webnovel

Catatan Anna

AldySatria_ · Fantasi
Peringkat tidak cukup
3 Chs

Dirgantara

Kini malam terlalu muram bila harus kuceritakan, sosok cahaya yang menemaniku telah pulang ke peraduan. Sulit melupakannya, rasa bersalah itu masih mengalir deras di nadi. Bagaimana bisa Anna menyembunyikan ini semua dariku, dan mengapa Anna menyembunyikannya?

Hari demi hari seolah berjalan tanpa pernah aku nikmati, detik demi detik berisi penyesalan dan minggu demi Minggu dipenuhi rindu. Setelah kepergiannya, rasanya kematian tidak begitu menakutkan bagiku. Sepasang cincin yang telah ku beli dengan niatan menyematkannya di jari manis Anna hanyalah hayalan, pembahasan kami tentang rumah idaman, tanaman yang akan mengisi halaman, dan nama anak pertama, hanya harapan yang terdengar begitu menyakitkan.

Tinta demi tinta pena kugoreskan di tiap lembaran kertas, menulis tentang kebahagiaan kala itu dan kehilangan saat ini. Kini diriku terlalu bingung untuk melangkah maju ataupun memulai hidup yang baru, sebab rasa itu selalu menghampiriku di selah-selah waktu yang terus memaksaku untuk berkeluh. Kata Dillan rindu itu berat, namun bagiku mengikhlaskan lah yang sulit dilaksanakan. Andaikan Dillan ada disini akan kuceritakan keluh kesahku padanya, mungkin dia bisa menjadi sahabat karibku atau teman seperjuanganku, sebab sama-sama merasakan kehilangan meskipun berbeda kisahnya.

Motor tuaku yang pernah Anna tunggangi terparkir di depan kamar kostku, pernah terbesit untuk menjual motor tua ini. Namun selalu aku urungkan, sebab Anna suka motor ini, meskipun butut namun di atas motor inilah Anna tersenyum riang. Aku sering membawanya ke taman kota, dimana tempat aku dan Anna pertama kali berjumpa. Mampir ke warung pedagang kaki lima di pinggir jalan untuk sejenak bernostalgia.

Anna, bisakah kamu melihatku dari atas sana? Aku mencintaimu!

*

Kini dengan penghasilanku sebagai penulis lepas dan beberapa bukuku yang laris di pasaran, di tambah dengan uang tabunganku, aku membuat kedai kopi kecil-kecilan. Tidak terlalu besar namun cukup ramai, dengan nuansa alami dan jejeran buku yang langka menjadi penarik tersendiri bagi orang-orang yang mencintai kopi dan senang berkencan dengan buku. Sama sepertiku, dan mungkin sama seperti kalian juga. Selepas berkutat dengan keseharian aku sering bersantai sejenak disini, mengingat Anna pernah mendesain tempat ini sebelum berdiri, pasti kalian ingat bahwa Anna jago menggambar.

Suatu ketika

Aku dan Anna pernah pergi ke suatu kedai kopi yang berada di puncak bogor, suasana yang asri dan sejuk membuat kami begitu nyaman berlama-lama disana. Anna bilang "kalau tabunganku udah banyak nanti kita patungan ya buat bikin kedai kopi seperti ini"

Aku hanya mengangguk mengaminkan, Anna begitu suka tempat-tempat seperti ini, sama sepertiku. Kata Anna dia mau tinggal di pedesaan suatu saat nanti, dia mau rumah kayu bernuansa classic dan berwarna putih. Ia pernah menunjukkan gambar rumah idamannya padaku. Haha Anna..

Bisakah waktu kembali berputar kebelakang, aku sangat rindu wanita itu. Senyum manisnya, tawa riangnya, juga ambisinya masih melekat kuat di tiap sekat hatiku, tak ada yang mampu merobohkannya, bahkan diriku sekalipun. Kerajaan yang telah kami buat telah hancur begitu saja, hanya tersisa puing-puing kenangan yang telah dilebur waktu dengan rindu di setiap sisinya. Anna menjadi legenda di kerajaan ini, namanya terukir indah sebagai prasasti yang akan terukir dalam sejarah hidupku. Akankah aku mampu bertahan dalam sisa-sisa kerajaan ini atau membuat kerajaan baru, aku terlalu ragu. Sebab rapuh terus menghampiriku.

