webnovel

Catatan Anna

AldySatria_ · Fantasi
Peringkat tidak cukup
3 Chs

Catatan Anna

Kala mentari pamit undur diri dengan perlahan tapi pasti, tak lupa ia menghadirkan lembayung indah sebagai salam perpisahan. Aku menatap megahnya semesta, hamparan pasir pantai nan cantik, di sambut desiran ombak yang mancumbu tepian pantai dengan hikmat. Kopi yang sedari tadi aku nikmati perlahan mulai pindah posisi, dari gelas menuju bibir, melalui tenggorokan hingga berlabuh di perutku. Nikmatnya bercinta dengan alam, bercumbu dengan kenikmatan nya, sebuah klimaks yang tak semua manusia bisa merasakannya. Pohon kelapa yang menari indah tersapu angin, juga para nelayan yang sedang menyandarkan perahunya ke tepian pantai, menambah pesona tempat ini. Aku sedang berada di alam nyata, namun rasanya seperti mimpi. Sungguh sebuah anugerah luar biasa, bisa melihat sedikit lukisan sang kuasa meskipun hanya setitik.

Sejak di tinggal ayah pergi, aku kerap merasakan kesepian yang begitu mendalam. Karena kecelakaan yang menimpanya satu tahun yang lalu, ia terpaksa harus pamit begitu cepat, sangat cepat hingga aku tak siap. Aku sadar kok perpisahan itu pasti akan datang, aku hanya belum siap. Ayah adalah satu satunya pria hebat yang aku punya, cinta pertamaku, dan manusia yang paling mengerti aku. Meski sudah genap satu tahun kepergian nya, aku masih berat menerimanya. Ibuku bukan seperti ibu kalian yang penuh perhatian dengan anaknya, beberapa bulan setelah kepergian ayah, ibu memutuskan untuk menikah lagi. Suatu hal yang sulit aku terima, ayahku hanya satu meskipun ia tak lagi di sisiku.

Tidak jarang aku pergi dari rumah hanya untuk mengasingkan diri, dan merasakan damainya hidup ini. Tidak lagi kurasakan kedamaian dirumah, di sana hanya ada ibu dan pria yang tidak pernah aku anggap ayah. Aku teringat saat ayah meninggal; aku menatap jalan raya di depan rumah duka, semuanya berjalan seperti biasa, mobil dan motor tetap berlalu lalang, pusat perbelanjaan tetap ramai pengunjung, seperti tidak ada yang berubah. Dari situ aku mengerti bahwa dunia akan tetap berjalan bahkan saat kau rapuh sekalipun.

Aku Anna, seorang karyawan Bank swasta di Jakarta. Sebenarnya aku ingin sekali menjadi penulis, namun ibu melarangku entah apa alasannya. Setelah lulus SMA aku melanjutkan study di salah satu kampus ternama disini, aku memilih fakultas Hukum karena saran dari ayah dan akupun menyukainya. Entah kenapa Mahasiswi fakultas Hukum memiliki poin tersendiri di mata orang-orang. Aku juga suka membaca, menulis cerpen, membuat puisi dan menggambar. Sewaktu kecil ayah sering mengajakku ke pentas-pentas seni, dan kelas-kelas menggambar. Di umurku yang ke 15 tahun ayah sudah mengajakku mendaki gunung. Mungkin karena itu aku begitu menyukai alam bebas, sampai saat ini hampir seluruh gunung di tanah jawa telah aku daki, hebat kan? Iyaa itu karena ayah. Aku percaya ketika kita mendaki gunung sebenarnya bukan kita menaklukan gunung itu, tapi kita menaklukan diri kita sendiri, sebelum mengalahkan apapun kita harus mengalahkan ego kita terlebih dahulu.

*

Hari-hari kembali seperti biasa, datang ke kantor di pagi hari dan pulang sore hari. Satu-satunya hal yang aku suka di pekerjaan ini; adalah waktu pulang. Saat jam kerja telah berakhir, aku biasa memesan kopi di kantin kantor lalu meminumnya di atap gedung tempatku bekerja. Dari sana kita bisa melihat hamparan perkotaan yang luas dengan mentari yang perlahan pulang ke peraduannya. Saat hujan kita bisa melihat pelangi yang terlihat jelas dari sini, dan hal hal seperti ini yang membuatku semangat pergi ke kantor. Sayangnya, Kali ini aku terpaksa harus pulang lebih awal karena sakit, penyakit yang selalu menyerangku tanpa permisi dan sakitnya begitu minta ampun. Ini sudah kesekian kalinya aku merasakan ini, merasakan pusing yang tiba-tiba tiba hingga tubuh lemas, dan tak jarang aku pingsan. Atasanku menyarankan untuk konsultasi ke dokter, ia khawatir bahwa penyakit ku bukan penyakit biasa yang di sebabkan karena kelelahan, aku pun setuju dan menuruti anjurannya. Selepas dari kantor aku langsung menuju ke rumah sakit terdekat untuk memeriksa kondisiku, jaraknya sekitar 3km dari kantor tempatku bekerja, tidak terlalu jauh dan searah dengan rumahku.

Aku duduk di ruang tungggu pasien setelah selesai mendaftar untuk konsultasi, di kanan kiriku banyak orang tua yang terduduk lemas; entah apa penyakitnya. Perawat mondar-mandir disertai suara wanita di balik meja resepsionis yang memanggil satu persatu pasiennya.

