webnovel

Talak

Aku sampai lebih lambat dari waktu yang diperkirakan karena kepadatan lalu lintas. Sebisa mungkin menata hati sebelum sampai ke rumah mertua karena tahu Mas Dion akan memarahi habis-habisan. Firasat akan hal itu seolah diindahkan Allah. Begitu sampai di pintu pagar, aku mendapati motor Mas Dion yang sudah bertengger di garasi. Sudah pasti. Fix. Aku akan dimarahi.

"Ayah mau mampir dulu?" Sengaja menawarkan, berharap sedikitnya Ayah tertarik untuk masuk rumah. Mungkin jika Ayah mampir, mereka yang sudah stand by menunggu tidak akan meluapkan kekesalannya sekaligus.

"Ayah langsung saja, ya?" tolak beliau setelah meneliti kondisi rumah yang pintu utamanya tertutup rapat.

"Ah, ya, udah." Penuh rasa sedih, tetapi aku berusaha menampilkan senyum baik-baik saja. "Hati-hati di jalan, ya, Yah. Makasih udah antar aku pulang."

Suara pintu pagar yang terbuka pun terdengar begitu motor yang mengantarku tidak terlihat lagi dalam pandangan. Ayah sudah pergi. Pembelaku sudah tiada dan ini saatnya kembali ke dunia nyata. Dunia di mana hidup, batin, dan mentalku dipertaruhkan besar-besaran.

Ancaman akan pintu yang dikunci dari dalam nyatanya tidak ada. Aku masih bisa membuka pintu utama, mengucap salam sambil memasuki ruangan depan. Kondisi sejauh kaki melangkah terpantau aman. Masih merasa ringan beban, aku membuka pintu kamar dan mendapati Mas Dion berada di sana. Dia sudah menunggu, duduk tegak di tepian kasur sambil memberiku sorot tatapan tak suka. Aku yang tidak asing dengan perilakunya hanya bisa menghela napas, lalu mengembuskannya secara perlahan.

"Santai, harus santai. Ini bukan pertama kalinya dia meluapkan amarah karena kunjunganku ke rumah orang tua. Sudah biasa begini, kan? Jadi, tenang saja," batinku menenangkan meskipun ingin menjerit dan tidak berkesudahan.

Selepas menggantungkan tas di belakang pintu, aku menderapkan langkah mendekatinya. Mencoba mengulurkan sebelah tangan karena ingin memberi salam penuh penghormatan.

"Mulai gak nurut sama suami." Amarah pertama yang dia tujukan. Niatku memberi salam padanya pun ditolak mentah-mentah karena tanganku sudah ditepis olehnya.

"Jalanan macet, Mas." Semoga alasan itu bisa diterimanya dengan baik.

"Sudah tahu macet, kenapa gak cari jalan alternatif? Banyak, kok, cara supaya kamu gak terlambat datang. Pulang sejam lebih awal, misalnya."

Susah, memang susah menjelaskan perkara kecil kepada suami berhati pelik.

"Aku, kan, udah kasih kamu aturan. Pulang lebih awal dari aku. Memangnya itu susah? Lagian kamu main ke sana gak bawa izinku terlebih dulu. Va, kalau kamu membangkang terus mending jangan pulang lagi ke sini."

Bagai tersambar petir, kedua tanganku bergetar. Penuturan akhir barusan, menjadi kali pertama telingaku menangkap dan mendengarnya. Tentu saja terkejut. Terasa menyesakkan dan tidak menyangka saja. Bukankah ucapan tadi sama saja dengan talak pertama?

"Va? Kamu dengar aku gak, sih?"

"Mas, kamu bilang itu dengan penuh kesadaran, kan?" Sekadar ingin memastikan.

"Iya, aku sadar. Sudah berpikir juga sambil nunggu kamu datang."

"Artinya, kamu sadar juga kalau ucapan terakhir masuk ke talak pertama?"

Hening. Matanya mengerjap, tetapi kemudian terbelalak hebat. Dia lebih terkejutnya dariku. Baik. Aku memahami kalau ucapan tadi spontanitas.

"Mas, aku pegang, ya, omongan tadi. Aku anggap kamu sah kasih aku talak pertama."

"Kenapa kamu seberani itu anggap sah?" Tanganku ditahannya keras. Aku yang hendak melangkah pun jadi terdiam di tempat lagi.

"Aku berani karena agamaku berbicara demikian," tandasku yang segera melepaskan genggaman tangannya.

Aku bermaksud meninggalkan, mengambil sedikit jarak dan bersembunyi di kamar mandi untuk sementara waktu. Ponsel yang tidak ikut disimpan bersama tas, aku keluarkan dari saku celana. Setelah menyalakan keran air, jemariku mengusap pelan layar canggih benda datar itu. Tujuanku membuka ponsel di sini hanya untuk mencari artikel terkait tentang talak. Takut salah tangkap. Takut yang tadi tidak termasuk dalam perceraian pertama.

