Prabu terbangun, kemudian melangkah keluar rumah. Prabu duduk disamping kang Untung yang masih asik menghisap dalam rokoknya.
"Udah bangun kamu...?", kang Untung bertanya santai, sembari menyeruput kopinya.
"Udah sekian lama dipindah tugaskan kesini, tetap saja saya masih belum bisa beradaptasi sama cuacanya kang", Prabu bicara pelan, badannya meringkuk karena kedinginan.
Kang Untung tertawa renyah mendengar ucapan Prabu. "Kalau soal itu terus terang saya g'ak bisa bantu", kang Untung kembali menghisap dalam rokoknya.
"Kang, ngomong-ngomong Cakya kemana...?", Prabu melirik kiri kanan mencari jejak keberadaan Cakya.
"Udah pulang", kang Untung menjawab santai.
"Malam-malam begini...?", Prabu bertanya tidak percaya.
"Itu anak emang seperti itu. Datang tak diundang, pulang kadang tak bilang-bilang", kang Untung kembali menimpali.
"Kayaknya kang Untung udah dekat banget sama Cakya, memangnya dia siapa kang...?", Prabu berusaha mengorek informasi dari kang Untung.
"Hampir semua yang pernah tugas disini tahu sama Cakya. Tu bocah nyaris g'ak pernah absen naik gunung setiap hari libur.
Awalnya saya anggap dia memang suka dialam. Selidik punya selidik, ternyata gunung hanya pelarian buat tu bocah.
Setiap kali ada masalah, dia lebih memilih menyendiri kesini, katanya hanya disini dia g'ak perlu ketemu orang-orang", kang Untung bicara panjang lebar, terkadang kang Untung tersenyum lembut mengingat wajah Cakya.
Bocah malang, yang selalu dihantam badai cobaan sejak remaja. Akan tetapi, dia sanggup bertahan sampai sejauh ini.
***
Gama duduk diteras kos-kosan, ditemani kopi dan rokok yang dijepit disela jemari tangannya.
Adam duduk disamping Gama. "Bang...", Adam bicara lirih.
"Ada apa...?", Gama bertanya lembut.
"Abang ada masalah sama bang Cakya...?", Adam bertanya dengan keraguan.
"Kita baik-baik saja", Gama menjawab santai, kembali menghisap dalam rokoknya.
"Lalu... Kenapa bang Cakya jarang kesini...?", Adam kembali menyelidiki.
"Dia lagi sibuk sama tugas akhir kuliahnya", Gama menjawab santai.
"Hem...", Adam bergumam pelan.
"Udah jam segini, abang mau siap-siap dulu. Abang ada jadwal kuliah dikampus", Gama berlalu masuk kedalam rumah.
Menit berikutnya Gama sudah meluncur dijalan beraspal dengan motor kesayangannya.
Seperti hari sebelumnya, Cakya tidak muncul dikelas.
Perjalanan panjang, pukul 12.05 Wib kelas dibubarkan. Semua mahasiswa berhamburan keluar kelas.
"Gama.... Bagaimana keadaan Cakya...?", bu Nanya tiba-tiba bertanya saat Gama melewatinya.
"Secara fisik dia baik-baik saja. Secara batin saya tidak bisa bilang dia baik-baik saja", Gama menjawab jujur apa adanya.
"Apa maksud kamu...?", bu Nanya kembali mengejar jawaban.
"Gama baru saja kehilangan kontak dengan tunanganya", Gama memutuskan untuk jujur kali ini, agar tidak dikejar-kejar oleh bu Nanya terus-terusan.
Tidak ada suara lagi setelahnya, kemudian Gama mohon diri. Berlalu dari hadapan bu Nanya.
Sudah hampir tengah malam bu Nanya menyelesaikan kelas terakhirnya. Bu Nanya segera menuju mobil dan bermaksud segera ingin pulang untuk istirahat.
Akan tetapi bu Nanya melihat sosok yang dia cari selama lebih dari 2 minggu belakangan. Bu Nanya sengaja mengikuti sosok tersebut yang melaju dengan kecepatan tinggi bersama motornya.
"Mau kemana ini bocah...?", bu Nanya bertanya bingung, karena sosok yang diikuti olehnya menuju kearah puncak.
Sosok itu menghentikan motornya ditempat sepi. Setelah memarkirkan motornya dengan aman, sosok itu duduk ditanah menatap kosong jauh kedepan.
Bu Nanya memarkirkan mobilnya dengan aman, kemudian melangkah perlahan menghampiri Cakya.
"Sudah lebih dari dua minggu kamu bolos kelas saya", bu Nanya bicara santai saat duduk disamping Cakya. Kemudian menyerahkan air mineral ke arah Cakya.
Cakya menerima pemberian bu Nanya. Akan tetapi hanya menggenggam botol minum tanpa ekspresi diwajahnya.
"Saya lagi pusing buk", Cakya menjawab malas, kemudian berusaha membuka botol minum ditangannya.
