webnovel

29 Sad Boy or Stronger Boy

Di seberang Atin dan Alex, tak terlalu jauh, seseorang tengah menatap datar. Tangan dimasukkan ke saku celana.

"Ini salah, tapi aku sakit. Boleh aku berjuang lebih keras meski kau milik orang lain? Walau kau sudah bekas orang lain sekalipun. Aku adalah orang bodoh yang terjebak pesonamu, Annisa Atinda. Aku tak dapat kontrol rasa ini. Aku minta maaf."

Orang itu adalah Darkos. Menunduk saat adegan ciuman yang lain kembali terjadi. Sakit, so hurt.

***

Secara tak sengaja Atin mengalihkan pandangan, ia tak berniat cari posisi tertentu. Napas Atin tercekat, secara kebetulan lihat seseorang yang sepertinya tak asing. Orang itu adalah Darkos. Atin tak percaya terhadap yang ia lhat. Maybe, Atin berhalusinasi.

Sedetik kemudian, setelah kesadaran benar-benar sampai—yang sebenarnya telat, tanpa sadar Atin dorong Alex. Orang itu sampai terjungkal hingga tubuhnya menubruk kursi taman. Pasti sakit.

Atin syok.

"Ma-maaf, kau tidak apa-apa."

Secepat yang Atin bisa, ia bantu Alex duduk. Secara alamiah pandangannya kembali lihat seseorang yang ia pikir Darkos. Kalau memang benar, habis sudah riwayat Atin. Keciduk mesum di tempat umum.

Tempat Atin dan Alex duduk termasuk terpencil, bukan strategis. Sulit lihat mereka termasuk memergoki aktivitas yang mereka lakukan.

"Kau kenapa?"

Alex ikuti arah pandang Atin dan tidak menemukan apapun. Atin bingung, jelas-jelas ia lihat orang yang kemungkinan besar Darkos.

"Hey." Alex tuntun Atin berhadapan dengannya, biar Atin sadar sepenuhnya, Alex tiup wajah Atin.

Usap pelan pipi Atin. Atin terlihat seperti orang linglung. Jangan bilang habis lihat hantu, terus kesambet.

"Kau lihat hantu?"

Atin menunduk, napas memburu saling bersautan.

"Aku mau pulang. Boleh?"

Fiks, Alex pikir Atin memang benar-benar lihat hantu. Wajah Atin dingin, jadi lebih baik dibawa pulang aja sebelum kerasukan. Alex gak bisa urus Atin kalau orang itu ngamuk. Atin pikir, ia harus lebih berhati-hati menyikapi sesuatu.

"Oke." Alex raih tangan Atin ikut dengannya. Tubuh Atin bergetar, sesekali ia sempatkan lihat arah yang ia lihat tagih. Memastikan lagi.

"Tidak mungkin," lirih Atin. Lalu syukurnya Alex gak dengar. Kalau dengar, habislah Atin.

***

Mereka pun sampai di rumah. Baru masuk mobil, Atin merengek minta pulang ke rumah. Alex gak boleh masuk, hanya boleh mengantar sampai jalan masuk. Gak boleh juga keluar mobil.

Saat Alex hendak menolak, tahu-tahu Atin marah. Jadi Alex kicep. Mood Atin sangat tidak baik. Alex tak ingin keras kepala, nanti mereka berdebat. Iya kalau hanya berdebat terus terselesaikan tuh masalah baik-baik. Alex tak mau bertengkar dengan Atin.

Sudah cukup segala hal buruk terjadi antara mereka. Alex gak mau menambah deretan hal gila antara mereka lagi. Cukup sudah.

"Kau yakin tidak apa-apa?"

"Em, aku hanya perlu tidur, kau tak usah khawatir."

Walau bagaimanapun posisi Atin, ia tak pernah berpikir diperebutkan dua orang kaya seperti Alex dan Darkos. Atin tahu, ia tak permanen berada di posisi tersebut. Akan ada masa-masa sulit yang buat Atin mau-mau tak mau menyingkir.

Sampai kamar Atin pukul kepala kuat. Persis Alex lakukan terhadap dirinya saat sedang marah.

"Sialan. Holy shit."

"Lebih baik aku tidur." Atin tak berharap keesokkan harinya ia bernapas lega. Lelah menyerang membuat Atin berpikir tidur. Only it.

***

"Aaa!!!"

