"Bagaimana dokter, keadaan suami saya?" tanya Hanin pada dokter Husin yang terpaksa di jemput oleh Rahmat karena Hasta tetap bersikeras tidak mau di bawa ke rumah sakit.
"Keadaannya mengalami kemunduran yang sangat drastis, beberapa Minggu yang lalu saat pak Hasta ke kota dia sudah menjalankan terapi dengan sangat rutin, dan sekarang terjadi pelebaran pada kantung paru-paru yang berlubang. Hal ini tidak cukup baik. Pak Hasta sebaiknya dengan cepat menjalani transplantasi paru-paru." ucap Dokter Husin menjelaskan semuanya tentang keadaan Hasta.
"Terimakasih pak dokter, karena sudah bersedia untuk datang kemari memeriksa suami saya." ucap Hanin dengan pandangan mata mengarah pada Hasta yang sedang menatapnya tidak berkedip.
"Sama-sama, pak Hasta adalah sahabat saya jadi saya bersedia untuk kemari walau perjalanan cukup jauh, bukan begitu pak Hasta? ucap Dokter Husin kemudian tersenyum pada Hasta.
"Ya sudah, karena batuk pak Hasta sudah berhenti, saya mau permisi pulang." ucap dokter Husin menyalami Hanin kemudian menyalami Hasta yang hanya diam saja karena sangat terkejut dengan apa yang di ucapkan Hanin di hadapan Husin kalau dirinya adalah suaminya.
"Terimakasih ya dokter." ucap Hanin setelah mengantar Husin sampai depan rumah karena membawa mobil sendiri.
Setelah mengantar dokter Husin pulang, Hanin berniat ke dapur untuk menyiapkan air hangat untuk merawat badan Hasta yang ada banyak darah kering.
Sebelum sampai di depan pintu, sayup-sayup Hanin mendengar percakapan antara Rahmat dan Minah yang membicarakan Hasta.
"Aku tidak tega mbok melihat den Hasta yang tersiksa dengan penyakitnya, belum lagi dengan perasaannya yang selalu tersakiti dengan Non Hanin yang tidak pernah mengerti kalau den Hasta sangat mencintainya." ucap Rahmat yang membuat langkah kaki Hanin berhenti di balik pintu.
"Aku juga ikut prihatin pak Rahmat, kenapa den Hasta tidak jujur saja pada Non Hanin kalau pak Usman sudah membuat surat wasiat pada Non Hanin untuk menikah dengan den Hasta. Dan karena kesalahan pak Usmanlah isteri den Hasta meninggal." ucap Minah dengan suaranya yang memang besar.
Tubuh Hanin bergetar, keringat dingin mulai membasahi tubuhnya.
"Bayangkan mbok Minah selama tiga tahun den Hasta memendam rasa cinta dan rasa sakit hatinya karena sering mendengar Non Hanin mesra-mesraan dengan den Rafka, karena sudah tidak bisa menahan rasa sakit hatinya den Hasta sampai berniat pergi dari kehidupan Non Hanin, tapi aku bersyukur Non Hanin bisa membawa den Hasta pulang kembali." ucap Rahmat dengan suara bergetar.
"Aku tidak bisa membayangkan bagaimana den Hasta bisa menjalani semua ini sendirian selama tiga tahun ini pak Rahmat, pasti sangatlah berat hidup bersama tapi tanpa ada pernikahan yang sah dan tanpa ada cinta dari Non Hanin." ucap Minah sambil menangis.
Mendengar percakapan itu semua hati Hanin terasa teriris-iris. Tanpa menimbulkan suara Hanin berbalik dan berlari ke kamar Hasta.
Di lihatnya Hasta sedang berusaha meraih gelas untuk meminum obatnya.
Hanin berjalan pelan dengan kedua matanya yang berkaca-kaca, perasaan bersalah terasa meremas-remas hatinya.
Dengan tangan gemetar Hanin mengambil gelas itu dan memberikannya pada Hasta.
Entah kenapa, saat mengetahui Hasta mencintai dirinya tidak ada rasa kemarahan sedikitpun hatinya. Malah ada sesuatu yang lain dalam dirinya, ada getar-getar indah yang tumbuh dalam hatinya.
"Hanin kamu melamun?" tanya Hasta setelah minum obatnya, melihat Hanin yang tidak bergerak dari duduknya.