*

Aku sedang berada di basecamp pendakian gunung Papandayan, bersama 3 sahabatku yang dulu pernah menemaniku mendaki bersama Anna. Bukan hanya aku, merekapun merasakan kehilangan sosok Anna. Akhir-akhir ini kami lebih sering mendaki, pertama karena aku memiliki penghasilan yang cukup, yang kedua karena kami punya banyak waktu luang. Sekedar menyesap kopi dan menikmati golden sunrise/sunset di puncak yang tak semua manusia bisa melakukannya, kebanyakan manusia lebih memilih terjebak di lingkaran setan. Bekerja hingga larut, pulang lalu istirahat, besok kerja lagi, pulang larut lagi, seperti itu terus hingga Tuhan menyuruhnya pulang. Aku ingat, dulu aku dan Anna selalu membicarakan hal-hal seperti itu.

Pada saat itu

"Aku gak mau lagi berkutat dengan hal yang membosankan setiap harinya, hidupku terasa membosankan, apa menjadi dewasa harus se-membosankan itu?" Jelas Anna

"Aku gak tau sih, tapi mungkin" jawabku

"Kalau begitu aku gamau jadi dewasa, menjadi dewasa membosankan. Aku mau keliling Indonesia sama kamu Wira!!"

"Iya Anna, kalau aku sudah punya uang banyak kita keliling Indonesia. Kamu mau kemana nanti?" Aku bertanya

"Aku mau ke Raja Ampat, Gunung Rinjani, pokoknya semua tempat keren di Indonesia mau aku datengin" jawab Anna

"Indonesia terlalu keren buat orang yang tidak bisa menikmati hidupnya" jelasku

Banyak tempat-tempat indah di Indonesia yang telah dirusak, entah dirusak pihak-pihak tak bertanggung jawab yang haus akan harta atau dirusak pengunjung yang tidak tahu tata krama ketika di alam. Bayangkan, Indonesia yang terkenal dengan negara maritim namun lautannya kotor. Mulai dari limbah perusahaan, atau masyarakat yang membuang sampahnya ke lautan. Sungguh miris melihatnya, kapan mereka akan sadar bahwa alampun butuh kita cintai sebagaimana alam mencintai kita. Seringkali ketika aku mendaki gunung atau pergi ke tempat-tempat wisata, aku melihat pengunjung yang tidak tahu aturan. Contohnya, ketika di gunung Merbabu ada beberapa pendaki yang memutar musik dengan keras di malam hari. Mereka mengganggu waktu istirahat pendaki lain, juga ketenangan di alam itu sendiri, orang-orang seperti itu sangat egois. Apakah kalian melakukan hal sama ketika di gunung? Atau kalian pernah terganggu dengan orang-orang seperti itu?

*

Kami mulai mendaki pada pukul 07.00 malam, kami memilih mendaki malam karena sedari sore hujan menghambat kami untuk melangkah dari basecamp. Alhasil, gorengan dan camilan yang kami nikmati membuat aku dan sahabatu ketiduran, dan kami baru bangun saat mentari telah terbenam. Walaupun gelap dan track yang basah karena hujan, tidak membuat langkah kami goyah. Kami tetap memilih menapaki kaki langkah demi langkah menyusuri kegelapan di gunung Papandayan. Baru sampai di ketinggian 1000mdpl udara sudah terasa dingin, mungkin karena hujan yang tadi mengguyur, untungnya kami selalu membawa jaket tebal dan sarung tangan untuk menghangatkan, tak lupa rokok kretek ala bapak-bapak yang cukup menambah kehangatan saat perjalanan.

