webnovel

Catatan Anna

AldySatria_ · Fantasi
Peringkat tidak cukup
3 Chs

Binar

Mataku perlahan terbuka sedikit demi sedikit, hanya putih berkilau terlihat di sekelilingku. Datang dua mahkluk berjubah putih mendekat layaknya malaikat. Tidak, aku belum mati aku dirumah sakit. Bau obat-obatan dan alcohol luka tercium kuat, dua mahkluk berjubah tadi adalah dokter dan perawat yang menanganiku. Aku tak mampu bergerak, hanya bisa mendengar suara yang makin samar dan pandangan yang kembali menggelap. Dari balik kegelapan terdengar jeritan "pompa jantungnya, jangan sampai pasien ini mati!!" mereka menyebut-nyebut namaku dan berkata untuk bertahan. Sia-sia, Semuanya kembali gelap gulita, suara-suara perlahan menjauh dan menghilang.

Aku berada di tempat antah berantah, semuanya sunyi bahkan aku mampu mendengar degub jantungku sendiri. Kabut tebal di depan mataku menyelimuti sesosok wanita bergaun putih yang terus mendekat, di sekelilingku hanya ada bunga dan hamparan rumput yang luas. Sejauh mata memandang semua tampak indah, apakah ini surga? Ataukah ini nyata? Entahlah. Wanita bergaun putih tadi terus berjalan mendekat menembus tebalnya kabut, bunga disekitarku tiba-tiba membuka kelopak indahnya. Kabut tebal tadi terbelah menjadi dua lalu menghilang meninggalkan wanita bergaun putih yang tampak elok dari kejauhan.

"Anna??" Aku tertegun. Ia membalas dengan senyuman, itu benar Anna. Aku tidak bisa bergerak, hanya mematung dan satu-satunya bagian tubuh yang bisa digerakkan hanya tangan dan mulut. Dengan gaun putih dan senyumnya yang aku suka, Anna terlihat sangat amat cantik. Aku merindukannya, aku membuka kedua tanganku seolah bersiap untuk memeluknya. Ia mendekat dan memelukku tanpa sepatah katapun keluar dari mulut indahnya.

"Anna aku kangen kamu!!" Seolah tak ingin berpisah aku memeluknya erat.

"Aku cuma datang sebentar Wira, aku juga kangen kamu tapi kamu harus kembali" Anna berkata dengan lembut

"Kembali kemana? Aku mau disini, bersamamu saja. Memangnya kamu mau kemana lagi Anna?" Tanyaku disertai derai air mata yang mengucur melalui pipiku.

"Aku gak kemana-mana, aku selalu ada disini" jawab Anna sembari menunjuk tempat hatiku bersemayam.

"Kamu harus kembali ke duniamu, ada hal yang harus kamu selesaikan. Aku tetap menunggumu disini Wira, aku sayang kamu. Tapi ditempatmu, banyak yang membutuhkanmu"

Anna menjawab dengan suara yang perlahan menjauh dan sekitarku kembali berubah menjadi gelap.

"Mas Wira? Mas? Kalau mendengar suara kami tolong gerakan salah satu anggota tubuh" kata itu terdengar disertai bunyi alat kedokteran.

Sekuat tenaga aku berusaha menggerakkan lengan kananku yang aku rasa masih bisa bergerak, namun sia-sia. Aku mencoba cara lain dengan menggerakkan bibirku yang sangat berat. Aku berhasil, dua mahkluk berjubah tadi mengucap syukur. Aku terselamatkan.

*

Berhari-hari telah berlalu sejak kejadian nahas yang menimpaku, tubuhku penuh jahitan sebab luka robek yang lumayan banyak disekujur tubuh. Tuhan memberiku kesempatan untuk kembali hidup, walaupun aku menginginkan bersama Anna. Sepertinya Anna benar, ada sesuatu yang harus aku selesaikan disini. Tapi apa? Entahlah, setelah masa pemulihan ini mungkin aku bisa mencarinya.

Aku masih terbaring lemah di rumah sakit, beberapa temanku bergantian menjagaku yang belum bisa terbangun dari ranjang tempat banyak orang menghembuskan nafas terakhirnya. Dokter bilang ada kerusakan tulang di area punggungku, sedikit saja lebih parah, maka aku akan lumpuh selamanya. Syukur aku tidak lumpuh, tiduran di ranjang ini mungkin hanya untuk beberapa hari kedepan setelahnya aku bisa melakukan aktivitas seperti biasa lagi. Hanya perlu mengikuti anjuran dokter dan keadaan akan membaik.

