Aksa mendengus mendapati sosok Tirta di depannya. Ini masih pagi. Belum ada jam 10, tapi Tirta sudah bertamu saja. Aksa, kan, masih ingin melanjutkan tidurnya lebih lama lagi sebelum Bang Arnan datang menjemput.
"Mau ngapain, sih, datang pagi-pagi gini?" tanya Aksa sembari berjalan ke dapur dan membuka kulkas untuk mengambil air minum.
Mas Tirta ikut berjalan di belakangnya. Menarik salah satu stol di mini bar dekat kulkas dan duduk di sana.
Diletakkannya dua susun rantang berukuran sedang ke atas mini bar. "Dari Ibu."
Aksa berdecak. "Masih ingat juga dia sama gue?" sarkas Aksa.
"Ya, kan, dia ibu lo."
"Mau ngapain, sih, ke sini? Ganggu orang istirahat aja."
Mas Tirta memilih bangkit dan memasukkan rantang yang dibawa ke dalam kulkas karena dia tahu Aksa akan melupakan apa yang dia bawa itu.
"Nganter pesanan Ibu lah."
"Yakin itu doang?" selidik Aksa.
Aksa ini sangat tahu setiap gerak-gerik kakaknya. Orang itu peduli, tapi tahu kapan dia harus peduli pada Aksa. Mas Tirta juga pasti tahu kalau pekerjaannya saat ini sudah kembali padat. Sudah pasti Mas Tirta akan tahu kalau dirinya di rumah sudah pasti tidak bisa diganggu karena harus istirahat total.
Mas Tirta berbalik setelah selesai memasukan rantang ke dalam kulkas. Dia juga memilih untuk membuat sarapan untuk Aksa. Sembari membahas salah satu alasan dia datang ke sini.
"Lo udah mulai syuting bareng Naraya, ya?"
Aksa langsung menoleh saat kakaknya itu menyebut nama Naraya. Sangat tiba-tiba. Tapi, dia terkejut bukan itu.
"Emang kenapa?" Bukannya menjawab, Aksa malah balik bertanya. Dia yakin kalau kakaknya datang ke sini pasti akan membahas tentang gadis itu.
"Jangan ganggu dia, Sa. Dia nggak sama kayak cewek-cewek lain," ucap Mas Tirta masih dengan nada bicara tenang.
Aksa mengernyitkan dahi. Dia menyandarkan punggungnya ke tepi mini bar sembari memperhatikan sang kakak yang sudah mulai mencincang-cincang wortel di atas talenan.
"Emang kenapa gue nggak bisa ganggu dia?" tanya Aksa penasaran. Larangan Mas Tirta itu tentu saja tidak bisa menghentikan rasa penasarannya terhadap sosok Naraya. Apalagi dia dari kemarin sudah mencari tahu tentang Naraya.
"Jangan buat kesalahan yang sama lagi," balas Mas Tirta.
"Maksud lo apa, sih?" ketus Aksa karena kesal tidak tahu maksud dari perkataan Mas Tirta yang tidak jelas.
Mas Tirta menarik napas dalam. Dia menghentikan sejenak kegiatannya memotong wortel dan menatap serius ke arah Aksa. Dia harus memberi peringatan pada Aksa mengingat adiknya itu sudah kembali bekerja bersama Naraya. Dia tidak ingin Naraya harus bertemu lagi dengan psikiaternya karena merasa tidak tenang bekerja bersama adiknya.
"Gue sebenernya nggak bisa ngomongin hal ini. Hanya saja gue terpaksa karena nggak pengen kejadian tempo hari keulang lagi."
"Berbelit-belit banget omongan Lo, Mas," ketus Aksa sembari menghabiskan sisa minumannya.
"Naraya nggak bisa dekat sama cowok asing kayak lo dan teman-teman yang lain," ucap Mas Tirta dengan nada serius.
"Tapi kok Lo bisa dekat sama dia?"
"Gue sama dia bukan orang asing."
Aksa manggut-manggut saja. Dia tidak terlalu peduli mau sedekat apa hubungan gadis itu dengan kakaknya. Yang paling membuatnya penasaran adalah kenapa Naraya tidak bisa dekat dengan laki-laki asing?
"Dia punya trauma sama laki-laki. Trauma dia berat. Dan sekarang dia masih berusaha untuk hidup seperti dulu lagi."
Mas Tirta kembali menarik napas dalam sebelum melanjutkan perkataannya. Kepalanya sibuk memilah mana yang harus dia katakan pada Aksa dan mana yang harus dia simpan.
"Kejadian kemarin nggak bisa keulang lagi, Aksa. Dia udah berusaha keras buat nggak ketemu sama psikiaternya lagi. Gara-gara lo gangguin dia kemarin, dia harus menjauh sejenak dari The Heal. Lo udah buat dia keganggu sama trauma dia, Sa."
Aksa masih diam. Dia masih ingin mencerna ucapan kakaknya. Apakah sampai separah itu trauma yang diderita Naraya?
Dia tidak pernah berhadapan dengan orang yang memiliki trauma berat. Jadi, dia sangat tidak tahu sampai sejauh mana perbuatannya akan menyakiti Naraya. Padahal, sejauh ini dia merasa tidak pernah berbuat yang terlalu jauh pada gadis itu.
"Tapi, dia kelihatan fine-fine aja, tuh kemarin," sanggah Aksa. "Dia santai aja tuh ngomong sama Lengkara. Dia juga kan cowok asing bagi Naraya," lanjutnya.