"Anna mentari!!"

Namaku pun di panggil, aku bergegas menuju ruangan dokter dengan terburu-buru sebab aku ingin langsung pulang dan melihat langit sore selepas ini.

Seperti biasa, dokter dengan baju medisnya bertanya-tanya tentang keluhanku, berlanjut dengan pengecekan suhu tubuh, tekanan darah dan lainnya secara mendetail.

"Bagaimana dok, saya sakit apa" aku bertanya

"Maaf nona anna, kami harus melanjutkan pemeriksaan lebih mendetail dan harus melakukan Rontgen, sebab rasa pusing yang tiba tiba muncul di kepala nona sepertinya bukan pusing biasa, apalagi nona berkata sering pingsan saat pusing itu datang" dengan wajah tegang dokter itu menjawab pertanyaanku.

"Baik dok kalau begitu, saya tunggu hasilnya"

Sudah pukul 16.30 tandannya hampir 2 jam aku menunggu hasil lab dari dokter, aku berharap hasilnya cepat keluar dan aku bisa cepat pulang. Orang-orang yang ramai di kanan kiriku satu persatu telah pulang, ruang tunggu dirumah sakit ini perlahan tapi pasti menjadi sepi. Syukurlah, aku tidak suka tempat ramai, bahkan dirumah sakitpun ketika sunyi aku menyukainya. Namaku kembali disebut oleh suster, aku diantar menuju ruangan dokter untuk berbicara empat mata. Seperti wawancara kerja saja, dalam hati aku menggerutu.

"Silahkan duduk nona anna" dokter itu kembali menyapaku kali ini dengan lembaran kertas di tangannya, persis seperti dosen yang meminta revisi skripsi.

"Bagaimana dok hasil lab nya?" Aku langsung bertanya to the point

"Begini nona anna, kami telah melakukan tes di lab juga rontgen tadi dan benar seperti apa yang saya pikirkan bahwa pusing yang nona kerap rasakan itu bukan pusing biasa. Dari hasil pemeriksaan dan hasil rontgen kami melihat adanya tumor kecil di kepala nona anna yang kian hari membesar dan itu sangat berbahaya. Nona anna harus segera melakukan operasi pengangkatan tumor tersebut"

Dokter itu menjelaskan dengan pelan dan sopan, bahwa aku terkena tumor otak.

Ruangan ini terasa begitu sunyi, aku menatap langit-langit ruangan dengan derai air mata yang tidak bisa kutahan. Apalagi ini? Apakah Tuhan tidak pernah memihakku? Belum sempat aku mengikhlaskan kepergian ayah kini aku harus ikhlas dengan tumor yang tumbuh di kepalaku. Aku harus bagaimana? Tidakkah aku bisa merasakan kebahagiaan?

"Nona anna?" Dokter itu menyebut namaku

"Iya dok" aku menjawab dengan setenang dan setegar mungkin

"Bagaimana, apakah nona siap melaksanakan operasi pengangkatan tumor yang ada di kepala nona? Dokter kembali bertanya

"Saya akan pikiran dok"

"Jangan terlalu lama berpikir, ini tentang kesembuhan nona" dokter membalas perkataanku

"Iya dok secepatnya saya akan berpikir, saya pamit dulu untuk menenangkan diri. Permisi"

*

Saat ini langit sore tak lagi indah dimataku, air mata yang sedari tadi mengalir tanpa henti terus membasahi pipiku. Berulang kali supir taxi yang ku naiki bertanya apa masalahku, namun aku enggan menjawab. Dunia sangat kejam padaku, bertubi-tubi sakit terus kurasakan. Tak hentinya aku merenungi hidup ini. Dari dalam taxi kutatap sekitar, kendaraan berlalu lalang, orang-orang yang berjalan di tepian jalan dan pedagang asongan yang berlarian mengejar bus. Apapun kuamati untuk sekejap melupakan hal yang terjadi hari ini, entah hari akan berjalan bagaimana selanjutnya, aku pasrah.

Aku menyuruh supir memutar arah, aku ingin pergi ke taman kota menikmati apapun yang bisa aku nikmati sebelum aku mati dan pergi dari dunia ini. Pak supir mengiyakan permintaanku, dengan tangan tuanya ia memutar stir kendaraan dan langsung menancap gas menuju tempat yang aku inginkan. Cuaca yang cerah berubah mendung, mentari tertutup awan gelap, segelap pikiranku sekarang. 15 menit berselang aku telah sampai di taman kota, kulangkahkan kakiku mengitari sekitar. Taman bunga yang cantik, anak-anak kecil yang berlarian kesana kemari menambah keceriaan disini, tapi tidak di hatiku. Aku kembali duduk termenung di bangku taman hingga hujan membasahiku.

"Pakai ini nanti kamu kedinginan, ngapain hujan-hujanan di taman?" Suara pria terdengar dari belakangku seraya menutupi tubuhku yang setengah basah dengan jaket miliknya

"Enggak usah, biarin saya disini!" Aku menjawab dengan ketus

Pria itu tetap melindungi tubuhku dari hujan dengan jaketnya, ia memaksaku untuk bangun dari duduk dan berteduh. Karena tubuh lemahku mulai menggigil kedinginan akupun menurutinya.