Satu, dua, hingga tiga artikel menunjukkan kebenaran atas ucapanku. Benaran masuk dalam talak satu meskipun niatnya hanya menyindir. Sementara waktu napasku tertahan. Suara air yang mengalir nyatanya tidak bisa menjernihkan pemikiranku. Kenapa waktunya terasa pas? Tadi siang aku mencari daftar hal yang harus digunakan untuk menggugat cerai suami dan sekarang talak satu meluncur dengan mudah.

Puas berdiam lama di kamar mandi, aku pun bergegas keluar dengan genggaman ponsel di tangan. Kini, sudah ada kedua orang tua Mas Dion di ruang televisi. Mereka seperti pulang dari luar, terlihat dari pakaiannya saja yang rapi.

"Kamu habis dari wc?" Pertanyaan dari orang yang paling ingin aku hindari malah terdengar nyaring.

Terpaksa demi menunjukkan konsep menantu sopan, aku menepikan langkah untuk menjawab pertanyaannya. "Iya, Ma."

"Pantesan lama, bawa-bawa HP segala," keluhnya yang beranjak dari tempat duduk dan berlalu ke kamar mandi.

"Lain kali jangan bikin antre! Main HP, kok, di kamar mandi. Kayak yang gak punya tempat lain, aja."

Ya, memang tidak hanya mertua wanita yang cerewet di sini. Baik pria atau wanita, keduanya sama saja. Tidak ingin terpancing luka lebih jauh, aku melanjutkan langkah pergi ke kamar tidur yang pintunya masih tertutup.

Mas Dion masih diposisi yang sama. Kedua tangan memegang kendali atas ponsel yang menyala. Entah apa yang dia lihat hingga rautnya serius begitu.

"Benar, ya. Masuk dalam talak," ucapnya yang hampir tidak tertangkap pendengaran.

Aku membalikkan badan, menyaksikan dia yang termenung lama.

"Mas, gak ada niat ke sana, padahal."

Hm, ada atau tidaknya niat, aku akan tetap mengucap rasa syukur. Bersyukur karena ditalak, bersyukur juga karena tidak ditalak.

"Berarti sudah harus pisah ranjang, ya," gumamku yang pastinya terdengar ringan.

"Kok, kamu bilang begitu? Senang pisah ranjang sama aku?"

"Ketentuannya begitu, Mas." Kenapa dia berpikiran jelek terus tentangku?

"Talak satu, Sayang. Kita bisa rujuk. Mudah, kok, caranya. Sini, biar mas cium dan kasih kamu kehangatan. Kita gak perlu pisah ranjang."

Anehnya, aku menginginkan perpisahan ini. Tak sanggup mengatakan kalimat menyakitkan, aku berakhir mengambil langkah mundur.

"Apa artinya? Kenapa kamu mundur?" tanyanya.

"Aku ... gak mau cara rujuknya begitu," jawabku sambil menunduk.

"Eva. Kenapa jadi sulit hati, sih? Aku ngomong kayak tadi karena kamu yang bikin ulah duluan. Kamu gak patuh sama aku. Wajar, kan, kalau aku marah? Anggap, aja, tadi keceplosan. Mas gak punya niatan buat ajak kamu cerai. Ini gak disengaja, Eva," cerocosnya.

"Tahu, Mas," kataku. "Aku tahu Mas gak ada niat begitu, tapi mohon maaf kita harus pisah kamar malam ini dan malam selanjutnya. Kita harus jalani ketentuan yang tercantum dalam agama."

"Terus kapan kita bisa sekamar lagi? Kapan kita bisa rujuk lagi?" tanyanya dengan tangan disimpan di pinggang.

"Kasih aku waktu buat berpikir---"

"Berpikir apa? Kamu masih cinta sama aku, kan? Ya, udah rujuk. Simpel, Sayang. Kamu kenapa, sih? Kok, aneh banget. Hal yang bisa diproses cepat malah kamu bikin rumit."

Aku tersenyum. Dia yang seenak jidat dalam bicara semakin membuatku menarik satu kesimpulan yang mantap. "Aku butuh waktu buat sendiri. Besok malam kita omongin ikrar rujuk di depan mama dan bapak."

"Kenapa harus bawa-bawa mereka?"

"Butuh saksi, Mas. Coba kamu baca-baca lagi, deh. Buat rujuk itu gak sembarangan. Asal grasak-grusuk kumpul kebo. Enggak begitu. Tetap harus ada saksi."

"OKE!" Dia mendengkuskan napas. "Aku tidur di kamar Iriana malam ini. Aku kasih kamu waktu buat berpikir. Ingat, besok malam setelah aku pulang, kamu harus kasih keputusan di depan mama dan bapak."

***