang jelas bukan orang biasa dan mungkin hanya kepala polisi yang tahu. Tadi aku sempat melihatnya berbicara dengannya sebentar."

"Pria misterius."

Mereka berdua pun melanjutkan pemeriksaan pada para nasabah yang sempat menjadi sandera perampok itu sebelum akhirnya mereka keluar. Beberapa polisi lainnya mendampingi teller bank untuk menghitung jumlah uang yang hampir saja dibawa pergi perampok.

Dean baru saja melaju meninggalkan bank dan ia sudah mendapatkan panggilan dari Victor, ia pun memasang headset-nya.

"Bagaimana?"

"Lancar, mereka sudah ditangkap."

"Bagus. Kau kembali ke kantor?"

"Tidak. Aku ingin bermalas-malasan di apartemen."

"Ok. Aku tunggu laporanmu."

Panggilan itu pun selesai, Dean membawa mobilnya cukup cepat, ia tidak sabar untuk merebahkan tubuhnya di atas kasur.

***

Baru hari kedua Kim bekerja dan ia sudah sakit kepala, ia takjub dengan Lay bisa mengurusi semua pekerjaan ini sendirian. Kim memijit pangkal hidung, ia meringis. Dentuman kuat menyerang kepalanya seperti kepalanya di pukul dari dalam dengan kencangnya berulang kali. Kim sangat tersiksa dengan keadaannya.

"Aku ke kamar mandi sebentar." Kim pergi begitu saja sebelum mendapatkan jawaban dari Lay. Lay keheranan menatap Kim.

"Sepertinya kepala gadis itu sakit. Ia sudah mengalami apa yang aku alami saat awal-awal bekerja di sini." Lay menggelengkan kepala, merasa kasihan.

Kim mencari obat pereda sakit kepala di kotak obat yang ada di pantry, ia tidak tahan dengan rasa sakit dan jualnya, kalau dibiarkan seperti ini yang ada ia malah tidak fokus untuk bekerja. Ia tidak mau pekerjaannya jadi terganggu apalagi dirinya baru saja bekerja di sini.

"Kau kenapa? Sakit?" Andre menemukan Kim duduk di kursi pantry.

"Kepalaku terasa mau pecah." Ia memijit pelipis berulang kali.

"Pasti karena pekerjaanmu, aku tidak heran. Dulu Lay juga sering sakit kepala." Andre meminum air yang baru ia ambil dari dispenser.

"Apa Lay selama ini bekerja sendirian? Rasanya tidak mungkin ia bisa bekerja sendirian di waktu yang sangat lama."

"Tidak, Lay baru bekerja sendirian baru-baru ini. Beberapa waktu yang lalu ia memiliki patner."

"Lalu di mana patnernya itu?"

"Meninggal."

Kim terkejut, ia menatap Andre dengan mata yang membesar. "Meninggal?"

Andre mengangguk. "Dibunuh dan sampai sekarang pelakunya tidak diketahui."

"Astaga." Hal itu bisa saja menimpa dirinya nanti.

"Makanya, Berhati-hatilah kalau ke mana pun."

"Apa kau tidak was-was?"

"Tentu saja, tapi karena sudah biasa jadi, ya... begitulah." Andre mengangkat bahunya.

"Aku sadar pekerjaan seperti ini memang penuh bahaya." Kim mendesah, sakit kepalanya mendadak hilang.

"Jangan terlalu takut atau terlalu santai. Yang jelas waspada itu penting."

Kim mendesah, ia pun mengangguk. Ia harus berusaha untuk membiasakan diri dan mungkin saja patner Lay yang sebelumnya memiliki masalah dengan orang lain diluar pekerjaannya, Kim berusaha untuk berpikiran positif.

Ia pun kembali ke ruangan setelah merasa kepalanya baik-baik saja. Di ruangan itu ia melihat Lay sedang berbincang dengan seseorang, Kim tidak tahu siapa pria berambut gelap itu. Mereka tampak serius dan Kim tidak enak untuk masuk.

"Kenapa kau diam saja di depan pintu? Masuk sini." Lay melihat Kim yang berdiri diam di depan pintu. Kim pun masuk ke dalam.

Pria itu menoleh, lalu tersenyum. "Jadi ini patner barumu, cantik juga. Hahaha.... " Ia tertawa sampai matanya menyipit.

Lay memutar bola matanya. "Jangan ganggu dia, ia baru dus hari di sini."

"Maaf, maafkan aku," ucapnya sambil berusaha meredakan tawa. "Siapa namamu?"

"Kim."

"Aku Croco, panggil saja begitu."

Kim mengerutkan dahinya. "Nama yang aneh," ucapnya tanpa sadar. "Ah... ma-maafkan aku, aku tidak bermaksud." Matanya melebar, Kim pun menutup mulutnya.

"Hahaha... kau belum tahu rupanya, kalau agen di sini dipanggil dengan julukan."

"Benarkah?" Kedua alis Kim bertaut.

"Ya. Kami memakai julukan itu."

Kim mengangguk paham. 'Berarti Dean juga punya julukan,' batinnya.

Kim dan Croco berbincang sebentar lalu gadis itu pun kembali duduk di depan meja kerjanya dan Croco kembali fokus pada Lay, ia tak paham apa yang sedang dibicarakan oleh kedua lelaki di depannya itu, memilih tak peduli Kim pun mulai mengetik.

***

Dean merebahkab tubuhnya di atas kasur, matanya terpejam. Bosan tentu saja, mau liburan tidak tahu ke mana. Ia menimbang untuk mempercepat masa liburnya dan kembali bekerja. Dean ini seperti robot, ia sangat jarang libur tapi hobinya minta libur atau protes pada Victor. Hubungan mereka berdua ini seperti air dan minyak terkadang, tapi Dean akan selalu menuruti apa yang Victor katakan, ia sangat mempercayainya.

"Aku malas sekali mengetik laporan, tapi kalau tidak aku kerjakan si singa itu akan terus menggangguku." Ia mendesah panjang.

Perutnya berbunyi, ia tersadar kalau belum sarapan dan hanya meminum kopi saja.

"Lebih baik aku membuat sesuatu dulu." Dean pun bangkit menuju dapur untuk membuat makanan.