webnovel

CALON IMAM PILIHAN ABI (END)

Memiliki seorang ayah yang taat agama, sholeh dan mampu menjadi imam yang baik bagi keluarganya tidak membuat seorang Ghaziya Mahira Kazhima berbangga hati. Justru dia sangat membenci sang ayah yang ia panggil dengan sebutan Abi. Bisa jadi lelaki itu adalah akar penderitaan yang ia rasakan selama ini. Wahyu Nugraha Pambudi, adalah sosok abi yang memiliki dua orang istri. Kebencian Mahira pada sang abi yang berpoligami membuat Mahira berjanji tak akan mau dipilihkan jodoh oleh abinya. "Sholeh, dan rajin sholat kalau ujung-ujungnya poligami buat apa Bi?" "Mahira, sampai kapan kamu akan memilih-milih jodoh?" "Sampai ada lelaki yang mau berjanji hitam di atas putih ditempeli materai, tidak akan berpoligami sampai akhir hayatnya." Mahira sangat membenci lelaki alim dan sholih. Baginya lelaki seperti itu hanya pencintraan untuk menggaet banyak perempuan cantik untuk dijadikan istri dengan dasar Sunnah Rasul. Aydin Wira Althafurrahman seorang ustadz muda yang sehari-hari berdakwah diperkampungan kumuh dan para preman, adalah lelaki pilihan sang Abi namun tak pernah di tanggapi Mahira.Demi ingin mempersunting Mahira yang keras kepala dia rela berpenampilan seperti seorang preman. Akankah Aydin mampu merobohkan prinsip Mahira? Bagaimana lika liku perjalanan cinta Mahira dan Aydin? Akankah Mahira menemukan laki-laki yang mau berjanji tidak poligami? Ikuti kisahnya di CALON IMAM PILIHAN ABI.

ANESHA_BEE · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
58 Chs

PERTEMUAN DENGAN IDRIS

Hanum sangat bahagia. Entahlah tidak ada kalimat yang bisa mengungkapkan rasa bahagianya. Baru saja Ibu mertuanya, Nuriyah menghubunginya kalau Idris, putra sulungnya telah kembali. Dan dia bersedia untuk menjadi wali bagi Mahira. Saking bahagia karena akan bertemu dengan anaknya, Hanum membangunkan Wahyu yang sudah terlelap. Padahal biasanya, Hanum tak pernah berani membangunkan suaminya jika baru saja tertidur seperti sekarang.

"Mas, bangun Mas." Hanum menggoyangkan tubuh suaminya pelan.

"Ada apa sih Dek?"

"Mas, ibu barusan telepon." Hanum tersenyum sumringah. Jarang-jarang Wahyu melihat Hanum bisa tersenyum seperti ini.

"Bu Nuriyah telepon?"

"Iya Mas. Beliau telepon. Katanya Idris sudah pulang dan lusa dia mau jadi walinya Mahira."

"Alhamdulillah. Aku senang mendengarnya. Tapi--" Wahyu tampak murung. Ada yang mengganjal di hatinya.

"Tapi apa Mas?" Hanum tidak lagi tersenyum setelah melihat wajah Wahyu terlihat murung. Dia menggenggam tangan suaminya.

"Berarti besok sudah saatnya Mas cerita semuanya pada Mahira. Kalau Mahira bukan anak kandung Mas." Wahyu menatap manik mata sang istri.

"Mas, tidak usah khawatir. Mahira pasti akan mau menerima. Mahira sejak kecil tahunya Mas adalah Abi kandungnya. Aku yakin dia sangat menyayangi Mas. Dibalik sifat kerasnya yang sebelas dua belas sama Mas."

"Masa sih Mas keras? Mas ga pernah mukul istri atau anak."

"Iya emang ga pernah. Tapi mas itu keras kepala. Sama seperti Mahira. Bahkan sampai sekarang saja Mas masih keukeh untuk tidak memberitahu pada Mahira tentang calon suaminya."

"Apa menurutmu Mahira akan marah kalau tahu Aydin itu adalah Wira?"

"Mungkin saja marah, Mas. Tapi bukankah dia mencintai Wira? kita menikahkan dia dengan orang yang memang dia inginkan. Kalau dulu dia mengajukan nama lain mungkin beda lagi ceritanya."

