webnovel

7. Menguji Kesabaran

Begitu keluar dari kamar mandi, sang CEO menatap Gabriella dengan tampang jijik. Sambil membuka lemari dan mengambil pakaian, laki-laki itu berkata, “Hentikan air mata buayamu itu! Tidak akan membuatku tersentuh.”

Sang gadis tidak menjawab. Ia bergeming dengan mata melotot ke arah Max. Dirinya tahu bahwa apa pun yang keluar dari mulutnya tidak akan dipercaya oleh laki-laki itu. Jadi, diam adalah jawaban terbaik.

“Kuberi kau satu kesempatan lagi. Katakan ... siapa yang membayarmu untuk semua kekacauan ini? Jika kau jujur, aku akan memberimu toleransi.”

Hingga sang CEO selesai mengenakan pakaian lengkap, Gabriella tetap mengunci suara. Isak tangis pun ia telan agar dirinya tidak dianggap lemah. Selelah apa pun hatinya menghadapi tuduhan yang menyakitkan, dirinya harus tetap tegar.

“Oh, kau masih memilih untuk diam? Baiklah, kalau begitu, jangan harap kau bisa keluar dari ruangan ini.”

Setelah menyatakan ancaman, Max keluar dan mengunci pintu. Ekspresinya jauh dari kata belas kasih. Di matanya, Gabriella tidak lebih dari seorang perempuan hina yang rela melakukan apa saja demi uang.

“Bibi, jangan ada yang membuka kamarku sampai aku kembali,” ujarnya kepada kepala pelayan yang baru saja selesai menata meja makan.

Wanita kurus dengan sedikit uban di kepalanya itu pun mengangguk. “Baik, Tuan,” sahutnya tanpa banyak tanya.

“Menu sarapan pagi ini dibagikan saja kepada semua pelayan. Aku harus segera ke kantor.”

Lagi-lagi, wanita paruh baya itu mengangguk kecil. Meski hatinya bertanya-tanya, ia hanya menyaksikan punggung majikannya pergi. Nada bicara sang CEO tidak pernah begitu dingin.

Sesampainya di ruang kerja, Sebastian telah menanti.

“Apa benar perempuan itu datang ke rumah Anda?”

“Tidak perlu bicara formal begitu, Bas. Kita hanya berdua. Kau tahu, aku bisa gila karena perempuan itu,” timpal Max sembari duduk di kursi besarnya.

“Gila bagaimana?”

“Semalam ada yang memberiku obat perangsang. Jadi, aku terpaksa meniduri perempuan itu.”

Kedua alis sang sekretaris terangkat tinggi. “Kau bercanda?”

“Aku juga berharap itu tidak nyata, tapi ... begitulah kejadian yang sebenarnya," desah sang CEO tampak putus asa.

"Aku juga tidak menginginkan hal itu, Bas. Belum selesai kita mengurus persoalan rumah, sekarang sudah ada masalah baru. Ah, semoga saja perempuan itu tidak hamil. Aku bahkan tidak terpikir untuk memberinya pil KB.”

“Hm, sebenarnya, ada masalah lain yang lebih penting dibandingkan itu, Max.”

Sang CEO spontan menegakkan punggungnya dari sandaran. Firasat buruk baru saja menghampiri.

“Apa?”

Tanpa berkata-kata, Sebastian melangkah maju dan meletakkan sebuah amplop cokelat. Tidak butuh tiga detik bagi Max untuk membongkar isinya.

Foto Gabriella memasuki pekarangan rumahnya, foto Max memasuki rumah gadis itu, dan bahkan foto mereka berdua sedang berciuman saat insiden kopi kini terhampar di meja. Mata sang CEO membulat tak menyangka.

“Apa maksud semua ini?”

“Dewan direksi juga telah menerima foto-foto ini. Mereka sekarang berasumsi bahwa kau bersekongkol dengan Gabriella untuk menggagalkan proyek Quebracha.”

Helaan napas lolos dari mulut sang CEO.

“Apakah mereka sudah gila? Untuk apa aku menggagalkan proyek yang kurintis sendiri?”