"Kamu kenapa? Ada masalah apa?" Pria itu kembali bertanya melepas kesunyian di depan warung kaki lima tempat kami berteduh

"Enggak papa" hanya Kalimat itu yang keluar dari mulutku, mungkin pria ini akan risih dengan sifatku.

Pria itu memesan dua gelas teh dari warung kaki lima dan meminta kursi untuk kami duduk.

"Diminum, biar hangat"

"Terimakasih" aku kembali menjawab dengan kalimat yang singkat padat dan jelas. Entah kenapa aku rindu ayah, pria ini sama perhatiannya dengan ayahku dulu. Saat umurku 6 tahun ayah menjemputku dari sekolah, di tengah jalan kami terjebak hujan, kami kehujanan hingga aku menggigil. Ayah meminggirkan kendaraannya dan berteduh di warung pinggir jalan, ia melepas jaketnya dan membalutkan ke tubuhku sama seperti yang pria ini lakukan.

Hujan reda dengan perlahan, jalanan yang basah dan air hujan yang masih menetes dari dedaunan menambah keheningan

"Biar saya antar pulang" pria itu kembali memecah keheningan, entah ini pertanyaan atau ajakan.

"Gak usah, saya bisa pulang sendiri"

"Tunggu disini saya ambil motor" pria itu tetap dengan pendiriannya untuk mengantarkan aku pulang.

Karena uang yang mulai menipis sebab biaya pengobatan dirumah sakit dan taxi tadi akupun bersyukur ada yang ingin mengantar pulang, jika tidak mungkin aku harus berjalan lima kilo lebih hingga sampai rumah. Dari kejauhan terdengar suara motor tua yang semakin mendekat, motor jadul yang sudah langka itu mendekati tempatku berdiri. Ternyata itu adalah pria tadi, aku kira dia sebal dan meninggalkan aku disini, ternyata tidak. Dengan pakaian yang basah dan tubuh yang telah lelah aku perlahan menaiki motor itu, semoga pria ini tidak berbuat yang tidak-tidak padaku.

Jalanan Jakarta yang biasanya padat kini lenggang, udara yang biasanya di penuhi asap kendaraan kini terasa sejuk. Kunikmati tiap detiknya waktu, pria ini memacu kendaraannya dengan kecepatan yang tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. Seakan dia tahu aku sedang menikmati keadaan sekitar.

"Aku wira, namamu siapa??" Pria itu bertanya

"Anna" aku menjawab

"Anna kamu ngapain hujan-hujanan di taman tadi? Lima belas menit aku mengamati mu dari kejauhan hanya terduduk diam di taman hingga hujan turun?"

"Enggak papa" aku masih menjawab dengan jawaban yang aku yakini membuat pria ini sebal padaku.

"Anna, Terkadang lara akan pudar, jika kita bersahabat dengannya. Bukan mati-matian berusaha melawannya; itu akan sia-sia, tidak akan ada yang berubah. Kamu hanya menghabiskan waktu dan energimu, bersyukurlah dan mulai bersahabat dengannya" wira mencoba menenangkanku

"Sulit, tidak semudah itu" aku kembali menjawab

"Sulit jika kamu belum bisa menerimanya, terima apa yang sudah terjadi. Apapun yang menghilang darimu akan kembali dalam wujud lain" wira menyambut perkataanku

"Aku kehilangan ayah!!" Aku tak sanggup lagi menahan tangis, hanya ayah yang ada dipikiranku saat ini. Aku menangis sejadi-jadinya, kupeluk pria asing yang memboncengku ini, biar saja jika dia tidak nyaman dengan kelakuanku. Aku tidak kuat lagi menahan ini, ayaaaah...

*

Malam ini aku hanya menghabiskan waktu sendirian di kamar, membaca buku-buku favoritku, memutar musik musisi idolaku. Aku meminum obat yang telah diberikan dokter tadi, entah apa fungsinya obat ini, mungkin kapsul ini bisa menambah umur, atau penangkal kedatangan malaikat Izrail, entahlah. Pikiranku sudah mulai tenang jika dibandingkan sore tadi, satu persatu aku mulai bisa menerima semua yang terjadi meski tidak mudah. Aku tahu, butuh waktu untuk menerimanya. Aku belum berterimakasih pada Wira sudah meminjamkan jaketnya, mengantarkan aku pulang, dan mencoba untuk menenangkanku. Entah bagaimana caraku berterimakasih, aku tidak bisa menghubunginya, kami belum bertukar WhatsApp, bahkan akun sosial media miliknya pun aku tak tahu. Untuk pria asing yang telah menolongku hari ini, telah ku titipkan terimakasih pada langit, semoga ia menyampaikannya padamu"

Malam tadi aku tertidur sangat pulas hingga bangun kesiangan, aku tidak bekerja hari ini karena atasanku telah menyuruhku untuk beristirahat dirumah hingga pulih kembali, ia tidak tahu kalau penyakitku terus berkembang meski aku sedang tertidur nyenyak. Ibu dan pria asing yang sekarang adalah suaminya telah pergi bekerja, ini adalah waktu yang tepat untuk aku membuat teh dan membaca buku di halaman rumah. Halamanku penuh dengan tanaman hias, aku suka tanaman dan menanam sejak SMA. Saat orang tua lain memberikan kado ulangtahun untuk anaknya berupa handphone, baju baru, kendaraan dsb. Ayah memberiku bibit tanaman, aneh ya hehe; itu uniknya ayahku. Sudahlah aku mau masak teh dulu, nanti kuping ayah panas di sana kalau aku bicarakan terus.

