webnovel

Disebut Gila

"Sudah hamil sulit, melahirkan sulit, ditambah anak penyakitan sampai meninggal."

"Dosa ibunya kebanyakan itu."

"Makanya kamu perbanyak ibadah, jadi anak gak ikutan kena karma."

.

.

Ucapan-ucapan keji itu tiada henti aku terima. Baik dari mertua wanita ataupun mertua pria. Mereka ikut andil dalam membunuh mentalku setelah kehilangan Irina—anak semata wayang sekaligus cucu pertama di dua belah keluarga.

Dion memang tidak ikut menyalahkan. Dia selalu meyakini bahwa kepergian seseorang sudah tertulis permanen dalam garis tangannya masing-masing. Sekuat apa pun berjuang mempertahankan, jika Tuhan inginnya Irina pergi, maka kami tidak bisa melakukan apa pun lagi.

Sejauh aku bersamanya, Dion merupakan sosok suami yang baik. Dia selalu ada saat dibutuhkan, menerima baik-buruknya perangai, hingga tidak pernah menuntut hak apa pun dariku. Aku selalu menjadi prioritas utama. Setidaknya, itu yang paling kental aku rasakan.

Namun disamping itu, ada satu kelemahan yang mampu menumpas tuntas segala kebaikan yang Dion berikan, yakni mode diam dan sunyi di setiap kesempatan. Ya, dia selalu diam. Baik saat aku dihujat orang tuanya, maupun saat aku menerima makian dari sanak saudaranya. Dia juga berujung diam. Jika aku mengungkapkan keluh kesah yang berkaitan dengan keluarganya. Tidak ada pembelaan, sama sekali tidak pernah ada.

Aku diminta untuk tidak berperilaku sama dengan mereka. Tak berhenti diminta bersabar di atas semua kata dan perlakuan kasar yang aku terima. Hal itu bukan hanya sekali, dua kali ia lakukan. Sekarang pun setelah aku bercerita tentang kesulitan bernapas di hari ini, respons Pak Suami selalu sama saja.

"Kamu, kan, tahu watak mereka begitu. Kenapa gak dimaklumi saja?"

"Maklumi apa, Mas?" tanyaku dengan bibir bergetar. Ingin menangis, tetapi tak bisa. Air mataku terlanjur kering karena terlalu merasakan kekecewaan dan kehilangan yang hebat.

"Ya, maklumi saja kalau mama dan bapak bicara begitu. Namanya juga nenek yang kehilangan cucu. Pasti hatinya terluka sampai butuh pelampiasan." Dia kembali fokus menatap ponsel, mengabaikan sorot tatapku yang memelas sebuah pembelaan.

Aku tersenyum pahit. Berujung meremas pinggiran kasur sambil tak berhenti menghela dan menahan napas kuat-kuat. Tidak, tidak boleh. Untuk hari ini saja, aku tidak boleh menangis. Semua akan terasa percuma. Dia tidak akan membela. Aku hanya akan berujung berjuang sendiri lagi.

Cardigan yang menutupi lingerie malam ini, aku kenakan lagi. Waktu berpikirku sudah harus diakhiri. Sudah saatnya aku merebahkan diri supaya esok memiliki tenaga untuk berhadapan dengan cacian lagi.

"Kamu mau apa?"

Pertanyaan itu terdengar saat tubuhku merangkak ke tengah ranjang. Aku pun menjawab tanpa menolehkan kepala ke arahnya. "Mau tidur."

"Gak akan piket dulu?"

"Piket apa?" tanyaku pura-pura tak paham setelah sukses memposisikan diri terlentang.

"Piket suami istri," jawab Mas Dion yang kini sudah menyimpan ponsel di nakas, lalu bergabung ke ranjang yang sama.

"Bukannya kemarin udah?"

Kemarin dia yang meminta, sekarang dia juga. Apa tidak bosan?

Dia terkekeh-kekeh. "Memang udah, tapi kayaknya mas mau lagi."

Aku terdiam, hanya memandang wajah polosnya yang tengah nyengir kuda. Dia tidak pernah sekalipun terlihat sengsara. Ketika Iriana dinyatakan meninggal saja, sorot matanya terlampau santai hingga tidak sedikitpun menunjukkan minat dan kepedulian.

Tangannya tiba-tiba terulur. Belaian lembut kembali dia lancarkan demi terciptanya hasrat dari seluruh sel saraf di tubuhku. Namun sayangnya, untuk malam ini pancingan itu tidak akan berhasil. Aku akan menutup diri, setidaknya sampai dia sadar kalau dia membutuhkan istri.