“Karena itu, rapat siang ini ditunda sampai ada kejelasan darimu. Sebagai gantinya, Tuan Herbert memintamu untuk menemuinya.”

Kerut alis Max sontak berubah menjadi lengkungan tinggi.

“Untuk apa Papa menemuiku?” gumamnya tanpa sadar. “Apakah dia curiga kepada anaknya sendiri?”

“Aku tidak tahu, Max. Penuhi saja undangannya siang ini.”

Sang CEO kembali menyandarkan punggungnya ke kursi. Tangannya kini terangkat menekan pelipis. Denyut yang tadi terasa kecil sudah berubah menjadi ketukan palu. Kepalanya benar-benar bisa pecah karena masalah Gabriella dan rumah yang telah rata dengan tanah itu.

***

“Selamat siang, Pa,” sapa Max dengan senyum canggung.

Bukannya sambutan hangat, sang ayah malah membuang muka dan mendengus kesal.

“Tidak perlu basa-basi, Max. Langsung saja jelaskan apa yang sudah kau perbuat!”

Sang CEO mendesah tak percaya. Meskipun mereka berada di ruang makan VVIP yang kedap suara, tetap saja dirinya tidak pantas mendapat serangan semacam itu.

“Seseorang telah menjebakku. Dia sengaja membayar Gabriella untuk menghambat proyek Quebracha.”

Herbert mengerutkan dahi mendengar penjelasan yang tidak logis itu.

“Benarkah? Memangnya, apa yang bisa dilakukan oleh seorang gadis biasa seperti itu?”

“Dia bersikeras tidak mau menjual rumahnya. Padahal, kami sudah menawarkan harga empat kali lipat,” jawab Max yakin.

Sang ayah mengangguk-angguk sambil memajukan bibir bawahnya.

“Lalu, apakah dia merobohkan rumahnya sendiri agar bisa melancarkan protes dan tuntutan kepada perusahaanmu?”

“Aku yakin dia ditugaskan oleh seseorang dari perusahaan pesaing.”

“Begitukah? Mereka mampu meretas surel berkeamanan ganda hanya untuk mengirimkan perintah sepele semacam itu? Kenapa tidak sekalian saja mencuri data penting Quebracha? Maaf, Max. Kau sudah kehilangan kepercayaan dari dewan direksi. Kau harus melepaskan jabatanmu sebagai CEO Quebracha Company.”

Max terbelalak dan menghela napas spontan. Kedua alisnya melengkung tak terima.

“Tunggu dulu. Kalian tidak bisa mencopotku begitu saja. Ini hanyalah kesalahpahaman. Aku bisa meluruskannya.”

“Tidak, Max. Ini keputusan final.”

“Dewan direksi tidak boleh gegabah. Kalau memang aku dijebak, kalian akan rugi besar. Perusahaan ini dan juga kemajuan teknologi akan menyesal sepanjang masa.”

Max terus membujuk dengan tangan yang ikut menjelaskan. Ia harus mampu meyakinkan sang ayah.

Karena tak kunjung mendapat respon yang positif, sang CEO akhirnya berkata, “Setidaknya, berikan aku waktu untuk meluruskan masalah ini.”

“Memangnya, apa yang akan kau lakukan?”

“Akan kupastikan kalau gadis itu tidak memperpanjang masalah. Dia akan menerima uang kompensasi tanpa embel-embel yang merugikan perusahaan. Tidak akan ada protes ataupun tuntutan. Proyek Quebracha akan dilanjutkan tanpa hambatan.”

Ruangan itu hening sejenak. Herbert sedang mempertimbangkan penjelasan putranya, sedangkan Max menunggu reaksi sang ayah.

“Kuberi kau waktu satu minggu, dan selama waktu itu, kau jangan datang dulu ke perusahaan. Semua aksesmu harus ditutup.”

“Apa? Tunggu dulu. Kenapa aku tidak boleh datang ke perusahaan? Bagaimana dengan agenda yang harus kuurus?” Tangan Max kembali terentang lebar menemani matanya yang bulat.