Setelah teh telah siap dihidangkan, aku berjalan dari dapur menuju kamarku untuk mengambil buku yang semalam belum selesai aku baca, lalu kulangkahkan kaki menuju halaman rumah yang aku sudah ceritakan tadi. Matahari pagi menyapaku pelan-pelan, kehangatannya seolah memelukku. Udara pagi yang segar, tanaman-tanaman yang indah, secangkir teh juga buku favoritku akan terasa nikmat hari ini. Setelah satu tahun, baru kali ini aku kembali menikmati suasana rumah, karena biasanya aku berangkat kerja pukul 6 pagi agar tidak terjebak macet, pulang sore hari dan kelelahan. Akhirnya aku menemukan kenyamanan lagi di tempat ini.

Baru saja aku bilang, aku ingin menikmati pagi ini sudah ada suara kencang dari motor yang menggangu pendengarku. Suaranya kian mendekat, tunggu dulu...

Aku kenal suara motor ini, tapi bukankah semua motor suaranya mirip mirip-mirip. Belum selesai aku berpikir motor berisik tadi sudah di depan rumahku, yaa.. dia wira. Benar dugaanku yang masih menduga-duga. Akhirnya suara itu hilang, jika saja dia masih menghidupkan mesin motornya saat sampai di depan rumahku, mungkin dia sudah kumaki maki. Rambut nya yang sedikit ikal juga bola mata coklatnya terlihat indah saat terpapar sinar mentari, tapi masa aku biarkan dia disana seharian sih.

"Masuk" aku memanggilnya

"Bagaimana?" Dia bertanya. Apakah orang ini tidak mengerti bahasa manusia, aku sudah menyuruhnya masuk tadi.

"Iya masuk ajaaa" aku kembali menyuruhnya

Ia memanjat pagar besi rumahku lalu melompat kedalam, aku curiga apakah dia keturunan tarzan atau manusia dari zaman purba yang tidak tahu gerbang bisa dibuka.

"Anna, pagarmu terkunci dari dalam" ia berkata dengan sedikit kesal

Aku hanya tertawa; karena malu, sekaligus lucu melihat tingkah orang ini. Kok aku lupa ya, kalau setiap ibu pergi bekerja pasti dia menggembok gerbang dari luar dan kuncinya di lemparkan kedalam.

"Inii sarapan untukmu dan ibumu" ia menyodorkan bungkusan yang ia bawa.

"Terimakasih, tapi ibu pergi kerja" jawabku

"Yasudah untukku" ia menyambut perkataanku sambil tertawa.

Aku masuk ke dalam dan mengambilkan piring juga sendok di dapur, sekalian membuatkan tamu konyol ini kopi sebagai tanda terimakasih, karena kemarin telah mengantarku pulang. Kopi khas dari Lampung dengan rasa kopinya yang strong pasti disukai pria semacam wira, entah kenapa aku merasa orang ini pecinta kopi, hehe sok tau. Tapi sepertinya benar, dilihat dari gaya berpakaiannya yang tidak terlalu kekinian dan tidak terlalu jadul, aku menyimpulkan ia suka kopi dengan rasa yang apa adanya. Air yang sedang aku rebus telah mendidih, lalu aku tuangkan ke gelas yang telah terisi kopi bubuk dan gula, di aduk dengan sepenuh hati dan disajikan dengan kesederhanaan. Kopi spesial telah siap dihidangkan!!

"Ini kopimu" aku menaruh kopi yang telah aku buat di meja.

"Kamu suka baca buku?" Wira bertanya padaku

"Iyaa, dari kecil. Buku pertama yang aku baca adalah buku karangan Pramoedya ananta toer, hadiah dari ayah" aku menjawab dengan semangat.

"Wah, ayah kamu pasti asik orangnya, sayang sekali ayahmu dan ayahku sudah duluan ke surga" katanya

"Ayah kamu juga sudah gak ada?" Aku bertanya dengan nada pelan.

"Iya, sejak umurku 10 tahun" wira menjawab

Ternyata bukan hanya aku yang kehilangan sosok ayah dalam hidup, pria di depanku juga. Tapi nampaknya ia tidak terlihat sedih, atau mungkin karena telah lama ayahnya meninggal hingga dia mulai terbiasa? Entahlah. Bungkusan yang di bawa Wira tadi adalah bubur ayam, entah kebetulan atau dia tahu kalau aku suka bubur ayam, dan bubur ayam yang ia beli adalah bubur ayam langganan ayahku dulu. Ini bubur ayam dengan rasa nostalgia.

Obrolan kesana kemari mengisi waktu kami, dari pagi hingga siang hari. Obrolan ringan seperti hobi, buku favorit, hingga keseharian juga rencana untuk mendaki gunung bersama. Ternyata, Wira juga suka mendaki dan dia telah mendaki seven summit di Indonesia, seven summit adalah tujuh gunung indah yang ada di Indonesia, salah satunya Rinjani. Ia menunjukkan rekaman video saat ia berada di puncak rinjani, juga foto-foto hasil jepretan ia selama pendakian. Hasilnya keren-keren tentunya dengan perjuangan yang luar biasa, mendaki gunung itu bukan hal mudah. Persiapan fisik, mental, peralatan hingga teman seperjalanan itu sangat penting, salah-salah bisa nyawa taruhannya. Alam bebas tidak pernah bercanda kalau soal bahaya, banyak pendaki yang mengalami nasib na'as karena terlalu meremehkan pendakian, mulai dari hipotermia, tersesat, hingga gangguan dari 'penunggu' di gunung tersebut. Aku yakin selama kita memperhatikan betul persiapan sebelum mendaki dan mengikuti apapun aturan yang telah ada di gunung tersebut kita akan aman. Kemanapun kita beranjak, tujuan akhir kita adalah pulang kerumah dengan selamat.

