webnovel

Castilia Academy

••• Sebuah anak panah melesat cepat ke arah seorang gadis tanpa dapat dicegah pemuda itu, anak panah itu menggores lengan kiri sang gadis membuat luka sayatan menganga di sana. Sang gadis membuka matanya, ia meringis sambil memegangi lengannya yang terkena panah, bermaksud menutupi lukanya agar darah tidak keluar lebih banyak lagi. "Kau tak apa?" tanya pemuda itu masih melempari bola api dari tangannya. "Aku ... tak apa," kata sang gadis sambil merintih. "Awas!" seru pemuda itu saat melihat sebuah anak panah meluncur ke arah sang gadis yang saat ini terduduk di tanah. Gadis itu hanya mampu menutup matanya rapat, saat anak panah itu mengarah padanya. •••••

sasco_ryder · Fantasi
Peringkat tidak cukup
7 Chs

Kecurigaan

Akhirnya selesai, batin Conor.

Setelah beberapa jam yang berat akhirnya Conor terbebas dari hukuman Mr Harry. Begitu kelas dibubarkan, Conor dan kedua sahabatnya memilih langsung menghilang dari pandangan Mr Harry.

Mereka kini berjalan di koridor yang ramai karna bel istirahat telah berbunyi lima menit yang lalu. Ketiganya berjalan beriringan menuju ruang latihan bertarung.

Di arah berlawanan, tampak seorang siswa tingkat atas tengah berjalan sendirian. Ketika ia menyadari kehadiran Conor, ia langsung memanggilnya supaya berhenti. Merasa dipanggil, Conor melihat ke depan dan di depannya telah berdiri sosok Paul dengan seragam academy.

"Hei Conor, lama tak berjumpa," sapanya ramah.

"Ada apa?" tanya Conor.

"Wah, kau tak berubah ya. Hei, Jacob, Louis, apakah Conor juga bersikap begini saat bersama kalian?" Paul memandang keduanya penasaran.

"Ya, dia juga begitu kepada semua orang kalau kau lupa," jawab Jacob.

Paul yang mendengar jawaban Jacob mengangguk paham.

"Kalian ingin kemana?" tanyanya lagi.

"Ruang bertarung." Jawaban singkat itu meluncur dengan mudahnya dari mulut Conor. "Sudah, pergi sana!" usir Conor.

"Ternyata kau masih jahat, ya? Mengusir kakak kelasmu sendiri," katanya sambil menggeleng.

Melihat reaksi Conor, Paul bergegas berteleport untuk menghindari amukan Conor.

"Dasar, senior kurang kerjaan," gerutu Conor.

***

Conor memilih duduk di kursi di samping ring melihat kedua temannya berlatih menggunakan pedang. Kerutan tampak menghiasi dahinya, tanda ia tengah berpikir keras.

"Bagaimana ini? Siapa yang harus aku curigai?" gumam Conor.

Tiba-tiba pintu ruangan terbuka pelan, menampakkan Mr James tengah berdiri di sana.

"Oh, kalian ternyata. Kukira siapa," kata Mr James.

Jacob dan Louis menghentikan kegiatan mereka dan melihat ke arah pintu.

"Siang Mr James," sapa Jacob.

"Siang juga Jacob, tumben sekali kalian kemari saat tidak ada kelas?" tanyanya.

"Hanya ingin berlatih," jawab Louis.

Mereka segera melanjutkan latihan mereka tanpa menghiraukan kehadiran Mr James yang melihat mereka. Mr James memandangi kedua siswanya bertarung menggunakan pedang, mencoba mencari titik lemah lawannya.

Conor bangkit dari duduknya, melihat Conor beranjak Mr James segera bertanya.

"Mau kemana? Tidak ikut latihan?"

Conor diam, mengiyakan pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Ia kemudian melanjutkan langkahnya pergi dari ruangan bertarung.

"Sepertinya aku harus menemui Mr Harry," gumam Conor lirih.

***

Kakinya menapaki lantai koridor menuju kantin, bermaksud menemui kedua temannya yang telah menunggu di sana. Sesuai janjinya tadi, mereka akan bertemu di kantin saat istirahat tiba.

Ketika sampai di area kantin, ia disuguhi pemandangan pada kebanyakan kantin di berbagai sekolah saat istirahat, ramai.

Di keramaian kantin yang penuh sesak saat itu, ia melihat Jessie melambaikan tangan menyuruhnya segera menyusul mereka.

Berdesakan, ia mencoba mencari celah untuk sampai di meja Jessie dan Sofia.

Dengan keringat yang mengalir di pelipisnya, akhirnya Maggie sampai di meja Jessie. "Huh, kenapa ramai sekali. Untuk sampai sini saja aku butuh perjuangan ekstra," gerutunya begitu ia duduk.

