webnovel

Cachtice Castle : Blood Countess de Ecsed

Sinopsis Sebagai pria bangsawan dengan gelar ksatria pedang agung yang cukup disegani pada banyak medan pertempuran, Lorant sering menjadi bahan pembicaraan gadis-gadis bangsawan. Wajahnya yang memiliki tulang rahang tegas, dengan hidung bagaikan terpahat sempurna yang memisahkan kedua mata coklat setajam elang berbingkai alis berbentuk golok tebal, membuatnya sangat berkharisma. Tubuh atletisnya yang dipenuhi guratan luka akibat perang, justru semakin membuatnya terlihat gagah. Bahkan para gadis sering membual bahwa dia tahu berapa jumlah bekas luka yang ada di tubuh Lorant, untuk menimbulkan asumsi bahwa dirinya cukup intim dengan Lorant. Tetapi Lorant justru mencintai Benca, gadis biasa yang tinggal terisolir di tepi hutan selama delapanbelas tahun. Hubungan cinta mereka menghasilkan dua orang anak kembar, Lovisa dan Edvin. Lorant tidak menyangka kisah cintanya bersama Benca merupakan awal perjuangan panjang dan pertarungan mental yang kerap membuatnya frustasi. Selain harus menghadapi kecemburuan Ivett, wanita bangsawan yang telah dijodohkan dengannya dan berusaha mati-matian untuk melenyapkan Benca dengan cara apapun, Lorant juga harus menerima kenyataan, bahwa Benca adalah putri kandung dari bibinya sendiri, seorang wanita bangsawan kelas atas penganut satanisme yang sering melakukan ritual berupa mandi darah perawan, dan telah menculik Lovisa, untuk dijadikan korban ritual. Dengan segala kemampuannya, Lorant berusaha melindungi dua wanita yang paling dicintai dalam hidupnya dari cengkraman bibi sekaligus ibu mertuanya yang haus darah.

Risa Bluesaphier · Sejarah
Peringkat tidak cukup
119 Chs

13. Mendapat Restu, 10 Oktober 1591

Gerda sedang sibuk di dapur untuk mempersiapkan makan malam dibantu oleh Benca. Sementara Lorant dan Gergely sedang duduk di teras menatap langit yang mulai pekat sambil bicara tentang kehidupan Lorant di Arva.

Lorant bermaksud memberi pengantar kepada Gergely tentang siapa dirinya, dan bagaimana kehidupannya, untuk memberi gambaran singkat kepada Gergely, bahwa dirinya cukup layak dipertimbangkan sebagai menantu dan pendamping bagi Benca.

Gergely tidak ingin membahas tentang apa yang telah dia ketahui bersama istrinya tadi pagi. Bahkan saat makan siangpun mereka hanya bicara tentang hal-hal ringan seputar kehidupan Benca selama delapan belas tahun di tempat yang terpencil.

Kenyataan bahwa Benca mengusai sebagian besar ilmu herbal serta keterampilan memasak tentu tidak lagi membuat Lorant bertanya-tanya. Sebab Lorant tahu, Benca mewarisi semua itu dari Ibunya.

Namun pertanyaan besar tentang ilmu dasar politik maupun kehidupan ala bangsawan termasuk tata krama dalam bersikap sehari-hari maupun saat di meja makan, terjawab saat itu. Ternyata, menurut penuturan Gergely, dia dan Gerda dahulu bekerja di kota sebagai pelayan rumah makan yang sering didatangi oleh para bangsawan. Sehingga mereka berdua harus mempelajari bagaimana menyusun meja makan, mengeluarkan urutan makanan dan minuman, hingga penggunaan sendok dan piring.

Tentu saja Gergely tidak mengatakan hal yang sesungguhnya, bahwa dia dan istrinya, dahulu adalah penghuni istana. Dirinya sebagai ahli dekorasi ruang serta bangunan, sementara istrinya adalah asisten tabib istana. Gergely belum ingin mengungkapkan semua tentang Benca, hingga dirinya benar-benar yakin waktunya telah tepat.

"Ibu, kenapa kita masak istimewa sekali hari ini? apakah kita akan merayakan sesuatu?" Benca bertanya sambil memotong wortel lalu menciptakan garnish atau hiasan makanan dari wortel menjadi sekuntum bunga.

"Ya, sayang. Kita perlu merayakan kesembuhan Lorant yang begitu cepat. Hanya butuh lima hari bagi Lorant untuk pulih. Entah kekuatan apa yang dimiliki pemuda tampan dan baik hati itu." Gerda menjawab sambil terus sibuk memasak, ujung lirikan matanya menangkap rona merah bersemu di pipi halus putri cantiknya, "Setelah membuat garnish dari wortel, lanjutkan dengan tomat dan mentimun, buat seindah dan sebagus mungkin. Karena ketika kita sedang mensyukuri sesuatu, kita perlu menunjukannya dengan sungguh-sungguh, agar Tuhan terus melimpahkan berkahNya kepada kita." Benca mengangguk, mengerti apa yang dimaksudkan oleh Ibunya.

