webnovel

Mendengarkan

Waktu berlalu dengan cepat, sikap Mahis tetap seperti awal, tidak ada perubahan dan usaha untuk mencintai Kanaya.

Mahis melihat keadaan Oma yang membaik, dan dia harus terus berpura-pura.

Senja di ufuk barat mulai menghiasi langit dengan warna semburat kuning, menambah keelokannya. "Sampai sore aku masih penasaran," gumamnya sambil memeriksa pekerjaan, ia duduk di ruanganya. Sorot cahaya kemerah-merahan menerobos dari jendelanya.

Rasa penasaran dari Mahis semakin membuncah, ia ingin tahu arti dari bahasa arab yang di tulis istrinya.

Ia sangat ingat jika Rahmat ahlinya. "Yah bukunya di rumah. Jadi ..." Mahis tidak sabar ingin pulang.

Mahis solat magrib berjama'ah dengan Yusuf rekan kerjanya sebagai imam. Hanif dan Mahis makmumnya. Setelah solat Hanif masih merenung di atas sajadah birunya.

Lama berdzikir, Mahis, Hanif dan pak Yusuf duduk bersama.

Mereka berbincang-bincang. Membicarakan jaman yang sudah semakin canggih.

"Pak Yusuf kenapa kemarin terlambat?" tanya Mahis.

"Aku tidak bisa menceritakan masalahku. His, setelah menikah kamu malah sering tidur di Kantor. Dan kamu Hanif, jangan terlalu murung. Ingat Latahzan innalaha ma'ana, jangan bersedih Allah selalu bersama kita," jelas Yusuf yang usianya lebih tua dari mereka berdua.

"Ha His? Bagaimana kamu ini!" tegur Yusuf, serasa di tampar Mahis.

"Allah memudahkan kadang kita yang tidak sadar, terkadang kita sendiri yang mempersulit keadaan. Di mana ada masalah pasti ada penyelesaian. Jangan sampai kamu menyesal His. Aya gadis baik, sholihah, Kay sudah melakukan kesalahan besar, dan kamu masih mengharapkannya, memaafkan boleh tapi kamu harus melupakan. Melupakan orang yang sudah mengkhianatimu. Dan penuhi kewajibanmu sebagai seorang suami," tegur Yusuf, Mahis merunduk malu.

"Dengar itu. Susah amat move onnya! Kalau mantanmu itu lebih baik dari istrimu, oke terserah kepadamu. Nyatanya mantanmu itu pergi dengan yang lain!" sahut Hanif, Mahis mencubitnya.

"Nif. Kamu mau ku ta'arufkan dengan Dewi. Kamu juga harus move on. Jangan berlarut-larut dengan mantan juga. Aku tunggu jawabannya besok pagi." ucap Yusuf, menggoda sambil menaik-nurunkan alis.

"Pak, situasinya beda. Maaf, sorry." Hanif kabur dengar berlari, ia menghindar saat akan di jodohkan. Mahis tertawa. Yusuf menepuk paha Mahis.

Mereka mulai berbicara. "Mahis, aku pernah menyesal, bahkan sampai sekarang. Aku menikah juga di jodohkan, namun aku tak sedikitpun membuka hati, pada suatu malam aku pernah pulang dalam keadaan mabuk, Astagfirullah ya Allah ..." Yusuf menyesali masa lalunya, ia menghapus air matanya, Mahis mulai penasaran, ia memberi sapu tangan. Yusuf memakainya.

"Ehkm. Ehm. Huh, aku mulai dari awal, dulu pernah kuliah di Mesir, pesona cleopatra yang memikatku, ambisiku ingin menikah dengan gadis dari sana, namun takdir lain, setelah dari Bandung aku di jodohkan, dan aku menikahi dia, cantik tapi tiada rasa. Dia baik tapi aku acuhkan. Dia sempurna tapi aku pura-pura tidak melihat. Aku sama sepertimu, mencari kesibukan agar tidak melihatnya. Aku habiskan waktu di perusahaan. Saat itu aku mulai menjajal barang haram itu, untuk mengurangi bebanku, karna orang tua membicarakan anak dari kami, aku stres. Tapi malah berbuat dosa besar. Aku menuruti bisikan setan. Heh, Ya Allah, aku pulang setelah berhubungan badan dan 2 tahun bersama, malam itu aku menjima'nya. Dia hamil, aku tetap acuh, aku malah melarikan diri, tiada sedikitpun rasa kasihanku kepadanya. Aku ke Manado, 4 bulan, meninggalkannya sendiri. Ehem. Aku mendapat ilmu, aku bertemu seseorang, saat di Gorontalo, banyak nasihat darinya, aku menyadari jika aku salah. Tapi aku belum puas, aku masih mencari sesuatu. Saat itu aku kembali ke Bandung, aku berada di Masjid, seorang Ustadz berceramah, seorang istri yang mengandung, lalu melahirkan dan jadi ibu, perjuangannya. Sontak aku berlari, aku ingin segara pulang, meminta maaf lalu memeluknya. Sampai rumah dia tidak ada, aku mencarinya, aku tidak sadar jika sudah meninggalkannya selama 8 bulan, lalu ada sebuah surat, di atas lipatan bajuku.