Disaat-saat seperti ini hanya ibu yang ada dipikiranku, dulu sewaktu aku kecil kalau terjatuh saat bermain, ibu langsung membasuh lukaku sembari mengomeliku, terkadang belum sempat aku menjelaskan kronologinya jari telunjuk dan jempol ibu sudah mendarat di tubuhku, atau di kupingku. Belum lagi saat aku main terlalu asik hingga lupa waktu, ibu membawa sapu untuk mencariku. Hehe, kita semua punya kenangan kala itu yang masih tersimpan hingga saat ini. Ibu pasti mengkhawatirkanku, aku tahu firasat ibu itu kuat. Mungkin saat ini, ibu bisa menjadi alasanku untuk cepat pulih dan cepat pulang kampung untuk bertemu dengannya. Aku mau dibikinkan sayur asem dan sambal terasi sama ibu. Secanggih apapun kalkulator yang di ciptakan zaman, tidak akan ada yang mampu menghitung jumlah kasih sayang ibu.

Tubuhku yang dulu gagah kini tampak lemah tak berdaya, menjadi bahan becanda teman-temanku saat membesuk.

"Bisa gini gak" kata Rama salah satu sahabatku sembari menirukan gaya push up.

"Tai lu" jawabku sebal, sembari melihat tingkah konyolnya. Aku teringat dulu saat Rama tergelincir dari gunung dan kakinya terkilir, aku menolak untuk menggontongnya dan bilang "kau kuseret saja ya" sambil tertawa. Mungkin ini adzab bagiku. Sial

Untung saja aku punya sahabat yang bisa dibilang setia walaupun sedikit konyol, mereka datang bergantian untuk menjagaku juga membawa makanan-makanan kesukaanku. Aku yakin sahabat seperti ini sudah langka di zaman ini, aku sering melihat status di media sosial yang mengatakan bahwa teman hanya datang disaat susah lalu pergi disaat senang. Mungkin jika aku berada diposisi itu aku akan lebih memilih untuk pindah tongkrongan, mencari orang-orang yang se-frekuensi denganku. Circle yang kecil namun berarti, lebih asik. Terkadang kehadiran seorang sahabat disaat yang tepat adalah sebuah obat.

*

Setelah satu minggu aku keluar dari rumah sakit sebab telah dinyatakan telah pulih, aku masih bermalas-malasan di kamar indekosku. Trauma akan kejadian hari itu masih membekas jelas di benakku, belum lagi teka-teki pertemuan aku dan Anna di tempat yang entah apa namanya. Bagaimana aku bisa memecahkan teka-teki itu hanya dengan kisi-kisi "ada hal yang harus kuselesaikan". Kejadian di gunung itu telah kutulis dan aku bagikan di media sosial maupun forum pendakian, tujuannya agar pendaki lain lebih berhati-hati dan tidak mengalami hal yang tidak diinginkan sepertiku.

Meskipun tubuhku dinyatakan pulih namun punggungku masih terasa sakit, dan bekas luka yang masih terasa perih menghalangiku untuk bergerak dengan leluasa. Padahal hari ini adalah acara pernikahan Bima sahabat lamaku, aku harus datang. Tak apa datang dengan tubuh penuh bekas luka, itung-itung bertemu beberapa sahabat lama sekaligus bernostalgia sepertinya asik. Aku yang malas mandi terpaksa bangkit untuk membersihkan tubuhku agar tidak lagi tercium bau nuklir yang menyengat.

Sebab punggungku yang masih terasa sakit bila mengendarai motor aku terpaksa naik taksi untuk datang ke acara pernikahan Bima. Dengan kemeja lengan panjang, celana dasar, dan sepatu pantofel yang mengkilap aku terlihat seperti Tom Cruise yang sedang menyamar. Ternyata begini rasanya terlihat seperti orang kaya, menjadi pusat perhatian sekitar. Mungkin orang-orang menilai bahwa aku adalah seorang produser terkenal, atau Bintang film dan semacamnya. Padahal aku cuma kaum rebahan yang kebetulan datang ke pesta nikahan.