Kami telah memutuskan akan berangkat mendaki minggu depan, tujuan kami adalah gunung lawu. Kami akan mendaki ber'enam, Wira mengajak empat temannya untuk mendaki bersama. Ini yang aku butuhkan sekarang, saat aku sedang lelah dengan hiruk-pikuk kota menikmati keindahan alam adalah opsi utama, aku tidak sabar untuk hari itu.

Waktu telah menunjukkan pukul 11.00 siang, Wira sudah pulang. Selesai membereskan rumah aku harus menjalankan ritual kesukaanku, yaitu tidur siang. Aneh ya, waktu kecil kita susah sekali di suruh tidur siang, saat dewasa kita tidak punya waktu untuk tidur siang dan sangat menginginkannya.

*

Ponselku berdering tanda ada panggilan yang menunggu

"Sudah siap berangkat, aku susul ya?" Suara dari balik telpon itu adalah wira. Yaa, hari ini kami akan berangkat mendaki gunung, Wira dan temannya sudah siap, cuma aku yang belum siap-siap. Karena semalam terlalu asyik menonton drama korea hingga larut malam, aku jadi bangun kesiangan.

"Sudah siap boss, silahkan menyusul" aku menjawab meskipun dengan keadaan belum mandi, biarkan saja pria itu menungguku di ruang tamu nanti. Setelah menutup telpon aku langsung bergegas membersihkan tubuhku, sebelumnya aku telah membuatkan kopi untuk Wira yang pasti akan menungguku.

"Nanti langsung masuk saja, di ruang tamu sudah kubuatkan kopi" aku mengetik chat yang langsung aku kirim ke Wira.

Suara motor tua terdengar saat aku sedang mengguyur tubuhku di kamar mandi, itu pasti Wira. Di komplek ini tidak ada yang menggunakan motor seperti itu, entah motor itu langkah atau bagaimana, aku tidak mengerti' yang jelas motor dia berisik. Suara ibuku yang membuka pintu dan menyuruh masuk, membuatku yakin kalau itu benar-benar Wira. Semoga ibu tidak mengusirnya, aku takut ibu mengira Wira adalah tukang palak.

Tubuhku yang lusuh kini sudah segar, siap untuk berangkat.

"Bu saya idzin ajak Anna mendaki gunung" Kata Wira

"Iya, hati-hati ya disana, jangan aneh-aneh" ibu menjawab seraya aku melangkahkan kaki keluar rumah. Motor tua ini siap membawa kami berjalan jauh menyusuri jalanan kota menuju ke basecamp pendakian gunung lawu. Semoga tidak mogok, aku malas mendorong. Seperti biasanya, saat weekend jalanan terasa sedikit lenggang. mungkin orang-orang sedang menghabiskan waktunya untuk tidur berlama-lama dirumah setelah berhari-hari berkutat dengan pekerjaan. Syukurlah, kami tidak harus terjebak macet.

Setelah perjalanan yang amat sangat lama dan jauh, kami sampai di basecamp pendakian gunung lawu via candi cetho, sepertinya kami akan bersantai sejenak melepas pegal-pegal di tubuh sebelum berangkat menuju pos satu. Sambil packing barang-barang ke dalam tas carrier, secangkir teh hangat dan gorengan menjadi sahabat setia kami. Tak lupa aku berkenalan dengan empat sahabat Wira yang turut serta dalam pendakian kali ini. Ira, Putri, Sekar, dan Rangga, pendakian ini di dominasi oleh perempuan. Ternyata banyak ya perempuan petualang selain aku, Ira sebelumnya pernah bertemu denganku di puncak gunung tampomas beberapa tahun lalu, kami sempat foto bareng dan akhirnya dipertemukan kembali saat pendakian gunung lawu. Putri dam Sekar baru melakukan pendakian yang pertama kali, keren sih pendakian pertama tapi langsung naik gunung lawu. Pendakian ini menyenangkan karena ditemani dengan teman-teman yang asik, mereka memiliki selera humor yang tinggi. Aku tidak berhenti tertawa melihat Ira bercerita.

*

Aku menikmati perjalanan menuju puncak, pohon-pohon besar yang menjulang tinggi hingga menutupi tubuh kami dari sengatan matahari, flora fauna yang masih terjaga kealamiannya, juga suara burung-burung yang jarang sekali kudengar di Jakarta. Sungguh, berbulan-bulan lamanya aku tidak mendaki hingga otot-otot kakiku mulai melemah. Sering aku meminta Wira untuk beristirahat sejenak, namun tidak terlalu lama karena aku malu dengan Ira, Sekar, dan Putri. Mereka tampak kuat, tidak ada tanda-tanda kelelahan di diri mereka, tentunya aku tidak mau kalah. Meskipun sebenarnya sudah kalah hehehe.