Membuat garnish bagi Benca bukanlah perkara sulit, namun membuat garnish sebanyak yang ibunya mau saat ini tentu saja menjadi pertanyaan bagi Benca, "Kita akan membuat apa dengan garnish sebanyak ini, Ibu?" akhirnya Benca tidak tahan untuk bertanya.

"Kita akan membuat kastil dari kentang, serta hutan dari garnish sayuran yang kamu buat. Kita akan jadikan hidangan kali ini sangat menarik, karena akan tampak seperti suasana di sekitar rumah kita.

"Wow, dari mana Ibu dapat ide sehebat itu?" Benca terkagum-kagum, dia sudah membayangkan bahwa hidangan tersebut akan sangat spektakuler. Membayangkan hal itu, Benca semakin semangat membuat garnish yang indah dari sayuran serta buah-buahan.

Waktu makan malam hampir tiba. Benca dan Gerda telah selesai memasak, "Segera mandi dan berpakaian, sayang. Ibu akan membereskan hidangan ini sebentar lagi. Setelah kamu selesai, bereskan meja makan dengan baik seperti yang Ibu ajarkan. Dan jangan sentuh nampan berisi kastil kentang dan hutan desa Csetje ini. Hanya aku yang boleh membawanya ke meja makan. Kamu mengerti?"

Benca tertawa, memamerkan susunan giginya yang rapih berjajar bagaikan barisan mutiara indah dan mempesona, "Baiklah Ibuku sayang, sang penguasa dapur tepi hutan desa Csetje. Tidak ada yang berani melanggar titahmu, meski panglima Gery sekalipun." Benca menggoda ibunya sambil berlari ke kamar mandi. Gerda hanya terkekeh sambil meneruskan menyusun maha karya hidangan makan malam mereka.

Benca telah selesai menata meja sesuai instruksi dari ibunya. Kemudian memanggil dua pria terkasih untuk datang bergabung di meja makan, "Ayah. Lorant. Makan malam sudah siap sebentar lagi. Kalian ingin tetap duduk di sini hingga makanan menjadi dingin, atau bergabung dengan kami menyantap hidangan istimewa, buatan koki handal tepi hutan desa Csetje?"

Gergely bangkit berdiri sambil terkekeh, diikuti Lorant, "Kamu semakin pandai bicara gadis cantik. Apakah Ibumu mengajarimu menjadi sastrawan juga?" Gergely mengacak rambut Benca dengan sayang. Lalu memeluk putrinya menuju ruang makan. Sementara Lorant mengekor, iri dengan kemesraan ayah dan anak tersebut. Ingin rasanya Lorant mengambil alih posisi Gergely untuk memeluk Benca terkasihnya.

Sesaat setelah tiba di ruang makan, sebelum duduk di kursi masing-masing, Gergely dan Lorant dibuat terpana. Meja bulat yang tertutup taplak putih polos dipenuhi dengan kudapan cantik dari gandum maupun buah-buahan. Ada semangka berukir yang isinya telah dikerok, lalu dagingnya dihancurkan menjadi minuman segar. Sementara kulit buah nanas menjadi mangkuk bagi buah-buahan yang dipotong membulat, lalu disiram air gula bercampur lemon. Ada semangkuk sup jagung untuk makanan pembuka yang masih mengepulkan asap. Sementara kue-kue dari coklat dan keju diletakkan diatas irisan roti sehingga menjadi seperti kumpulan bebek yang lucu sedang berenang.

Tentu saja Gerda dan Benca tidak melupakan palacinky dan selai blueberry kesukaan Lorant, juga bongkahan mini camembert favorit Benca. Piring gelas dan sendok-sendok ditata sedemikian rupa sesuai kegunaannya. Diantara hidangan indah yang seperti dibuat oleh seorang professional tersebut, bagian tengahnya masih kosong. Sepertinya masih ada kejutan lain yang lebih indah, menunggu untuk dihadirkan.

Gerda memasuki ruang makan dengan nampan bulat yang besar, "Selamat malam semuanya, apakah kalian menunggu terlalu lama?" Gerda menyapa dengan riang, "Benca sayang, tolong bantu Ibu meletakan ini di tengah meja."

Dengan sigap, Benca membantu ibunya meletakan nampan bulat tersebut di atas meja dengan hati-hati. Ketika nampan tersebut sudah dapat dilihat oleh semua orang dari berbagai sudut dengan sangat jelas, semua berdecak kagum, bahkan Benca hampir tidak sanggup berkata-kata. Benca tahu ibunya pandai memasak dan membuat hiasan dari sayur serta buah-buahan, namun Benca belum pernah melihat sajian seindah ini seumur hidupnya.

