Dengan berat hati Edo meninggalkan teman-temannya yang selama ini sudah ia anggap seperti saudara mereka sendiri. Bahkan para anak buah Edo ini sampai ada yang meneteskan airmata. Mereka sudah bersama bertahun-tahun. Dan ketika pemimpin mereka tiba-tiba pergi, sudah pasti mereka akan sangat terpukul.
Edo mengendarai motornya menuju ke pinggiran kota, ke pesantren milik neneknya. Dia membawa pergi cintanya. Ingin membuang semua kenangan bersama Mahira. Semoga di tempat yang baru, dengan kehidupan yang baru, bisa membuatnya lebih mudah untuk melupakan Mahira.
Edo sampai di pesantren sekitar pukul sembilan malam. Pesantren tampak sepi. Karena sekarang memang hanya sedikit santri yang belajar di sana. Edo membuka helmnya lalu bergegas masuk ke dalam rumah kuno yang letaknya bersebelahan dengan pesantren.
"Assalamualaikum.." Edo mengucap salam sambil mengetuk pintu. Tak butuh waktu lama ia menunggu di depan pintu, karena Neneknya segera membuka pintu untuknya.
"Waalaikumsalam.. Ya Allah Indris, Alhamdulillah kamu pulang, Nak." Nuriyah memeluk Edo seperti saat mereka pertama bertemu.
"Ada apa sih Nek? Aku baru pergi tadi pagi, Nek."
"Ayo masuk, bersihkan badanmu lalu makan dulu. Nenek ada kabar gembira buat kamu, Nak." Nuriyah tersenyum pada Edo. Beliau nampak antusias ingin segera menceritakan kabar gembira itu pada Edo.
Edo menuruti apa kata neneknya. Dia segera masuk ke dalam rumah membersihkan tubuhnya. Setelah selesai makan, Neneknya sudah menunggunya di ruang tamu untuk membicarakan masalah penting terkait adiknya yang akan menikah.
"Jadi ada apa sebenarnya, Nek?" tanya Edo penasaran dengan apa yang akan dibicarakan oleh neneknya.
"Idris, Nenek kira kamu masih lama pulangnya. Alhamdulillah kamu langsung pulang, Nak."
"Iya, Nek. Tadi aku hanya pamitan sama teman-teman kalau mulai sekarang aku akan meninggalkan mereka."
"Kamu serius, Nak?"
"Iya, Nek. Aku akan serius belajar agama di sini. Dan juga mau menemani Nenek saja di sini."
"Alhamdulillah, Terimakasih ya Dis."
"Lalu Nenek mau cerita apa tadi, Nek?"
"Dris, tadi Ibumu ke sini, Nak." Nuriyah pindah duduk di sebelah Edo. Beliau memegang tangan Edo. Berharap Edo tidak akan marah setelah ini.
"Mau apa dia ke sini, Nek?"
"Idris, kamu jangan membenci ibumu terus. Tidak baik, Nak. Ibumu menikah lagi karena dia harus melanjutkan hidupnya."
"Aku masih belum bisa mengerti, Nek."
"Kamu mau tau kenapa Ibumu menikah lagi? itu adalah amanat dari ayahmu. Muchtar. Dulu, Ibumu Hanum adalah anak yatim piatu yang nenek asuh dari kecil. Padahal Nenek memiliki anak laki-laki di rumah ini. Lalu setelah Hanum baligh sekitar umur empat belas tahun, Kakek meminta muchtar anak kami yang sudah berusia dua puluh lima tahun, untuk menikahi Hanum agar tidak menimbulkan fitnah. Apalagi kami tinggal di lingkungan pesantren. Hanum sudah kami anggap seperti anak sendiri. Setelah mereka menikah, setahun kemudian lahirlah kamu. lalu dua bulan setelah kamu lahir, ibumu hamil lagi. lahirlah anak kedua mereka yang kita panggil Ziya."
"Ibu masih terlalu muda ya, Nek."
"Iya.. Tapi kebahagiaan keluarga mereka tidak bertahan lama. Ditanyain ke empat mereka menikah, Muchtar sakit kanker hati. Dan sebelum meninggal dia menitipkan Hanum pada Wahyu. Sahabatnya yang juga salah satu donatur di pesantren ini. Dia orang yang sangat baik. Makanya nenek setuju jika Hanum pada akhirnya menikah lagi dengan Wahyu setelah masa iddahnya habis. Semua demi kamu dan Ziya yang masih kecil-kecil dan membutuhkan kasih sayang orangtua yang lengkap. Tapi kamu malah pergi." Nuriyah menangis. Menceritakan kembali kisah hidup Hanum dan Muchtar.
"Maafkan aku, Nek. Dulu aku pikir ibu tidak sayang sama aku. Aku tidak mau punya Ayah tiri."