Karena seringnya berisitirahat, waktu menunjukkan pukul lima sore, tandanya sebentar lagi gelap akan menyelimuti. Aku takut mendaki saat gelap, meski punya waktu sekitar empat puluh menit perjalanan lagi, tapi kakiku sudah tidak kuat melangkah. Akhirnya kami memutuskan untuk membagi dua kelompok, Wira menemaniku beristirahat dan akan melanjutkan perjalanan menuju puncak saat subuh, dan yang lainnya melanjutkan perjalanan. Sebenarnya aku merasa tidak enak untuk beristirahat lama, namun mendaki bukan hanya tentang puncak tapi juga tentang keselamatan.

"Kakimu diluruskan supaya gak keram" Wira berkata

"Iya, udah lama banget gak naik gunung jadinya begini" aku menjawab sembari merintih menahan sakit di betis.

"Yasudah kamu duduk saja, aku bangun tenda sekalian masak untuk makan kita nanti" sambung Wira

Malam datang disusul kesunyian gunung Lawu, suara jangkrik menemani kami. Suhu dingin di gunung ini mulai terasa, terpaksa kami harus membuat api unggun kecil untuk menghangatkan tubuh, sembari memakan camilan yang aku bawa dari rumah. Bintang mengintip dari langit melalui selah dedaunan, cahaya terang rembulan masih terlihat meski tidak seluruhnya. Wira memainkan ukulele yang ia bawa, menyanyikan lagu sesuai permintaanku. Ternyata dia punya suara yang bagus, malam ini terasa lengkap. Keheningan dan kedamaian menyelimuti sepasang insan manusia, entah kenapa aku menyukai berada dekat dengan Wira, Sifatnya yang mirip dengan almarhum ayah membuatku nyaman, kekonyolannya terkadang merindukan, apalagi saat membahas buku-buku sastra yang telah kami baca, wah dia berbicara seperti penulis profesional. Ayah apakah kau berdialog pada Tuhan untuk mengirim Wira padaku?

Saat api unggun telah padam, tubuhku merasakan kedinginan yang luar biasa, Wira membalutkan jaket cadangannya ketubuhku, lalu ia pergi untuk mencari kayu. Aku jadi tidak enak menyusahkan dia seperti ini, pasti dia juga capek. Ahh sudahlah lagipula aku tidak kuat beranjak sendiri untuk mencari kayu bakar.

"Jangan terlalu lama diam, nanti tubuhmu makin kedinginan, bisa hipotermia" Wira berbicara sembari menyusun kayu bakar

"Terus aku harus ngapain, push up?" Aku menjawab sambil tertawa

"Ambilin pemantik di dalam tas, terus kamu bakar ini serbuk kayu sampai jadi api" sambung Wira

Aku bingung bagaimana cara menghidupkan api tanpa minyak tanah atau bensin, tapi aku malu jika mengakuinya pada Wira. Berkali-kali aku gesek pemantik api ke serbuk kayu berkali-kali juga apinya kembali padam. Aku terus mencoba, aku berkonsentrasi layaknya pesulap yang akan mengeluarkan api dari tangannya, namun sia-sia. Sepertinya Wira mengerjai ku, tapii aku dingin di tubuhku perlahan menghilang. Bukan sulap bukan sihir, api belum jadi tapi aku sudah tidak kedinginan, malah keringetan, pegal juga mengobrak-abrik susunan kayu berkali-kali. Wira menatapku sambil tertawa, sepertinya pria ini sedang meledekku.

"Sini aku ajarii" ia bangkit dari duduknya laku meraih pemantik api dari tanganku.

Hanya butuh beberapa menit dan triinggg api unggun telah jadi. Bagaimana bisa bocah ajaib ini menghidupkan api begitu cepat tanpa minyak? Kurasa ia pengendali api. Usut punya usut ternyata yang aku lakukan tadi salah, begitu api menyala dari serbuk kayu aku langsung menimpanya dengan kayu kayu besar, harusnya kayu yang kecil dulu, jika sudah terbakar semua baru di timpah kembali dengan kayu besar. Kenapa dia tidak bilang dari tadi sih, kan aku tidak perlu terlihat konyol di hadapannya.

Kini dingin di tubuhku telah hilang, berganti dengan rasa hangat dari api unggun, dan rangkulan Wira. Kami menatap api unggun dan mulai berbicara. Wira bercerita bahwa ia berasal dari suku baduy dalam, yang sebagaimana aku tahu, suku itu sangat tertutup dari dunia luar, bagaimana bisa dia hidup di kota metropolitan. Ia berkata bahwa telah idzin pada orangtuanya untuk menimba ilmu di salah satu universitas di Jakarta, walau dengan berat hati orang tua Wira telah mengiyakan. Ia juga menceritakan kenapa suku itu tertutup dari dunia luar, ternyata mereka tidak suka dengan kelakuan orang kota yang cenderung merusak alam untuk keuntungannya sendiri. Suku baduy dalam sangat menghormati alamnya, jika ada orang yang masuk ke hutan mereka lalu menebang pohon yang ada disana mereka akan sangat marah. Wajar saja Wira jago membuat api unggun, dan terlihat tenang saat ada di hutan. Ternyata ia lebih rimba dariku, dari kecil dia sudah hidup berbaur dengan alam yang ganas. Sangat berkebalikan dengan kita orang-orang kota, banyak pengusaha yang membakar hutan hanya untuk lahan bisnisnya saja, belum lagi sungai-sungai di Jakarta sangat kotor akibat limbah pabrik dan warga yang membuang sampah sembarangan. Sepertinya sebagai besar umat manusia diciptakan hanya untuk merusak, dan sebagian lagi untuk melindungi. Kalian termasuk yang mana?