Gergely dan Lorant pun dibuat terpana.

Di tengah nampan, berdiri sebuah kastil dari kentang rebus, yang dikelilingi oleh hutan sayuran terbuat dari tomat, brokoli, mentimun, wortel, dan sayuran lainnya, hasil karya Benca. Namun susunannya membuat seolah-olah di atas nampan tersebut bukanlah makanan, melainkan sebuah miniatur landscape sebuah kastil.

Di salah satu sisi, Gerda membuat dua angsa mungil dari lobak, bahkan ada dua merpati yang hinggap di puncak kastil dari kentang tersebut. Sementara prajurit dari wortel dan mentimun ditata berjajar mengelilingi kastil. Pagar yang mengelilingi kastil terbuat dari buncis yang dijalin sedemikian rupa. Bagian lembahnya adalah suiran ayam kalkun yang direbus sempurna dengan rasa yang nikmat. Benca tadi sudah mencicipi di dapur sebelum tampil dalam landscape indah ini.

Lorant menatap landscape dari makanan hasil karya Gerda tanpa berkedip. Bahkan Gergely juga Benca yang sudah tahu keahlian Gerda dalam mengolah dan menghidangkan makananpun ikut terkagum-kagum.

"Aku tidak percaya, bisa menyaksikan maha karya seindah ini dari tepi hutan desa Csetje yang terisolir," Lorant menggumam lirih, lalu menatap Gerda, "Apakah ini masih di dunia?" Lorant berpaling pada Gergely mencari jawaban, "Atau sesungguhnya, aku berada di surga?" kali ini pandangannya beralih pada Benca yang bola mata hazelnya masih melebar karena takjub.

Dipandang sedemikian rupa oleh Lorant, membuat Benca mengerjapkan matanya perlahan secara spontan, "Ah ya, aku rasa, aku berada di surga," Lorant menjawab pertanyaannya sendiri, "Jika ini bukan surga, bagaimana mungkin sakitku bisa pulih hanya dalam lima hari? jika ini bukan surga, bagaimana mungkin ada gadis secantik Benca yang bersinar bagai rembulan. Jika ini bukan surga, bagaimana mungkin aku selalu menikmati makanan lezat, segar dengan penataan yang apik setiap hari. Ya, aku rasa, aku memang sedang di surga." Lorant mencubit lengannya, lalu menepuk-nepuk pipinya sendiri.

"Kamu memang sedang berada di surga, Tuan Muda Lorant," Gergely menepuk punggung Lorant yang duduk di sampingnya, "Kamu berada di surga dunia, dengan bidadari secantik Benca, dan hidangan lezat hasil karya istriku tercinta. Jangan lupakan aku yang akan selalu menjagamu seperti malaikat pelindung. Kami adalah surga bagimu, karena kehadiran cinta kasih yang kamu miliki untuk kami di sini, juga cinta kasih kami untukmu, membuat kita semua seperti berada di dalam surga. Karena cinta, memang membuat kita bahagia." Gergely seolah ingin memberikan sinyal, bahwa dia merestui hubungan Lorant dan Benca.

"Baik. Cukup sudah bicaranya. Sekarang mari kita berdoa untuk kebahagiaan yang kita miliki, untuk kesembuhan Lorant, untuk secuil surga yang Tuhan anugerahkan kepada kita di dunia ini selama hidup kita. Gery, pimpin kami untuk berdoa." Gerda bertitah. Dan titah Gerda bagi Gergely adalah perintah.

Maka dengan saling bergenggaman tangan, seolah saling menyalurkan energi positif seperti kebiasaan keluarga kecil Gergely dalam ritual berdoa sebelum makan, Gergely mulai memimpin doa.

Setelah selesai berdoa, Gerda segera menyela, "Aku ingin menyampaikan sesuatu pada kalian. Hari ini, tepat 28 tahun kami menikah. Dan kami bahagia, memiliki tamu seperti Tuan Muda Lorant di rumah kami. Maka izinkan aku dan suamiku berbagi kebahagiaan ini dengan memberikan hadiah yang sangat berharga bagi kami, untuk putri kami tercinta, dan tamu kami yang terhormat, Tuan Muda Lorant."

Benca dan Lorant yang duduk berhadapan saling memandang tidak mengerti. Satu hal yang baru saja dipahami Benca adalah, bahwa hidangan super istimewa ini ternyata untuk merayakan 28 tahun pernikahan Ayah dan Ibunya. Ada rasa haru menjalari sanubari Benca, mengingat semua kasih sayang mereka berdua terhadapnya selama ini.

