webnovel

Bertemu Direktur

Setelah menghibur Hanif, Sorenya Mahis bertemu klien. Diacara itu, Kanaya terlihat sangat angun Direktur berdiri menyambut kedatangan mereka. Dia menjabat tangan.

"Perkenalkan ini chef kita, Kanaya, Risa dan Rian," ujar Mahis, Direktur itu menjabat tangan mereka termasuk Kanaya.

"Haikal," ujarnya memperkenalkan diri sambil mengedipkan mata, seketika Mahis terkejut sambil mengangkat bibirnya yang kanan, Aya tersenyum.

"Aya," jawab Aya pelan. "Au ...." kakinya diinjak Mahis, Mahis membuang wajah. Entah sengaja atau tidak Aya terlepas dari perkenalan itu.

"Kami sudah menyiapkan dapur dan ingin segera menikmati kue mangkuk buatannya, dan dengan lainya," jelas Haikal, "Mari ikut saya," imbuhnya mengajak Aya. Aya mendekat ke suaminya.

"Jangan cemburu ya ...." ledek Aya berbisik, Mahis membuang wajah. "Ciye ... wajahnya cemburu," ucapnya sambil menunjuk, Mahis menampik tangan Aya. Rafka tertawa, Aya berlalu dengan langkah cepat.

"Cemburu Mas?" tanya Rafka meledek, Mahis mengepalkan tangan.

"Mas Rafka ...." panggil sekertaris mendekat dan menggandeng tangannya.

"Maaf." Rafka menurunkan tangan wanita itu. "Malu jangan begitu," imbuhnya.

"Maaf Cin, ada rapat," jelas Mahis, wanita itu pergi dengan sangat kesal.

Dorrr

"Apa itu?" tanya Mahis dan Rafka bergegas lari ke dapur.

"Huk, huk," Aya berlari keluar, tangannya melempuh.

"Hati-hati dong," ucap Mahis, memegang tangannya, Rafka membawakan air minum, sedang yang lain baru keluar.

"Maaf Pak, ada salah satu chef yang ceroboh," ucap salah satu.

"Lain kali harus hati-hati ya!" suara Mahis meninggi sambil memegang tangan Aya.

"Ciye ... tidak dilepas, khuwatir?" tanya Aya menggoda, Mahis membating tangan Aya.

"Au ... sakit," keluh Aya.

"Maaf ya Pak Mahis. Ini kecerobohan, bagaimana? Apa Aya tetap bisa masak? Soalnya bos Dirga akan datang dan dia direktur utama."

"Bisa, temenin ya pak Mahis," pinta Aya berbisik, Mahis membuka mata dengan lebar.

"Ayo ... Mas, tidak mau menglandangkan?" bisik Rafka.

"Baik tolong diperiksa semua ya Pak. Pastikan aman," jelas Mahis, Aya menyenggol lengannya sambil senyum.

"Kenapa? Jangan Gila," ucap Mahis acuh karena istrinya senyum-senyum sendiri, Aya manyun seketika. Rafka tertawa melihat sikap acuh Kakaknya.

Mahis dan Aya masuk ke dapur. "Tolong pakaikan celemek," pinta Aya sambil menunjukkan tangan yang melepuh.

'Sabar ... demi, demi, kamu tidak bisa hidup susah Mahis, lagian hanya memakaikan celemekkan,' batinnya lalu mengambil dan memakaikan.

"Terima kasih Pak Mahis," ucap Aya, memandang suaminya.

"Malah melamun berbalik!" suara Mahis sangat keras, Aya berbalik arah.

"Apa susahnya sih. Sayang balik badan ya," gumam Aya menyindir suaminya. Mahis tetap acuh tidak peduli. Keduanya memulai.

"Ambilkan enam telur, tegiru, mixer, gula, coklat,"

"Aku bukan pembantumu!" ujar Mahis, Aya menghela napas.

"Tapi kita sekarang partner. Ini juga demi perusahanmu," jelas Aya, mendekat, Mahis mundur sampai punggungnya menabrak siku wastafel. Aya menahan tawa lalu mundur.

"Hahaha, grogi," ledek Aya dengan wajah cerianya.

"Au ...." keluhnya sambil memegang punggung dan berjalan melihat bahan-bahan.

"Itu Mas, telur sama gula."

"Iya-iya cerewet! Apa saja?" tanya Mahis sambil membuka rak. Aya mendekte satu persatu, Mahis mengambil dengan berat hati.

Sedang keadaan di luar Fanan dan Alisya baru keluar mobil, Aidil berlari ke Rafka.

"Akhirnya bisa bertemu," ujar Rafka ke Alisya, Alisya tersenyum. Fanan sibuk dengan ponselnya.