Kini malam berganti menuju pagi, tepatnya subuh sih, kami memutuskan bangun saat pagi-pagi buta sesuai rencana untuk menyusul kelompok pertama di atas. Udara pagi yang amat dingin membuat kaki malas melangkah, di tambah langit yang masih gelap membuatku harus lebih berhati-hati. Namun, udara disini sangat amat sejuk dan tentunya bersih juga bebas polusi, paru-paruku yang mungkin telah penuh dengan asap pabrik, kendaraan, dan bau khas perkotaan terasa lebih baik. Di tengah perjalanan kabut turun tidak terlalu tebal, namun lumayan untuk menghalangi jarak pandang.

"Anna, sini tanganmu" Wira berbicara saat kami mulai menembus kabut

"Kenapa??" Aku bertanya bingung

"Aku pegang biar gak terpisah" Wira melanjutkan

"Oohh terpisah karena kabut ini" aku mengangguk paham

"Bukan, supaya gak terpisah untuk selamanya" Wira menanggapi dengan sedikit tersenyum.

Aah bisa saja pria ini menggombal di saat-saat sulit, tapi aku suka sih.

Sepasang anak cucu adam menembus kawanan kabut dengan berani, dengan bergandengan tangan seolah kuat jika bersama dan rapuh bila berpisah. Langkah demi langkah terus kami lewati hingga tak terasa telah bertemu dengan kelompok pertama yang sudah lebih dulu sampai dan menunggu kami untuk langsung ke puncak. Kini puncak tidak terlalu jauh, hanya sekitar satu jam kita bisa menapaki kaki disana. Menikmati segala hal yang pantas untuk di nikmati, dan bersyukur pada Tuhan karena telah diberi kemudahan pendakian kali ini. Aku tahu, saat cahaya mentari belum muncul dari peraduannya, kalian masih tertidur dengan pulas, bangun siang saat liburan, juga jenuh yang tak berkesudahan. Sampai kapan kalian terus merasakan hal itu? Bukankah manusia diciptakan untuk hal yang lebih besar daripada itu? Kita bukan diciptakan untuk bermalas-malasan, ada pesona di luar rumahmu yang telah Tuhan ciptakan. Lalu kapan kalian mau menikmatinya? Tidak bosan berkutat dengan hal yang sama setiap harinya?

Setelah kurang lebih satu jam perjalanan kini kakiku telah manapaki puncak, rasa bahagia bercampur haru; bisa kembali mendaki dan melihat keindahan ini. Hamparan lautan awan yang indah di susul cahaya mentari yang bangkit dari peraduannya, semua elok dipandang. Oksigen yang dihirup orang saat sakit di rumah sakit, dapat kalian rasakan disini dengan gratis, pemandangan yang biasanya hanya kita lihat dilukisan atau foto-foto di sosial media bisa kalian nikmati secara live. Ketika telah sampai di puncak setelah pendakian aku terbiasa berteriak, dan mengatakan "ayaah Anna sudah di puncak gunung .... " Aku rasa ayah bisa mendengarnya dan bangga padaku. Aku yakin ayah sedang menatapku dari atas sana, aku berada di puncak gunung dan ayah berada di puncak keabadian.

Keindahan seperti ini yang harus kalian lihat dan rasakan, Tuhan menciptakannya untuk kita. Pastinya untuk kita nikmati dan syukuri bukan untuk di rusak atau di ekploitasi. Jangan bakar hutan, jangan kotori sungai, nanti Tuhan marah. Jangan habiskan waktumu dengan sia-sia, nikmatilah segala yang telah ada dan ingat kataku tadi, manusia diciptakan untuk sesuatu yang lebih hebat dari yang kalian tahu. Jika Einstein sibuk mengerjakan tugas dan berkutat dengan hal-hal yang biasa kita lalui sehari-hari, mungkin ia tidak akan menciptakan rumus atom, atau teori relativitas begitu juga dengan Nicola Tesla, Marck Zuckerberg yang memutuskan untuk berhenti kuliah dan mulai merancang Facebook, juga Bill Gates, dan lain-lainnya.

Aku sibuk memotret semua pemandangan yang ada sedangkan Wira sibuk ngopi dan menggoreskan pena pada buku catatannya, sepertinya ia sedang membuat puisi. Setelah puas memotret segala keindahan yang ada aku bergabung kembali dengan teman-teman lainnya, menyesap kopi yang telah tersedia sembari bercerita tentang kehidupan. Wira sibuk mengacak acak tasnya diikuti dengan yang lain, entah apa yang mereka lakukan aku bingung.

"Anna!!" Panggil Wira

Ia memegang rangkaian bunga di tangan kiri dan kue di tangan kanan, diikuti dengan empat sahabatnya yang mengambil kertas berbentuk persegi yang masing masing bertuliskan "Anna, aku sayang kamu!"

Aku hanya bisa berdiam bingung sambil menahan senyum, aku tak tahu apa yang terjadi, apakah ini nyata atau hanya halusinasi. Wira berjalan mendekat lalu berlutut dan mengucapkan "Anna, biar gunung ini jadi saksi kalau aku sayang kamu, biar matahari menyaksikan kebahagiaanku kali ini. Anna kamu mau jadi pacarku?"