Pagi-pagi sekali Atin dikejutkan dengan dedemit seenak jidat tidur di sampingnya. Ingin pukul tapi gak tega, dedemit itu, siapa lagi kalau bukan Alex.

Bocah tanpa dosa, Alex nyengir seolah-olah menelusup ke kamar anak gadis tinggal sendirian bukanlah hal besar. Dasar, rasanya Atin ingin mencekik Alex. Biar gak bisa ganggu hidupnya dengan wajah tampan dan sisanya manis tersebut.

Alex tak seperti lelaki Asia pada umumnya, Alex punya kulit putih bersih, wajah tirus dan rambut hitam legam. Mata tajam seperti elang serta hidung mancung dan bibir mungil. Untuk standar kecantikan korea sekalipun, Alex masuk pretty. Habis kulitnya itu lho. Seputih susu.

"Mengagumi ketampananku ya?"

Alex menaik-turunkan alis. Senyum Alex terkadang terlihat tajam, lalu sewaktu-waktu manis. Kulit Atin saja kalah putih dari mlilik Alex.

Atin heran, Alex mandi kembang tujuh rupa sama susu kambing kali, sampai wajah dan kulitnya glowing.

"Nih anak pasti skincare-an," monolog Atin dalam hati.

"Kau lebih cantik kok. Tampan dan cantik, kita adalah perpaduan pas. Kalau punya anak, pasti mirip bidadari kalau perempuan. Anak laki-laki mirip dewa Yunani. Kan berasal dari bibit unggul," celoteh Alex.

Semakin ke sana, Atin sadar jikalau Alex narsis plus satu tambahan lagi, random.

"Aku bawa makanan beli di luar, makan yuk."

Atin melihat jam. Batu pukul 04.30. Atin bertanya-tanya, pukul berapa Alex menyelusup di rumah?

Terus pakai bilang sudah bawa makanan segala. Terdengar aneh.

"Ayo."

Dengan cepat Atin lepas pegangan tangan Alex. Atin belum cuci muka dan sikat gigi. Kebiasaan Atin setelah bangun tidur harus melakukan ritual itu—kalau belum mandi. Tidak seperti Alex. Agaknya orang itu gak malu, menelusup ke rumah Atin pakai baju kaos oblong dan celana pendek.

"Lewat jalan mana kamu masuk ke rumahku!?"

"Sssttt. Kau mau tetangga datang ke sini dan memergoki kita?"

Atin tak habis pikir, Alex pakai tetangga cegah dirinya ngamuk. Mengingatkan Atin ia pernah melakukan itu juga.

Tidak, Atin tertekan. Atin tak suka kewuwan berlebih. Atin butuh privasi. Selama ini Atin hidup sendiri, ia termasuk introvert yang butuh waktu dan ketenangan. Tidak seperti Alex, yang Atin pikir, Alex bukan introvert. Alex termasuk introvert semi ekstrovert. Saat sedang semangat, bisa melakukan hal mengerikan di mata Atin.

"Kau mau aku mati muda?"

Alex berbalik, Atin bilang mati muda?

"Gak boleh!" jawab Alex cepat. Alexis menyukai Atin, mana boleh Atin pergi?

"Kalau gak boleh, tolong kasih aku kerenggangan. Sikapmu begini, lama-kelamaan aku muak. Aku kesal. Muak."

Alex sampai mundur perlahan lihat Atin marah. Kebanyakan perempuan cerewet, hal itu pun berlaku ke Atin. Monster dalam tubuh Atin keluar. Maung tuh.

Alex cenggegesan sembari menatap Atin lurus.

"Hehehe, jangan marah dong. Aku kan rindu kamu, terus aku khawatir kamu kenapa-kanepa. Semalam wajah kamu pucat, terus kamu gak bolehin aku masuk. Sekarang bagiku dunia milik berdua sejak aku mengenalmu."

Cih, Atin jijik dengar Alex bicara sudah mirip roman picisan.

Atin rolling eyes. Sepersekian detik suara helaan napas kasar terdengar. Jujur Atin tak ingin marah, Alex sebabkan hal tersebut terjadi.

"Kau menyebalkan. Bilang lewat mana kamu masuk."

"Terus kamu mau tutup akses aku masuk, gitu?"

Malah Atin diserang balik. Mereka tak benar-benar wajar. Marahan terus.

"Iya, kau ganggu privasiku."

Atin and Alex saling berpandangan intens, mengisyaratkan kepentingan masing-masing.

*****