"Yah, jangan heran. Murid di sini memang tidak mau saling mengalah, mereka selalu ingin menang sendiri," kata Jessie sambil meminum minumannya.

"Ini, aku tadi membelikan jus jeruk untukmu." Sofia menyodorkan segelas jus jeruk ke hadapan Maggie.

"Terima kasih Sofia," ucapnya lalu meminum jusnya.

Jessie memainkan sedotan sambil menatap Maggie. "Bagaimana kelas element tadi? Pasti banyak lelaki tampan," tanyanya.

Perhatian Maggie teralih dari minumannya ke Jessie ketika mendengar pertanyaan gadis itu. Sedangkan Sofia juga mengikuti Jessie menatap Maggie penasaran.

"Ah, kelas tadi, ya? Biasa saja."

"Masa' tidak ada sesuatu yang bagus?" Jessie bertanya lagi.

"Menurutku semua biasa saja, kecuali," Maggie menjeda kalimatnya kemudian memandang kedua temannya. "Ada senior tingkat menengah yang membantu mengajar."

"Siapa? Siapa dia? Lelaki atau perempuan?" tanya Jessie bersemangat.

"Kumohon jangan bilang dia lelaki," ucap Sofia melirik Maggie.

"Yah, mereka lelaki. Yang bertemu kita saat di kantin kemarin," jelasnya.

"Kau bertemu mereka?" Jessie menjerit tertahan.

Maggie mengangguk mengiyakan, sedangkan Sofia di sampingnya memilih fokus kepada minumannya saat topik pembicaraan mengarah ke arah yang Sofia tidak suka, siswa tampan.

"Benar, bahkan aku dibantu oleh Conor tadi," katanya.

"Kya!" Teriakan Jessie menarik perhatian siswa yang tengah berada di kantin, sebagian dari mereka menatap Jessie tajam menyuruhnya untuk diam, sebagian lainnya tampak acuh dan melanjutkan aktivitas mereka.

"Oh, Jessie, tidak perlu berlebihan begitu. Lihatlah mereka memandang kita, sepertinya suaramu terlalu bagus," sindir Sofia.

"Diam kau! Kau tak tahu apa-apa, jadi diam dan dengarkan saja!"

Melihat keduanya bertengkar lagi, membuat Maggie pening. Kapan mereka bisa akur sekali saja, tidak di asrama tidak di academy. Sama saja.

"Sudahlah, jangan mulai lagi." Maggie menengahi. "Kalian ada kelas lagi setelah ini?" tanyanya.

"Tidak." Keduanya menjawab bersamaan.

"Bagus, lebih baik kita kembali ke asrama. Aku lelah sekali hari ini," ajak Maggie.

"Ide bagus, nanti aku akan membuat camilan untuk kita menonton film," usul Jessie.

Sofia mengangguk diikuti Maggie.

***

Helaan napas panjang terdengar di ruangan yang sepi, sepasang mata itu menatap jauh ke depan. Dari jendela Ia bisa dengan jelas melihat hutan yang sering kali digunakan untuk tempat latihan.

Kaca jendela itu beruap terkena helaan napas Conor, masih dengan posisinya di depan jendela Ia memikirkan sesuatu yang orang lain tidak akan tahu. Mata abu-abu itu terlihat tidak fokus.

Di tangannya terdapat sepucuk surat yang sudah berubah warna, menandakan bahwa surat itu telah lama disimpan. Dibukanya surat itu, dibacanya berulang-ulang. Mencari sebuah petunjuk untuk memudahkannya mencari seseorang.

"Apa harus kuberitahukan kepada mereka? Setidaknya mereka bisa membantu," pikirnya.

Conor melangkah menuju ranjang, tangannya terulur meletakkan surat di nakas.

Dibaringkannya tubuh tegapnya, mengistirahatkan raganya sesaat. Sedangkan pikirannya melanglang buana entah kemana.

"Louis mulai curiga, tapi tak melakukan apapun. Jacob juga mulai penasaran tapi memilih diam. Misiku mulai terancam," gumamnya.

Langit-langit kamar menjadi pemandangan untuk matanya, ruangan itu gelap karna ia mematikan lampu. Dengan begitu ia dapat merasakan ketenangan daripada saat berada di academy yang menurutnya sangat bising.

"Apa aku tanyakan pada Mr Harry saja? Mungkin ia bisa membantu," pikirnya.

Dengan pikiran berkecambuk, Conor memilih memejamkan mata berharap mendapat petunjuk. Pandangan Conor mulai mengabur karena rasa kantuk yang datang menghujam dirinya, ia menyerah membiarkan kegelapan menyelimuti dirinya.