Aku masih terdiam membisu, berusaha memastikan bahwa ini bukan mimpi, aku tak kuat lagi menahan haru "aku juga sayang kamu Wira" aku mengatakan itu meski dari dalam hati.

"Anna, jawab mau atau enggak?" Wira memecah keheningan

"Mauuu" akupun menjawab memecah kebahagiaan di puncak lawu.

Ayah aku bertemu dengan sosok yang sama sepertimu, sama-sama aneh, dan sama-sama sayang padaku. Apakah ini doamu pada Tuhan untuk mengirimkan seseorang untuk menggantikan posisimu? Kalau benar begitu, terimakasih ayah.. aku cinta ayah, aku juga cinta Wira.

*

Hari itu, saat wira menyatakan cintanya padaku di puncak gunung lawu masih terasa di benakku meskipun itu satu bulan yang lalu. Entah mengapa disaat laki-laki lain memilih untuk menyatakan cinta di taman, atau cafe favorit, atau bioskop, pria anehku memilih menyatakan cinta di puncak gunung. Bagaimana aku bisa lupa, menatap hamparan awan yang megah, golden sunrise, udara yang begitu sejuk, dan disaat yang sama Wira mengajakku pacaran. Wah, itu adalah best momen dalam hidupku.

Kini Wira menjadi rutin berkunjung kerumahku setelah aku memutuskan untuk berhenti bekerja di kantor lamaku dan menjadi pengangguran. Tabunganku masih cukup kok sampai mendapat pekerjaan yang baru. Entah mengapa, Wira banyak mengajariku banyak hal, seperti berani dalam mengambil keputusan. Dia juga banyak mengajariku cara bersyukur, dan tidak lupa mengajariku naik motor jadul. Halaman depan rumahku yang tadinya hanya dipenuhi tanaman dan pot kosong kami sulap menjadi tempat nongkrong, yaa.. aku, Wira, dan beberapa teman lainnya sering berkumpul di situ. Sekarang aku lebih senang berada dirumah, tidak seperti dulu. Hmm, Wira terimakasih..

Ohh iyaa, Wira telah resmi menjadi penulis loh. Beberapa Minggu yang lalu ia mengirimkan tulisannya ke salah satu penerbit dan berhasil di acc. Bangga sekali aku dengannya, pertama kalinya ia menulis buku dan bukunya langsung berada di barisan buku best seller. Sebuah pencapaian yang mengagumkan, aku tidak menyangka pria se'aneh dia bisa sebegitu hebatnya. Dengan uang properti dan tabungannya ia berhasil membeli motor baru, katanya itu motor idamannya. Dari kecil Wira sangat ingin punya moge, dia bercerita; dulu waktu masih kanak-kanak ia sering duduk di pinggir jalan untuk melihat moge lewat. Kamar kostnya juga dipenuhi poster moge dan Valentino Rossi pembalab favoritnya. Selamat ya sayang, impianmu tercapai.

Ia sering mengajakku keliling kota saat malam tiba, menyusuri jalanan jakarta yang penuh lampu-lampu indah dan jajanan di pinggiran jalannya. Ia pernah menyuruhku untuk mengendarai motor barunya, lalu dia mengendarai motor jadulnya mengelilingi Jakarta, ternyata seru. Walaupun sedikit ngeri, tapi kehadiran Wira membuatku merasa aman. Pria ini selalu berhasil membuatku menikmati hal-hal sederhana, hidupku berubah drastis setelah pertemuan di taman kala itu, ia benar-benar Malaikat penolongku. Aku bahagia dengannya, ia pacarku dan ayahku disaat yang sama, ternyata Tuhan menyayangiku. Tuhan mengirimkan Wira padaku disaat yang tepat, aku tidak mau berpisah dengannya. Aku sayang Wira.

*

Begitulah isi tulisan dari orang yang begitu aku sayangi (Anna Mentari). aku juga menyayangimu Anna, aku mencintaimu, berbahagialah disana. Kelak aku akan menyusulmu.

Teman-teman, aku adalah Wira; seseorang yang menulis cerita ini, cerita ini aku ambil dari buku harian mendiang kekasihku (Anna Mentari) ia meninggal disaat yang sama kala aku takut kehilangannya. Ia pergi begitu cepat, saat cincin tunangan kami telah tersemat. Ia tidak pernah menceritakan penyakitnya padaku, ia tampak baik-baik saja di hadapanku, juga di hadapan orang lain. Bagaimana bisa ia menjadi sekuat itu, bagaimana bisa ia menahan sakitnya, dan bagaimana bisa ia menyembunyikan itu semua. Anna, berat mengikhlaskanmu. Kenapa kamu tidak singgah sedikit lebih lama disisku, aku tahu perpisahan akan selalu ada, namun aku belum siap saat ini. Aku masih ingin membuatkanmu rumah kayu bercat putih yang kamu idamkan, aku mau mengajakmu mendaki puncak tertinggi di Indonesia, aku mau kamu disini Anna.

Anna sayang, aku merindukanmu. Bagaimana kabarmu disana? Aku mau dibuatkanmu kopi lagi, juga menemanimu berkeliling kota. Berbahagialah disana, aku akan menyusulmu ke puncak keabadian. Aku sayang kamu Anna Mentari..