"Menjadi janda di usia muda itu sangat berat, Dris. Kamu dan Ziya butuh sosok Ayah yang akan membimbingmu. Walau pada akhirnya kamu malah tidak mau dibimbing."
"Aku janji akan mau dibimbing, Nek. Aku ingin jadi anak yang berbakti."
"Kamu mau kan memaafkan Ibumu?"
"Iya, Nek. Aku akan memaafkan ibu. Maaf kalau aku selama ini egois, Nek."
"Idris, adikmu Ziya. InsyaAllah besok lusa akan menikah, Nak. Kamu mau kan jadi walinya? Ayah tirimu jelas tidak bisa menjadi walinya tanpa izin darimu. Karena walinya Ziya hanya kamu."
"Oh ya Nek? Adikku sudah besar rupanya. Seperti apa dia ya, Nek?"
"Nenek juga sudah lama tidak ketemu. Kalau kamu mau menjadi wali nikahnya Ziya, Nenek akan telpon Ibumu sekarang. Agar mereka tidak perlu menggunakan wali hakim."
"Iya, Nek. Aku bersedia jadi wali nikahnya Ziya. Semoga ini bisa menebus kesalahanku selama ini pada Ibu dan Ziya."
"InsyaAllah, Nak. Ibumu tadi senang sekali ketika Nenek bilang kamu kembali. Mereka bahkan sampai shalat magrib dan isya' di sini karena ingin menunggumu. Tapi ternyata kamu tidak datang juga. Jadi mereka pikir kamu tidak pulang hari ini."
"Maafkan Aku, Nek."
"Tidak apa-apa Dris. Semoga setelah Ziya menikah nanti, gantian kamu yang menikah ya. Apa kamu sudah punya calon, Nak?" Nuriyah menelisik wajah Edo yang tiba-tiba berubah murung.
"Belum, Nek. Aku sempat menyukai seorang gadis sholehah. Tapi tiba-tiba tadi aku dapat kabar kalau lusa dia akan menikah."
"Sabar ya, Dris. Sekarang kamu fokus memperbaiki diri, Nak. InsyaAllah akan ada wanita sholehah yang akan disiapkan Allah untukmu. Tidak usah sedih."
"Iya, Nek. Aku akan berusaha untuk ikhlas. Makanya aku menjauh ke sini agar bisa lebih mudah melupakan wanita itu. Karena jika terus berada di sana, Aku semakin sulit melupakan."
"Kamu kenal dia di mana?"
"Dia mengajar di rumah singgah untuk anak-anak jalanan, Nek. Kami sempat dekat. Dan kata sahabatnya, dia juga memiliki perasaan yang sama seperti aku. Tapi dia dijodohkan oleh orangtuanya, Nek."
"Walaupun dia memiliki perasaan yang sama denganmu, jangan pernah berfikir untuk merebutnya ya, Nak. Menikah itu untuk menyempurnakan separuh agama. Berharap akan memberikan perasaan tentram. Dan menimbulkan rasa tenang menjalankan ibadah. Kalau kamu mendapatkan seorang wanita dengan tanpa restu orangtua, khawatir pernikahanmu nanti tidak akan mendatangkan ketentraman, Nak."
"Iya, Nek. Aku akan menikahi seorang gadis dengan cara yang baik. Dengan restu orangtua. Selama ini Aku sudah banyak menyusahkan ibu dan ayah tiriku. Aku tidak mau mengecewakan mereka lagi. Aku memilih ikhlas, Nek." Untung saja Edo tidak nekat merebut Mahira. Padahal tadi sebelum bertemu Wira, dia sudah berniat untuk mengambil Mahira dari Wira.
"Bagus Nak. Nenek doakan kamu akan segera bertemu dengan jodohmu."
"Aamiin.. Terimakasih, Nek."
"Nenek telepon ibumu dulu ya, Dris. Dia pasti akan senang mendengarnya."
"Iya Nek." Edo melihat neneknya mengambil ponsel. Beliau hanya bisa menelpon dan tidak bisa sms atau whatsapp. Nuriyah memencet nomor pintasan. Hanya memencet no.2, sudah otomatis tersambung ke nomor Hanum.
"Waalaikumsalam, Hanum." Nuriyah mengobrol lumayan lama dengan Hanum. Edo hanya bisa mendengar percakapan Neneknya. Tapi tidak mendengar suara ibunya. Dalam hati dia merasa sangat rindu dengan sang ibu. Setelah mendengar cerita neneknya tadi, dia merasa menyesal karena meninggalkan orangtuanya dan membuat mereka cemas. Mungkin kepahitan yang dia alami selama ini di jalanan akibat dari dirinya yang membuat orangtua cemas.
'Maafkan aku ibu, semoga ibu mau menerimaku kembali. Aku janji akan membahagiakan ibu setelah ini.'