"Dari Gama saya tahu kalau kamu kehilangan kontak dengan tunanganmu", bu Nanya langsung memukul tepat di luka Cakya yang menganga.
Cakya tidak merespon, malah meneguk minumannya dengan santai.
"Kamu bisa g'ak perduli dengan hidup kamu sendiri. Terserah, saya g'ak perduli. Tapi... Kamu g'ak bisa untuk tidak perduli dengan orang disekitar kamu.
Kamu hidup g'ak cuma sendiri. Ada ibu yang selalu mencemaskan kamu. Keluarga kamu yang begitu sayang sama kamu.
Kalau kamu seperti ini terus, kamu bukan hanya menyakiti diri kamu sendiri, akan tetapi kamu juga menyakiti orang-orang yang peduli sama kamu. Itu dzholim namanya", bu Nanya mengeluarkan semua kekesalan dihatinya.
Cakya tidak merespon sama sekali. Tubuhnya seolah mematung mendengarkan semua makian dari bu Nanya.
"Kenapa ibu begitu perhatian sama saya...? Saya bukan siapa-siapanya ibuk", Cakya membalas dengan nada suara paling dingin.
"Karena saya peduli saya kamu...!!!", bu Nanya naik pitam mendengar ucapan Cakya.
"Kenapa harus saya buk...? Saya bukan siapa-siapa. Dan saya bukan apa-apa", Cakya beranjak dari posisi duduknya bermaksud untuk naik keatas motornya, sebelumnya Cakya membanting botol minum yang ada ditangannya keatas tanah sekuat tenaga.
"Karena itu kamu...!!!", bu Nanya menjawab dengan suara tercekat, tubuhnya bergetar karena menahan tangis yang akan menyerbu keluar dari bola matanya.
Cakya mengerutkan keningnya karena tidak mengerti dengan tujuan ucapan bu Nanya. "Maksudnya...?", Cakya bertanya bingung, dengan tidak merubah posisi duduknya diatas motor.
"Saya sudah berusaha melupakan perasaan saya ke kamu. Mencari seribu alasan agar saya membenci kamu.
Awalnya saya pikir, saya hanya kagum sama kamu, karena dengan berani membantu saya dari tunangan saya.
Akan tetapi... Perasaan itu kian hari kian tumbuh. Saya suka sama kamu. Bukan sebatas mahasiswa dan dosen, akan tetapi lebih dari itu", bu Nanya meluapkan semua isi hatinya secara blak-blakan kepada Cakya.
"Bu Nanya, saya...", Cakya seolah kehilangan kata-kata yang akan dia ucapkan untuk bu Nanya.
"Pihak akademik tadi menghubungi saya, jadwal ujian skripsi kamu besok", bu Nanya bicara pelan.
Cakya tidak merespon kali ini. Otaknya berpikir rumit, semua masalah campur aduk didalam tempurung kepalanya kali ini.
"Saya kasih kamu waktu seminggu untuk mencari tunanganmu. Setelah satu minggu saya akan tunggu kamu di kampus. Saya akan berusaha menjadwalkan ulang ujian kamu minggu depan", bu Nanya bicara dengan keyakinan penuh, kemudian masuk kedalam mobilnya dan berlalu dari hadapan Cakya yang masih bergelut dengan pikirannya yang rumit.
Cakya kembali turun dari motornya, kemudian kembali duduk ke tempat semula. Pikirannya kosong, senada dengan tatapannya yang demikian kosong menatap lurus kedepan.
"Ternyata benar kamu disini", Gama entah muncul dari mana, tahu-tahu sudah duduk disamping Cakya.
Cakya tidak merespon, bahkan tidak merasa terusik dengan kehadiran Gama.
"Cari Erfly, biar kamu g'ak penasaran", Gama tiba-tiba bicara diluar dugaan Cakya.
Cakya spontan menatap wajah Gama penuh tanya.
Gama menatap lurus kedepan, seolah tidak sedang berbicara dengan Cakya yang ada disampingnya.
"Om udah pesan tiket penerbangan pagi buat kamu ke Garut. Cari Erfly...", Gama kembali menegaskan.
"Om...", Cakya seolah kehabisan kata-kata untuk berterima kasih kepada Gama.
"Om melakukan ini semata-mata bukan buat kamu. Tapi... Buat ibu kamu, Om g'ak mau kamu terus nyakitin sepupu Om kayak gini. Om kasih kesempatan sama kamu kali ini untuk mencari Erfly.
Dengan catatan. Kamu harus janji satu hal sama Om. Apapun hasil yang kamu dapatkan setelah pulang dari Garut. Kamu harus kembali menjadi anak baik yang ibu kamu kenal selama ini.
Om tidak akan segan buat ngusir kamu, kalau kamu masih terus-terusan bikin sepupu Om nangis kayak gini", Gama bicara dengan suara paling tegas.