"Iya kamu benar, Dek. Mas takut Mahira akan menganggap Mas berbohong banyak hal. Pertama tentang Aydin, dan yang kedua tentang ayah kandungnya."

"Kita memang salah. Karena tidak memberitahu dia dari dulu. Tapi waktu itu keadaan kita sedang sulit, Mas. Kamu tahu bagaimana aku dan Mahira tidak pernah dianggap oleh keluargamu dan juga anak-anakmu. Coba kalau dulu kita cerita, Mahira pasti akan tambah tertekan dan akan mengganggu tumbuh kembangnya."

"Iya, Dek. Aku juga berfikir begitu. Mereka semua hanya bisa melihat poligami dari segi negatifnya saja. Padahal waktu itu aku sedang berusaha untuk membantu seorang jada yang masih punya anak kecil sepertimu. Dan itu juga atas persetujuan Aida. Kalau dulu Aida tidak mengizinkan, aku juga tidak akan poligami."

"Mbak Aida memang luar biasa. Dia adalah orang yang sangat baik, Mas. Dia sudah seperti kakak untukku."

"Iya, Aida wanita yang luar biasa. Kamu jangan cemburu ya kalau aku memujinya."

"Ah Mas ini bisa saja. Kita sudah sama-sama tua, Mas. Sekarang yang kita pikirkan adalah bekal untuk akhirat saja dan membimbing anak cucu kita."

"Sejak kapan kamu bijak begini, Dek?"

"Lho memang selama ini aku seperti ini kan, Mas?"

"Tumben kamu bisa bercanda. Pasti karena kamu sedang bahagia mau ketemu Idris ya?" Wahyu mencubit ujung hidung Hanum pelan. Mereka tersenyum bersama.

"Iya aku sangat bahagia, Mas. Sebentar lagi aku mau kumpul lagi dengan anak-anakku."

"Sini.." Wahyu menepuk bantal di sebelahnya. Tanda agar Hanum tidur di sebelahnya.

"Aku tidak mau tidur, Mas."

"Kamu harus tanggung jawab, Dek. Tadi sudah banguin Mas."

"Mau ngapain?"

"Barangkali kali ini kamu bisa hamil, Dek."

"Mas ini apa-apaan. Kita udah tua. Mas sudah punya cucu banyak lho."

"Memang kenapa? kamu masih muda. Masa Mas ga punya anak dari kamu sih, Dek. Lagian anak-anak kita nantinya akan meninggalkan kita karena sudah menikah semua. Kalau kita punya anak bayi lagi, pasti rame lagi rumah kita.

"Wudhu dulu sana."

**

Keesokan harinya, Wahyu dan Hanum pagi-pagi sekali pergi ke pesantren milik Nuriyah. Di sana dia akan menemui putranya yang sudah lama hilang. Hanum tersenyum sepanjang jalan. Dia juga merasa deg-degan. Ada rasa takut juga kalau putranya masih membencinya.

"Kamu sudah siap ketemu Idris?" tanya Wahyu saat mereka telah sampai di depan pesantren milik Nuriyah.

"InsyaAllah siap, Mas."

"Tidak perlu tegang begitu. InsyaAllah semua akan baik-baik saja."

"Iya Aamiin.."

Hanum dan Wahyu berjalan bergandengan menuju ke pintu masuk rumah Nuriyah.

"Assalamualaikum." Hanum tampak tegang sekali. Wahyu yang berada di sebelahnya menggenggam tangan istrinya.

"Waalaikumsalam.." Nuriyah membuka pintu, dan betapa senangnya saat melihat Hanum berdiri di depannya. Hanum memeluk Nuriyah. Dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Hanya airmata yang bisa berbicara betapa dia sangat terharu dengan keadaan ini.

"Dimana Idris Bu?" Hanum melepaskan pelukannya lalu mengusap airmatanya. Dia tidak ingin putranya melihat dia menangis.

"Ada.. Dia sedang di mushola pesantren bersama seorang guru. Dia sedang belajar ngaji, Num."

"MasyaAllah.. Boleh saya ketemu Idris Bu?"

"Tentu.. Ayo ikut ibu. Ayo Nak Wahyu silahkan masuk."