"Kamu bisa lepas KB, Sayang. Kita bisa buat Iriana kecil yang lain."

Aku mendengkuskan napas. Mudah sekali dia bicara begitu. Jangankan membuat Iriana kedua, memikirkan hidup ke depannya tanpa Iriana saja aku tidak bisa. Ini baru hari ke-8, tanah makamnya saja masih terlihat kemerahan. Bisa-bisanya seorang ayah berbicara demikian.

"Mas ...," panggilku berusaha melancarkan aksi penolakan piket malam.

"Hm?" Dia mendekatkan kepalanya. Mulai mengendus di sekitar area telingaku.

"Jujur sama aku." Sengaja, aku menjauhkan kepala dari hidung dan wajahnya. "Kamu gak pernah peduli sama kematian anak kita 'kan?"

Mas Dion menghela napas panjang. Perlahan dia menjauhkan wajah dengan sendirinya. Sorot mata malas kembali terlihat. Dia memandang penuh kekosongan ke arah langit-langit kamar.

"Peduli menurut kamu itu kayak gimana, ya?"

"Hah?" Aku malah dibuat bingung.

"Apa aku harus ikut-ikutan kamu? Nangis tiga kali sehari, datangi makam anak tiap pagi sampai kadang gak mau keluar rumah dan bersosialisasi—"

"Maksud aku bukan begitu," sanggahku tak terima jika aktivitas berduka dijadikan sebuah candaan. Aku mulai bangkit, memposisikan diri duduk menghadap Mas Dion.

"Terus maksud kamu gimana? Kalau aku harus terpuruk kayak begitu, aku gak bisa. Kamu tahu kalau aku harus kerja. Aku harus cari uang buat hidup kita. Kalau aku ikut mengurung diri di kamar, nanti kamu mau makan apa?"

Mataku terpejam menahan hawa panas yang kembali menyeruak. Mas Dion ikutan duduk dengan posisi yang sama. "Aku bukan gak sakit hati anak meninggal, Va. Aku cuma gak bisa menunjukkannya. Setidaknya, harus ada satu dari kita yang bertahan buat hidup kedepannya."

Sekakmat. Aku kalah kalau berhubungan dengan logika. Tak mau memperpanjang masalah, aku memilih lari dari ranjang yang sama.

"Mau ke mana?" tanya Mas Dion setelah melihatku memasang sandal rumahan.

"Kamar mandi."

Tak terdengar apa pun lagi. Hanya suara derap kaki yang menyertai diri keluar kamar, melewati kamar mertua, hingga akhirnya menepi di depan pintu kamar mandi yang tertutup. Suara air yang tertumpah ruah pun terdengar. Sudah bisa dipastikan kalau kamar mandi yang tertutup ini diisi orang lain.

Kira-kira siapa yang berada di dalam? Papa mertua atau ibu mertua? Kenapa tidak ada pilihan baik di antara keduanya? Kenapa tidak ada ruang yang bisa aku jadikan sebagai tempat melarikan diri di rumah sebesar ini? Sudah sangatlah jelas kalau di kamar pribadi ada Mas Dion, di luar kamar pun ada Mama Winda dan Bapak Santosa.

Pintu terbuka, menampakkan sosok Mama Winda. Aku mundur beberapa langkah tanpa mau menatap ke wajahnya. Sengaja memberikan jarak seluas mungkin supaya beliau tidak terganggu saat melewatiku. Tidak ada satu patah pun kata yang terlontar begitu beliau lewat. Kami sama-sama diam karena merasa tidak ada lagi hal yang patut dibicarakan.

Namun, begitu tubuhku menyentuh ambang pintu, suara Mama Winda terdengar hingga memancingku untuk terdiam di tempat.

"Kamu nanti kerja lagi 'kan?"

"Iya, nanti Eva kerja lagi."

Lebih baik aku kerja lembur bagai kuda daripada harus dua puluh empat jam nonstop bertemu dirimu dan suamimu.

"Ya, bagusnya begitu. Kasihan Dion kalau gak ada bantuan."

Aku mengangguk, malas kalau harus beradu mulut.

"Oh, iya satu lagi. Besok jangan ke makam Iriana."

Kepalaku langsung terangkat. "Memangnya kenapa, Ma?"

"Mama malu lihat kamu bolak-balik terus makam Iriana. Tetangga sampai bilang, kamu kayak orang gila."

***