"Tuan Muda Lorant, bukalah atap kastil kentang tersebut, berbagilah dengan Benca atas hadiah dari kami untuk kalian!" Gerda menatap Lorant dengan lembut penuh kasih sayang. Gergely mengangguk pada Lorant, tanda menyetujui apa yang diucapkan Gerda.

Perlahan Lorant membuka atap kastil kentang tersebut, di dalamnya terdapat dua buah cincin yang menancap sempurna pada lantai kastil yang juga terbuat dari kentang. Lorant menatap tak percaya, begitupun Benca. Mereka bergantian saling menatap Gergely dan Gerda.

Yang ditatap mengangguk. Lorant terharu dengan perhatian yang begitu besar dari kedua orang tua Benca. Dia berjanji dalam hati, akan menjaga Benca seumur hidupnya. Bahkan dia rela mengorbankan nyawa bila memang diperlukan.

Baginya, apa yang dia alami selama lima hari ini adalah jalan dari Tuhan untuk melangkah pada masa depan. Tidak ada seorangpun yang bisa menghindari takdirnya. Dan dia bahagia, memiliki takdir seindah ini. Rasa syukur membuncah tak terkira, segenap kata tidak mampu mewakili untuk mengungkapkan betapa bahagianya dia pada detik ini. Kebahagiaan yang menjadi puncak dalam lima hari yang penuh makna bersama keluarga Benca yang terisolir, namun sangat spesial.

Lorant mengambil cincin yang lebih kecil, lalu meraih tangan Benca, "Aku berjanji, untuk selalu menjagamu dengan nyawaku sebagai taruhannya. Dan akan selalu mendukungmu, serta mendampingimu dalam susah maupun senang. Aku mencintaimu dengan sepenuh hatiku," kemudian Lorant memasukkan cincin tersebut ke jari manis Benca yang bergetar. Tangannya dingin berkeringat karena gugup. Namun hatinya luar biasa bahagia.

Benca mengambil cincin yang berukuran lebih besar, bergantian memasukkannya ke jari manis Lorant, "Aku akan berbakti padamu dengan seluruh hidupku, setia sampai akhir hayatku, bahkan hingga kehidupanku yang akan datang, aku tetap ingin bersamamu, dalam suka maupun duka. Aku juga mencintaimu dengan segenap jiwa ragaku."

"Aamiin," Gergely dan Gerda serempak mengaminkan, lalu mereka saling berpelukan.

"Semoga cincin pernikahan kami, memberi kekuatan bagi ikatan cinta kalian berdua," ucap Gerda tulus penuh keharuan.

"Baiklah, upacaranya selesai, sekarang saatnya kita makan," Gergely tersenyum, mencoba memecah situasi haru tersebut. Gerda segera menyendok kastil dari kentang untuk diberikan pada Gergely. Benca yang melihat itu berteriak tertahan, membuat semua menatapnya.

"Aduh, maaf Ayah, Ibu, aku hanya tidak tega melihat kastil indah ini hancur karena kita yang sedang kelaparan," tawa mereka semua pecah bersamaan.

Ya, landscape makanan karya Gerda memang terlalu indah, sehingga tidak tega untuk memakannya. Namun, makanan adalah makanan, kodratnya untuk mengenyangkan perut manusia, juga memberi nutrisi baik. Sementara keindahan yang disaksikan oleh mata, hanyalah kenikmatan sesaat.

Maka, bagaimanapun juga, makanan berbentuk landscape indah tersebut, tetap harus dimakan untuk memenuhi takdir keberadaannya di dunia ini.

Mereka semua menikmati makan malam dengan perasaan berbunga-bunga, terlebih lagi Lorant dan Benca yang baru saja memproklamirkan hubungan mereka berdua menjadi sesuatu yang lebih intim, dan mendapat restu dari orang tua Benca.

Lorant tidak menyangka, semuanya berjalan sempurna seperti telah direncanakan oleh takdir untuk memberinya kebahagiaan yang bertubi-tubi dalam lima hari ini.

Berhari-hari sebelumnya, Lorant mengalami tekanan penderitaan akibat situasi chaos yang tidak dia mengerti. Saat itu Lorant merasa hidupnya akan segera berakhir, mati dalam keadaan sekarat di tepi hutan, tanpa sanak keluarga yang menyaksikan dan memberinya penguburan yang layak. Lorant sudah pasrah, bila akhir dari hidupnya setragis itu, bahkan bila tubuhnya berakhir sebagai mangsa binatang buas di hutan sekalipun. Saat itu Lorant sadar, bahwa dirinya tidak memiliki kendali sepenuhnya atas raga yang dia miliki.

Kekuasaan Tuhan adalah sesuatu yang mengatur segalanya bagi kehidupan dia dan semua isi dunia. Lorant berharap, agar Tuhan terus memberinya kebahagiaan seperti hari ini, bersama Benca dan calon mertuanya.