"Iya bu. Terimakasih." Wahyu mengikuti Nuriyah dan Hanum yang berjalan didepannya. Ia akan bahagia jika memang benar Idris telah kembali. Kini, Mahira tidak akan merasa sendiri lagi. Dia punya kakak laki-laki yang akan melindungi dia.

"Itu dia Num." Nuriyah menunjuk seorang pemuda berbadan kekar karena Edo memakai baju koko lengan pendek. Namun Hanum kaget saat melihat ada beberapa Tato di lengan Edo.

"Idris.. ada seseorang yang ingin bertemu denganmu, Nak." Nuriyah memanggil Edo yang sedang belajar membaca Al-Qur'an dengan seorang guru.

"Iya Nek," Edo menoleh ke belakang saat Nuriyah memanggilnya. Betapa terkejutnya dia saat melihat sosok wanita yang sangat cantik. Dia lupa-lupa ingat. Tapi wajahnya memang sekilas pernah ia lihat.

"Idris, anakku.. Ini ibu, Nak." Hanum mendekati Edo. Edo pun berdiri menyambut pelukan sang Ibu. Ya Edo baru ingat wanita yang ada di depannya adalah ibu kandungnya. Yang selama ini dia benci. Tapi kemanakah rasa benci itu sekarang? hilang tak berbekas.

"Ibu, maafkan aku. Karena aku sudah membuat ibu susah." Edo memeluk ibunya yang kini tingginya hanya sebatas bahunya.

"Ibu bahagia sekali, Nak. Akhirnya kamu kembali." Hanum menangis sesenggukan. Dia sangat bahagia hari ini. Melihat putranya yang kini sangat tampan. Hanum benar-benar terharu. Edopun merasakan hal yang sama.

"Ayo kita ngobrol di rumah saja." Nuriyah mengajak mereka bertiga untuk masuk ke dalam rumah.

"Iya, Bu." Mereka semua berjalan ke rumah Nuriyah. Tiba di sana Hanum sudah tidak sabar untuk bertanya banyak hal dengan Edo.

"Kamu tinggal dimana selama ini, Nak?"

"Aku tinggal dengan anak-anak jalanan, Bu."

"Astaghfirullah, maafkan ibu ya Nak. Ibu dan Abi kurang maksimal mencarimu. Oh ya kenalin ini Abi Wahyu. Kamu boleh memanggilnya Abi."

"Iya Idris. Panggil saja saya Abi. Kamu juga anak saya. Tidak perlu sungkan, Nak."

"Iya, Abi." Meski masih kaku mengucapkannya, namun Edo berusaha untuk menerima kehadiran Ayah tirinya ini. Dia tidak ingin melukai perasaan ibunya lagi.

"Apa kamu sudah menikah, Nak?"

"Belum, Bu. Aku belum menikah."

"Berarti Umi dan Abi masih bisa melihatmu menikah nanti." Ucapan Hanum mengingatkan Edo pada Mahira lagi.

"Iya, Bu. Katanya Ziya mau menikah?"

"Iya Nak. InsyaAllah besok pagi Mahira, akan menikah."

"Mahira?"

"Iya, Mahira adikmu. Dulu waktu kecil kita memanggilnya Ziya." Edo merasa takdir mempermainkannya. Bahkan nama adiknya saja ternyata ada nama Mahiranya.

"Memang nama Ziya siapa Bu?"

"Ghaziya Mahira Kazhima. Kamu dulu masih kecil. Maklum jika kamu tidak mengingat nama lengkap adikmu. Kamu mau kan besok jadi wali nikah adikmu?"

"InsyaAllah, Bu."

"Kalau begitu kamu harus menghafal nama lengkap Adikmu dan Pasanganya ya."

Hanum menuliskan di selembar kertas. Ghaziya Mahira Kazhima binti Muchtar Fauzi. Dan Aydin Wira Althafurrahman bin Abdullah Fajar.

"Ini, tolong kamu hafalkan ya, Nak. Dan ini ibu punya undangannya. Sebentar ya.

Edo sampai terperanjat saat melihat undangan yang bertuliskan nama panggilan kedua mempelai.

'Apa ada di dunia ini yang kebetulan? tidak mungkin ada dua pasang manusia dengan nama yang sama, menikah di hari yang sama. Jadi berarti..." Edo meneteskan airmata.