webnovel

Bukan Salah Rasa

Kisah anak-anak remaja yang beranjak dewasa, dimana masing-masing dari mereka memiliki masalah hidupnya masing-masing. Refan, Reisya, Ruri, Simon, Miko, Zahra, Nando, Nindy, Lucy, dan Gavin. Mereka semua memiliki kisah hidupnya masing-masing, dimana ego dan perasaan menjadi landasan dari sebuah perubahan besar dalam hidup mereka. Di saat hati sudah menguasai, apakah logika bisa melawannya? Baik sadar atau tidak, nyatanya perasaan lah yang selalu menang atas perdebatannya dengan ego. Anak muda adalah awal dari kisah mereka, setelah beranjak dewasa barulah mereka mengerti arti perasaan yang sebenarnya. Lalu jika masalah terjadi di antara kehidupan mereka, apakah rasa itu ikut bersalah? Hati seseorang tidak bisa di tentukan oleh kehendak orang lain, karna kekuasaan sepenuhnya ada pada si pemilik hati sendiri. Apakah ia menerima perasaan itu, atau malah membuang. ( Mengandung beberapa part 21+)

SA_20 · Masa Muda
Peringkat tidak cukup
280 Chs

Kerapuhan Hati

Setelah makan siang, Reisya melangkah kembali ke kamarnya. Tapi ia tidak diam di kamar, melainkan di balkon yang memperlihatkan luasnya mansion itu. Reisya bersandar pada pembatas balkon sambil memeluk lututnya, entah kenapa perasaannya jadi memburuk.

Di sisi lain Refan baru saja melewati kamar Reisya, tapi ia sama sekali tidak merasakan keberadaan Reisya di kamar itu. Karna penasaran, akhirnya Refan masuk ke dalam kamar Reisya. Ternyata benar, Reisya tidak ada di sana.

"Dimana tuh cewek bar-bar?" Gumam Refan dengan heran.

Seketika Refan melihat ke arah pintu balkon yang terbuka, lalu ia melangkah ke sana dan menemukan Reisya sedang memeluk lututnya sambil menunduk. Melihat hal itu, Refan langsung menghampiri Reisya.

"Hei, ada apa? Kenapa lo di sini?" Tanya Refan pada Reisya.

Reisya mengangkat wajahnya, lalu ia melihat Refan menunjukan raut khawatirnya.

"Gw gak apa-apa, cuma kangen ibu aja." Jawab Reisya seadanya.

Mendengar hal itu, Refan tidak tau harus berbuat apa. Seringkali Reisya seperti ini, merasa terpuruk dan kembali mengingat ibunya. Pasti ada satu pemicu, yang membuat Reisya kembali bersikap seperti ini.

"Kenapa lo begini lagi sih? Padahal ada mamah, ada papah, ada gw, ada kak Miko, tapi kenapa lo malah bergantung pada yang sudah tiada?" Tukas Refan emosi.

Reisya menatap Refan dengan tajam, ia tidak bergantung pada siapapun. Ia hanya mengingat, dan baginya itu bukan hal yang salah.

"Gw gak bergantung sama siapapun, gw hanya keinget sama ibu gw. Apanya yang salah?" Tanya Reisya merasa heran dengan perkataan Refan.

"Menurut lo hanya keinget, tapi nyatanya lo yang terus mengingatnya. Sya, sadar! Ibu lo itu sudah tiada, jangan ganggu dia dengan sikap lo yang kayak gini? Kalau memang lo sayang, harusnya lo ikhlasin kepergian ibu lo itu. Kalau lo begini terus, yang ada dia tersiksa dan tidak tenang." Tekan Refan dengan serius.

Reisya pun terdiam, hatinya semakin sakit mendengar perkataan Refan. Seakan-akan ia kembali di tampar kenyataan, jika sang ibu tercinta sudah tiada. Reisya pun menangis, ia tidak tahan dengan kenyataan itu. Mungkin Refan benar, seharusnya ia mengikhlaskan kepergian sang ibu agar semuanya bisa tenang. Bukan hanya ibunya, tapi juga dirinya sendiri.