“Serahkan urusanmu kepada Sebastian. Kau perlu menyingkir dulu agar tidak menimbulkan kecurigaan baru. Jadi, jika dalam kurun waktu itu terjadi sesuatu, dewan direksi akan tahu bahwa kau tidak berkhianat.”

Alis sang CEO berkedut kecil.

“Berkhianat?” desahnya jijik.

Kata yang tak pernah sang CEO pikirkan terucap begitu mudah dari bibir sang ayah. Setipis itukah kepercayaan Herbert kepadanya.

“Baiklah,” angguk Max setelah beberapa kedipan. “Akan kubuktikan kalau aku tidak pernah berkhianat. Proyek Quebracha adalah ideku, prioritasku. Tidak mungkin aku mengacaukannya.”

Herbert mengangguk tanpa senyuman.

“Satu minggu,” tegasnya dengan pelupuk bergeming. Ia tampak sama sekali tidak keberatan jika putranya melepas jabatan.

Setelah meninggalkan tempat pertemuan, Max langsung menghubungi orang kepercayaannya.

“Halo, Bas, apakah sudah ada perkembangan dari penyelidikanmu?”

“Belum, Max. Aku sudah meminta tim keamanan untuk memeriksa kamera pengawas. Tidak ada orang mencurigakan di semua rekaman. Sepertinya, mustahil kita bisa menemukan orang yang menggunakan surel-mu.”

Sang CEO mejepit pangkal hidungnya dan terpejam sesaat.

“Lalu, bagaimana dengan perempuan itu? Informasi apa yang kau dapat?”

“Tidak ada yang berarti. Rumah itu memang peninggalan mendiang orang tuanya. Karena itu, dia sangat menjaga rumah itu.”

Kepala Max spontan miring mengimbangi keheranan. “Hanya itu?”

“Gabriella adalah seorang guru les piano. Dia sudah beberapa kali mengikuti kompetisi, tapi belum pernah memenangkan juara pertama. Baru-baru ini, dia kembali mengikuti kompetisi dan berhasil lolos di ronde pertama. Ronde kedua akan diadakan minggu depan.”

Tiba-tiba, Max teringat akan rekaman yang ia tonton semalam. Entah itu hanya sandiwara atau bukan, Gabriella tampak bersemangat untuk memenangkan kompetisi.

“Baiklah, terima kasih, Bas. Sekarang aku tahu apa yang harus kulakukan.”

Tanpa membuang waktu, Max memacu mobil kembali ke rumah.

“Bagaimana, Bi? Apakah ada masalah selama aku pergi?” tanya pria itu begitu disambut oleh si kepala pelayan.

“Tidak, Tuan. Perempuan itu begitu tenang di dalam kamar.”

Setelah mengangguk-angguk, sang CEO bergegas menaiki tangga dan membuka pintu dengan kasar. Gadis yang sudah mengacaukan proyeknya ternyata sedang berbaring di bawah bentangan gaunnya, masih pada tempat yang sama dengan tadi pagi.

“Heh, bangunlah!” bentak pria yang sedang menggenggam kekesalan.

Bayang-bayang dirinya meninggalkan jabatan mendadak jelas ketika dirinya melihat wanita itu.

Dua detik, tiga detik, tidak ada gerakan yang terlihat. Gadis itu bergeming dalam tidurnya.

“Ck, untuk apa lagi kau berpura-pura tidur? Kau mau menghindar dariku, hah? Bangunlah!”

Max menendang kaki gadis itu dengan pelan. Akan tetapi, tetap tidak ada suara yang keluar.

“Kau menguji kesabaranku rupanya.”

Sang pria pun mendekat dan menarik tangan gadis itu agar segera bangkit. Namun, sedetik kemudian, mata Max membulat karena keterkejutan. Tangan yang disentuhnya sedingin es, sementara wajah yang terpejam itu tampak seputih kapas.

“Hei, bangunlah! Jangan berpura-pura!” ucap Max dengan suara agak tersendat. Keraguan telah menggoyahkan pita suaranya.

“Gabriella?”

Tangannya mulai menepuk-nepuk pipi sang gadis. Akan tetapi, tidak ada respon yang ia dapat.