[Maafkan aku,] terpecah tangis pak Yusuf. Mahis penasaran akhirnya bagaimana.

"Sabar Pak." Mahis mencoba menenangkannya.

"Dia bilang, [Maafkan aku, aku juga sudah memaafkanmu, tapi aku sudah tidak tahan, rasanya sakit sekali. Maafkan aku Mas.] hanya itu dan sangat membuatku menyesal. Aku kerumah mertua, aku kira akan mendapat cacian, marahan. Ternyata istriku tidak membuka aibku. Lalu aku merasakan aku benar mencintainya. Ternyata dia ada di Rumah Sakit, keadaannya kritis. Anak kami lahir dengan sehat, perempuan dia memberi nama Aisyah, Ya Allah, he, he, hiks. ek. Aku menemuinya, aku meminta maaf, aku menyesal, aku mencintainya, dia sadar dan tersenyum. Lalu dia meninggalkanku untuk selamanya. Aisyah kini sudah hampir umur 16 tahun, dia mulai merindukan sosok Ibu, aku belum bisa cari penggantinya, cinta itu akan semakin dalam jika jauh, rasa sesal. Aku tidak mau kamu menyesal His. Aku pindah ke Jakarta 3 tahun lalu, namun hatiku, terasa sakit. Aku berdosa besar, sampai saat ini aku menyesalinya, semoga Allah mengampuniku." Yusuf menghapus air matanya.

"Aamiin, ya Robbal a'lamin," ujar Mahis mengusap wajah.

"Tidak usah mencari jawaban. Karena sudah ada alasan untuk kamu mencintainya, pertimbangkanlah, omonganku ini tadi, pikirkan. Sebelum kamu menyesal," nasehat pak Yusuf melihat jam di tangannya, Mahis masih mematung, Yusuf berdiri. "Aku ada jam. Duluan ya." Yusuf pergi, Mahis mengambil nafas kemudian menghembuskan nafas itu.

Mahis pulang dengan jalan kaki, meletakkan jaz nya di bahu, 13 menit dengan jalan santai ia sampai rumah.

Kanaya asik nonton Film wedding agreement, sudah hampir selesai ia menangis, tersedu-sedu, ketika dialog sang wanita bilang. (Mas Bian, aku tidak tahu harus berhenti di mana, aku juga tidak tahu alamat pengadilan agama) saat itulah Kanaya berderai air mata.

"Kenapa tragis. Pria nya mudah mencintai istrinya, pernah jalan dan belanja bersama. Heh, aku menikah 1 bulan saja sering diam-diaman. Musuh satu rumah." Kanaya menutup wajahnya dengan kedua tangannya, ia melihat sosok dari sela jarinya, ia menampar dengan keras.

"Sakit. Apa dia dengar, Ha gawat! Gawat! Gawat." gumam Kanaya masih memastikan lagi yang di lihatnya.

"Ini halu, atau benar dia ada," gumamnya, melihat Mahis masih berdiri dan bersandar santai di tiang besar. Kanaya merunduk. "Benarkah dia? He, selalu aku bertingkah aneh." Kanaya menoleh secara perlahan. "Yah ketahuan." Kanaya mematikan tv dan beranjak, ia malu, berjalan dengan merunduk lalu, mencium tangan Mahis.

"Apa Oma dan semua belum pulang?" tanya Mahis sambil melihat sekeliling.

"Oma sudah tidur, Fanan belum pulang. Rafka tadi mijat Oma. Arga entah kemana dia."

"Kamu tidak lelah, bukannya hari ini banyak jadwal untuk masak?" Mahis terlihat berpikir dengan selaga macam pertanyaannya.

"Apa ini bentuk perhatian?" tanya Kanaya. Mahis menghela napas lalu malah pergi. Kanaya menatapnya dengan manyun.