"Pasti ada teman ceweknya bareng kalian kemarin, kan?" tebak Mas Tirta dan dibalas anggukan oleh Aksa. "Untungnya dia sudah bisa memposisikan diri dengan lingkungan yang dirasa aman. Kejadian lo sama dia berbeda dengan dia ngomong sama Lengkara karena di sana ada cewek selain dia. Dia merasa sedikit amat dengan itu," lanjutnya.
"Jadi gue nggak bisa kalo berduaan doang sama dia?" Mas Tirta mengangguk sebagai balasan.
"Setelah lo denger penjelasan gue ini, jangan pernah coba-coba buat ngetes Naraya lagi. Gue tahu watak lo, Sa," kata Mas Tirta sarat akan ancaman.
Aksa terkekeh pelan. Baru saja hal itu melintas di kepalanya. Memang dasar Mas Tirta saja yang terlalu tahu tentang dirinya.
Aksa kembali terdiam. Di kepalanya kembali muncul sebuah pertanyaan.
"Kenapa dia sampai trauma sama laki-laki?" Itu dia pertanyaan paling besar muncul di kepala Aksa dan sukses membuat gerakan Mas Tirta terhenti.
Mas Tirta diam beberapa detik. Pertanyaan itu memang bisa ditanyakan oleh siapapun, termasuk Aksa. Tapi, yang bisa menjawabnya hanya Naraya. Mas Tirta tidak punya hak untuk menceritakan kehidupan orang lain terlalu jauh tanpa izin yang bersangkutan.
"Sesi tanya jawab selesai," kekeh Mas Tirta dan langsung menyibukkan diri dengan peralatan dapur lagi. Dia sudah tidak menggubris lagi permintaan Aksa yang ingin mendengar lebih jauh perihal trauma Naraya.
***
Bunyi suara langkah di sekitarnya sukses menarik Aksa keluar dari alam mimpi. Semakin dia sadar dengan sekitar, semakin keras pula suara-suara aneh di rumahnya. Apalagi sekarang ….
"Astaga, Bang! Lo ngapain di kamar gue?!" pekik Aksa kaget saat tiba-tiba Bang Arnan masuk ke kamarnya yang masih temaram itu.
Mata Aksa langsung menyipit begitu kamarnya berubah jadi terang benderang. Di luar masih sedikit gelap, jadinya Bang Arnan menyalakan lampu untuk membuat ruangan itu terang.
"Bang … ngapain, sih, di rumah orang pagi-pagi gini?" ketus Aksa saat tidak mendapat respon dan orang yang malah mondar-mandir di depannya sekarang.
"Mau syuting lah," jawab Bang Arnan santai. Dia terlihat kembali keluar kamar dan masuk lagi beberapa menit kemudian, tapi tidak sendiri.
Kening Aksa saling bertaut melihat apa yang dilakukan dua orang tersebut. Astaga. Apa-apaan ini?
"Bang!" Aksa langsung keluar dari balik selimut dan mendekati Bang Arnan yang memilih memperhatikan seorang laki-laki seumuran dengan Bang Arnan yang tengah mengatur tata letak kamera di sudut kamarnya.
"Lo apa-apaan, sih? Kok bawa orang asing ke rumah gue?"
"Dia kru tim dokumenter, Aksa. Mereka lagi kerja, jadi lo harus bekerja sama. Ok?"
Aksa mengusap wajahnya secara kasar. Ada apa dengan orang-orang ini? Kemarin Mas Tirta yang datang merecokinya. Sekarang malah orang asing dari perusahaan Naraya yang masuk ke kamarnya. Dia kan tidak pernah menyetujui pengambilan gambar di rumahnya.
"Gue nggak pernah setuju, ya, sama ginian."
Perkataan Aksa itu langsung membuat sang kru itu menghentikan aktivitasnya. Sementara Bang Arnan hanya menatap Aksa dengan ekspresi datar.
"Ini udah kerja sama kita. Yang lain juga bakal kebagian kok," balas Bang Arnan santai.
"Tetap aja nggak bisa, Bang. Ini tempat privasi gue. Jangan main masuk-masuk aja dong."
"Bicara sama Naraya aja, Aksa. Ini urusan dia. Lo jangan kebanyakan gaya pake privasi-privasi segala, deh. Gue tahu bukan hanya gue doang yang datang ke sini. Jadi, lo jangan macam-macam."
Aksa tahu maksud dari ucapan Bang Arnan. Dari tatapan tajam Bang Arnan saja sudah bisa membuat Aksa bungkam.
"Mas, bisa keluar bentar, nggak? Saya mau bicara sama Aksa dulu," ujar Bang Arnan kepada kru tersebut.
Setelah kru tersebut keluar dan kamar dikunci, Bang Arnan berjalan ke tempat sampah yang ada di dekat pintu dan mengambil benda yang seharusnya tidak ada di sana. Dia mengangkat benda itu tepat di depan wajah Aksa.
"Lo udah melanggar peraturan yang gue buat, Aksa. Jangan main-main. Kalau Naraya yang dapet bekas kondom ini, sudah pasti hidup lo nggak bakal aman."
Deg. Tubuh Aksa seketika membeku saat mendengar ancaman itu. Dia sudah bisa membayangkan bagaimana sikap Naraya jika memang benar kalau sampai benda yang dia gunakan beberapa hari yang lalu itu dilihat Naraya.
Astaga, Aksa. Seharusnya benda se-privasi itu disingkirkan segera. Dia terus merutuki dirinya yang teledor. Kalau sudah begini pasti Bang Arnan akan semakin memperketat peraturannya lagi.