Tepat pukul 10.00 pagi taksi yang kunaiki berhenti di tempat acara pernikahan Bima, cukup meriah. Dengan desain outdoor bernuansa alami juga tamu undangan yang juga orang-orang hebat telah memadati tempat bahagia ini. Ternyata para undangan terlihat lebih keren dariku, aku berasa menjadi pak tarno disini. Bagaimana tidak, ada seorang musisi terkenal yang diundang untuk melantunkan lagu-lagu romansa disini, ada juga seorang influencer, jurnalis, dan beberapa pemain sinetron yang sering muncul di televisi. Mungkin kemeja kerenku seharga sisir rambut mereka.

Dengan sedikit minder Pak Tarno dengan kemeja kerennya merangsang masuk kedalam pesta. Untung saja Bima masih mengingatku dan menyapa dengan hangat, aku kira dengan circle hebatnya sekarang ia lupa teman-temannya yang dulu, ternyata ia tetap low profile. Di sudut kiri telah berkumpul teman-teman lama kami, yang tentunya menatapku heran

"Oii Wira aku lihat kau di koran, kau terjatuh ke jurang namun masih selamat" kata salah seorang teman

"Neraka masih penuh, jadi aku disuruh antri dulu" jawabku sembari berjalan mendekat

"Sekarang kau sibuk apa, kudengar kau sudah punya kedai kopi sendiri dan menjadi penulis. Hebat juga kau ya" temanku kembali berbasa-basi.

"Ya begitulah" aku menjawab dengan malu.

Diantara puluhan tamu undangan, mungkin hanya diriku yang duduk termenung menatap tawa bahagia mempelai, berdansa dengan khayalan, berandai-andai jika aku ada di posisi mereka. Posisi yang selalu di dambakan seluruh jomblo di dunia, duduk diatas singgasana pelaminan, mengucap janji sehidup semati, pulang kerumah lalu saling mencumbu, aah sudahlah aku jadi semakin iri.

Ada satu hal yang menarik perhatianku, seorang wanita yang duduk menyendiri dan membaca sebuah buku diantara riuh sorak sorai seluruh tamu undangan. Sesekali aku mencuri pandang kearahnya, rambutnya sebahu menggunakan kacamata dan sesekali ia menyesap minuman yang telah disediakan tanpa berpaling dari bukunya. Buku yang wanita itu baca adalah buku pertamaku yang berjudul "Jumantara", tak banyak yang tahu keberadaan buku itu, aku hanya mencetak sedikit buku itu dibandingkan buku-buku karyaku yang lainnya. Tanpa pikir panjang aku bergegas mendekati gadis tersebut.

Kurang beberapa langkah sebelum aku sampai didekatnya, pandangannya berpaling menatapku. Ia membuka kacamata bulatnya sembari melihatku dengan bingung, pancaran mata itu tidak asing bagiku.

"Kamu suka baca buku?" Tanyaku berbasa-basi

"Kebetulan iya. Buku ini aku dapat dari kamar mendiang kakakku?" Jawab ia

"Kakakmu penyuka sastra ya?" Lanjutku

"Sepertinya iya, dia pernah bilang buku ini ditulis oleh orang kesayangannya"

Jantungku berdegup kencang mendengar jawaban gadis ini, apakah ia adik Anna. Tapi bisa jadi kakaknya hanya penggemar buku bukukku.

"Oh iya perkenalkan aku Rina Mentari" gadis itu memecah keheninganku

"Aku Wira" jawabku sembari menjulurkan lengan kananku.

Beberapa obrolan ringan kesana kemari tentang buku dan sastra menjadi topik seru pembicaraan ini. Lalu masuk ke obrolan yang lebih mendalam

"Kakakmu tinggal dimana?" Aku bertanya

"Kakakku disana" jawabnya sembari menunjuk langit.

Mendengar jawaban ini keraguanku dengan cepat berubah menjadi keyakinan

"Boleh ceritakan sedikit kisah kakakmu? Sepertinya aku mengenalnya" aku bertanya dengan nada bingung

"Kakakku dulu pegawai bank, ia berhenti dari sana dan memutuskan untuk melakukan hal-hal yang ia suka, tidak ada yang tau kalau itu adalah hari-hari terakhirnya. Ia pernah bercerita tentang seorang penulis sastra yang menjadi tempatnya menaruh hati. Kakakku bilang pria itu punya sifat yang sama dengan mendiang ayah kami"

"Kamu adiknya Anna Mentari?" Aku kembali bertanya, dengan wajah kebingungan namun hati yang penuh keyakinan.

"Kok kamu tahu?" Ia juga bertanya dengan bingung

"Aku yang menulis buku yang sedang kamu pegang, dan aku tempat kakakmu menambatkan hatinya"