"Mas Mahis sama Mbak Aya di mana?" tanya Fanan namun matanya tetap ke ponsel.

"Hehehe," Rafka tertawa, Fanan mengangkat wajah melihat tawa Rafka.

"Apa Mas Mahis terlalu acuh?" tanya Fanan, menarik kursi keduanya duduk.

"Ayah aku kesana," ucap cowok kecil itu, Aidil dan Alisya ke taman.

"Mas Mahis acuh, tapi Mbak Aya itu ceria, jadi seimbang. Hehehe, aduh ... lucu deh, gemes lihatnya. Mbak Aya banyak bicara dan suka meledek, mudah-mudahan awet terus," ujar Rafka, Fanan tersenyum.

"Aamiin, soalnya Mas Mahis itu masih terbelenggu sama mantannya. Semoga Mbak Aya tetap sabar," ucap Fanan lalu melihat putranya yang asik bemain.

"Mas juga harus maju, jangan terbelenggu masa lalu. Mbak Alisya kayaknya sayang tuh sama Aidil," ujar Rafka memberi saran, Fanan mengalihkan pandangan ke ponselnya.

"Ah ... kamu itu lo mending yang maju," kata Fanan memutar pembicaraan.

"Ah ... siapa Mas, Mas yang suka sama cowok pengecut kaya aku gini. Hanya selalu memperhatikan dari kejauhan lalu diembat sama Arga. Aku sih niatnya mau taa'rufan. Aku tidak mau dicintai karna penampilan. Orang yang akan hidup bersamaku ya harus bisa menerima aku apa adanya. Tidak mudah," jelas Rafka lalu minum, Fanan menatap adiknya.

"Aku setuju dan mendukung. Tapi ... kamu harus jujur, ada rasa iri tidak ke Arga?" tanya Fanan meletakkan ponsel ke meja sambil meregangkan otot jari-jarinya.

"Kenapa iri Mas, aku mempunyai kelebihan dan kekurangan. Dia juga begitu, tidak ada sih kalau aku. Kalau isi hati Arga aku tidak tau. Aku ... merasa Arga yang iri kepadaku, tapi ya semoga hanya perasaanku saja. Jangan sampai kami bertengkar karna penyakit hati iri dan derengki. Hah ... Oma sih," keluh Rafka lalu minum.

"O ... soal Arina suster Oma itu?" tanya Fanan, Rafka menangguk. "Tidak mungkin itu tipenya Arga. Arga suka yang seksi," ucap Fanan berpendapat, Rafka tertawa.

"Hehehe, dia pokok cantik pasti dekati Mas. Kalau cantik berhijab solihah kan juga bisa membawanya kearah ke baikan. Hehehe, tapi apa bisa mencintai karna Allah," ujar Rafka, Fanan tertawa kecil.

"Intinya saling cinta karna Allah itu. Adalah cinta yang membawa semua ke ibadah, walaupun belum sempurna ibadahnya namun tetap dan terus melakukan hal baik. Termasuk mengurangi harta. Untungnya walau Mas Mahis pendiam dan terlihat angkuh dia sangat penyayang dengan anak panti, ataupun anak jalanan," jelas Fanan sambil menikmati kopi yang baru saja datang.

"Betul itu Mas, Mas Mahis memang sangat sayang. Dia bapaknya kita sih," ujar Rafka setengah tertawa.

"Iya, kamu betul. Sangking sibuknya tudak mengurus diri, semoga saja Mbak Aya betah, sabar dan terus berusaha sampai dapat meluluhkan hati Kakak kita. Ada sedikit rasa takut. Tapi ... kita harus berdoa sekarang Mbak ipar kita sedang ikhtiar," jelas Fanan, Rafka melihat tiga mobil sudah berhenti.

"Mas sambut aku panggil Mas Mahis dulu," ujar Rafka bergegas ke dapur. Fanan merapikan jasnya lalu menghampiri Direktur penting itu. Dia menjabat tangan sambil mengembangkan senyum.

"Kamu Fanan?" tanya tamu itu sambil menurunkan kaca mata.

"Iya, silahkan," ujar Fanan sambil mengulurkan tangan meminta untuk duduk.

"Waktu adalah uang, jadi saya tidak mau membuang waktu dengan hal yang tidak penting," ujarnya sangat sombong.

"Baiklah ... karna ada kendala tadi, jadi saya dulu yang akan membuka," ucap Fanan lalu mengeluarkan beberapa gambar desain hotel. Fanan menyingkirkan kopinya lalu membuka dengan lebar kertas yang digambar oleh tangannya.

"Coba Bapak amati dan perhatikan, kalau tidak cocok nanti bisa dirubah," jelas Fanan santai.