Seketika Hanin tersadar dari lamunannya, dan menatap wajah Hasta yang terlihat tampan dan sangat teduh.
"Apa pak Hasta sudah minum obat?" tanya Hanin dengan bibirnya yang tiba-tiba terasa keluh untuk bicara.
"Sudah barusan Nin." jawab Hasta berniat bangun untuk melepas pakaiannya yang terkena darah muntahannya.
"Biar aku bantu pak." ucap Hanin sambil melepas kancing kemeja Hasta.
"Hanin, aku bisa melakukannya sendiri." ucap Hasta yang tidak ingin terlarut dengan perasaannya.
"Biar aku saja pak, dan tolong jangan menolak lagi." ucap Hanin menatap wajah Hasta yang sedang menatapnya.
"Hanin, kenapa kamu belum mengerti juga? kamu bukanlah..." Hasta tidak meneruskan ucapannya saat Hanin menyela ucapannya.
"Karena aku bukanlah istri pak Hasta, begitu kan pak?" tanya Hanin dengan perasaan hati yang sakit, ingin sekali Hanin menenggelamkan tangisnya dalam pelukan Hasta yang selalu membuatnya tenang.
"Ya Nin, hubungan kita tidak ada pernikahan. Hal ini tidak akan baik untukmu. Sekarang kamu sudah dewasa, sudah waktunya untuk menata hidup kamu dengan laki-laki yang kamu cintai. Aku akan segera membuatkan surat cerai untukmu dan kita akan berpisah. Aku akan tinggal di kota dan kamu bisa tinggal di sini." ucap Hasta dengan keputusannya yang sudah di pikirkannya dengan sangat matang walaupun itu akan membunuhnya secara perlahan-lahan.
Hanin terdiam, mengapa hatinya begitu sangat sakit mendengar semua ucapan Hasta. Kenapa hatinya tidak rela jika dia harus berpisah dengan Hasta walaupun sebenarnya tidak ada pernikahan antara dia dan Hasta.
"Hanin, kamu mendengar dan mengerti dengan semua yang aku katakan bukan?" tanya Hasta dengan perasaan gelisah karena Hanin sama sekali tidak ada ekspresi dengan semua ucapannya.
"Aku akan ke belakang sebentar pak, aku akan membawa air hangat untuk merawat tubuh pak Hasta yang terkena darah." ucap Hanin melanjutkan melepas pakaian Hasta tanpa menjawab pertanyaan Hasta.
"Hanin." panggil Hasta dengan tatapan matanya yang berkabut.
"Sebentar ya pak." ucap Hanin tanpa perduli dengan tatapan Hasta yang menunggu jawabannya kemudian keluar dari kamar Hasta dan berjalan ke dapur yang sudah tidak ada Minah dan Rahmat.
Di dapur, setelah menuang air ke dalam panci. Hanin terduduk lemas, menangis terisak-isak melepas semua beban di hatinya. Sungguh dadanya terasa sesak dengan keadaan Hasta dan rasa cintanya Hasta.
"Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang? aku sendiri tidak tahu lagi dengan apa yang aku rasakan. Pada siapa perasaanku ini sebenarnya,Ya Tuhan tolonglah beri petunjuk padaku agar aku tidak menyesal di kemudian hari?" ucap Hanin dalam hati sambil menangis sedih.
Setelah mengeluarkan semua beban hatinya dengan menangis, Hanin mengambil air yang sudah mendidih dan di campur dengan air dingin ke dalam baskom.
Sambil membawa air hangat yang sudah siap, Hanin kembali ke kamar Hasta. Dan di lihatnya Hasta sedang menata pakaiannya ke dalam koper.
"Pak Hasta? apa yang pak Hasta lakukan?" tanya Hanin meletakkan baskomnya di atas meja, dan mendekati Hasta.
"Aku akan pergi Nin, dan jangan lagi menahanku untuk tinggal. Kamu sudah dewasa sekarang dan kamu sudah bisa menjaga dirimu sendiri. Aku akan segera mengirim surat bukti perceraian kita agar kamu bebas melakukan hal apapun." ucap Hasta sambil memasukkan pakaiannya ke dalam koper tanpa melihat ke wajah Hanin.
"Pak Hasta tidak akan pergi ke mana-mana." ucap Hanin dengan suara bergetar menahan isak tangisnya.