Berjam-jam sudah kami melangkah, belum sampai puncak sudah kelelahan hehehe. Akhirnya kami mencari tanah landai untuk mendirikan tenda dan masak ala cheff Renata dengan bahan-bahan seadanya. Aku mendirikan tenda dan yang lainnya memasak bahan makanan yang telah kami bawa. Kali ini kami membawa makanan yang cukup menggugah selera, seperti Sarden, ayam, nugget, sosis, buah-buahan dan tidak ada mie instan kali ini. Jarang-jarang makan makanan seperti ini saat mendaki, pernah dulu saat mendaki gunung kami kekurangan bahan makanan dan memakan tanaman yang bisa dimakan. Miris mengingatnya, kelaparan di gunung adalah hal berbahaya, itulah yang membuat kami memilih membawa makanan lebih daripada pas-pas'an.

Setelah makanan jadi dengan sigap kami mengeksekusinya, sebab lapar yang tak tertahankan sedari tadi, juga suhu yang dingin membuat perut keroncongan. Dengan nikmat dan hikmat, kami mencumbu satu persatu hidangan yang telah tersajikan di depan pandangan. Hal-hal seperti ini yang sering aku rindukan saat pendakian, makan sederhana terasa nikmat karena bersama. Kelelahan bareng, bercanda disaat kecapean, tidur desak-desakan, belum lagi hal-hal mistis yang terjadi di gunung sering menjadi pembahasan seru saat di tongkrongan. Kalian pernah merasakan? Atau kalian belum pernah mendaki? Coba deh, disitu kebersamaan kalian di uji, kalian akan mengerti karakter asli seseorang saat mendaki.

Karena perut yang selalu makan-makanan instan, sekalinya makan-makanan enak langsung tertidur pulas. Akibatnya kami telat satu jam dari waktu yang telah kami tentukan untuk melanjutkan perjalanan. Sekarang pukul 04.30 pagi, kami punya waktu sedikit untuk sampai ke puncak dan menikmati sunrise. Semoga sempat, dan kalau tak sempat tak apa, yang penting kami selamat. Karena ketika naik gunung tujuan utama kita bukan puncak, tapi pulang kerumah dengan selamat. Puncak tak pindah kok, kita bisa menyusun waktu lagi untuk mencapainya.

Baru saja berjalan beberapa menit menuju puncak kabut tebal menghalangi pandangan mata kami. Senter cahaya kuning yang kami bawa tidak mampu menembus kabut, jarak pandang kami hanya beberapa meter, selebihnya hanya kabut. Kami berpegangan tangan untuk memastikan tidak ada yang terpisah, sedikit demi sedikit meniti jalan untuk menemukan tanah landai. Saat aku melangkahkan kakiku tiba-tiba tangannku terasa tertarik, aku mengira bahwa temanku yang lainnya terperosok ternyata aku salah, akulah yang terperosok. Aku terkatuh ke jurang yang cukup dalam, tubuhku membentur dinding bebatuan, tanaman, hingga di dasar jurang. Kabut masih mengelilingiku, disertai bau darah segar yang mengalir dari sekujur tubuhku. Aku tidak tahu darimana asal luka ini, yang jelas semua sakit dan semua tak bisa digerakkan.

Suara teriakan teman-temanku terdengar dari kejauhan, namun aku sama sekali tidak bisa mengeluarkan suara. Tubuhku terlalu lemas, tidak berdaya, hanya bisa terdiam dan menikmati detik-detik terakhir hidupku. Kabut perlahan demi perlahan menghilang, hingga aku dapat melihat sekelilingku. Aku jatuh disebuah jurang sedalam 20m, aku terjelembab di sebuah tempat yang dipenuhi tanaman. Tubuhku tertutup tanaman dan kemungkinan teman-temanku tidak bisa melihat dimana aku berada, sebab aku telah diselimuti dedaunan dan ranting-ranting. Suara keras temanku yang memanggil namaku terus terdengar, aku hanya bisa mendengar sebab pandanganku perlahan-lahan mulai kabur. Darah segar terus mengalir nafasku terasa sesak mungkin tadi dadaku terbentur sesuatu atau sesuatu menancap di tubuhku, entahlah. Semua terlihat samar-samar nafasku terus tersengal hingga semuanya menjadi gelap.