Tapi tidak semudah yang di pikirkan, karna nyatanya hati Reisya belum sepenuhnya bisa menerima takdir menyakitkan itu. Namun, tidak ada salahnya untuk mencoba. Jika Reisya bisa menerima kenyataan itu, mungkin hatinya tidak akan terbebani rasa sakit lagi.

Refan yang melihat Reisya begitu rapuh ikut merasa sakit, lalu ia menarik Reisya kedalam pelukannya. Lalu ia membelai rambut Reisya untuk menguatkan wanita itu, Refan tidak bisa mendesak Reisya lebih jauh. Jadi ia membiarkan Reisya menentukan jalannya sendiri, paling tidak Refan hanya mengarahkan atau menasehati saja.

"Tenang aja, lo gak sendiri kok. Gw akan selalu ada untuk lo, jadi jangan simpan semuanya sendiri." Gumam Refan mengingatkan.

Mendengar perkataan Refan, tangis Reisya malah semakin menjadi. Rasanya ia jadi begitu lemah karna tidak bisa menyimpan semuanya sendiri, padahal itu masalahnya tapi justru orang lain yang lebih tau dibanding dirinya. Refan masih setia membelai punggung Reisya, sampai akhirnya wanita itu puas menangis.

Setelah 30 menit, barulah Reisya berhenti menangis. Itupun tidak berhenti sepenuhnya, karna kini Reisya masih sesegukan kecil sisa dari tangisnya tadi.

"Udah baikan?" Tanya Refan pada Reisya.

Reisya mengangguk pelan, ia memang merasa lebih lega dari sebelumnya. Rasa sesak yang tadi memenuhi hatinya hilang, beban yang begitu besar dalam hidupnya juga berkurang. Apakah semua ini pertanda, jika ia memang harus mengikhlaskan kepergian sang ibu?

Memang tidak akan mudah untuk melakukannya, tapi tidak ada salahnya mencoba. Dan Reisya mulai meyakinkan hatinya untuk mengikhlaskan sang ibu, walaupun di bagian lain hatinya begitu sakit.

"Ya udah, sekarang istirahat. Jangan sedih-sedih lagi, gak enak di liatnya." Titah Refan.

"Kalau gak enak jangan di lihat." Balas Reisya dengan suara seraknya.

"Maunya ngeliat, gimana dong?" Jawab Refan dengan seringainya.

"Refan ah, gw lagi sedih. Kenapa malah di ajak debat sih?" Keluh Reisya dengan rengekannya.

"Justru karna lo lagi sedih, makanya gw hibur." Balas Refan santai.

"Mana ada orang ngehibur di ajak debat, dasar aneh." Tukas Reisya.

"Biarin aneh, yang penting lo gak sedih lagi kan?" Balas Refan dengan senyum tipis.

Reisya terdiam, ia sendiri lupa jika tadi ia sedang menangis hebat. Dan kini, ia malah sibuk berdebat dengan pria itu. Kapan ia mulai menanggapi hiburan seperti itu?

Diam-diam Refan tersenyum geli melihat ekspresi bingung Reisya, sepertinya wanita itu baru sadar jika ia sejak tadi mengajaknya berdebat. Walaupun ia tidak mengakuinya, tapi nyatanya mereka memang berdebat.

"Ada apa? Kenapa malah diem?" Tanya Refan memancing.

Reisya langsung menatap Refan dengan malas, sedangkan Refan malah tersenyum puas.

"Tau ah, gw capek mau tidur." Elak Reisya dengan ketus sambil melangkah meninggalkan Refan.

Mendengar hal itu sudah di pastikan jika Refan yang memenangkan debat itu, lalu Refan melangkah mengikuti Reisya. Seketika Reisya jadi panik, ia pun menatap Refan dengan tatapan menuduhnya.

"Heh, mau ngapain lo?" Tuduh Reisya dengan curiga.

Refan menaikan alisnya heran, padahal ia hanya ingin keluar. Kenapa Reisya malah berteriak seperti itu?

"Apa sih, gw mau keluar." Jawab Refan dengan malas.

"Keluar ya keluar aja, ngapain malah masuk ke kamar gw?" Tanya Reisya dengan tajam.

Refan menatap Reisya dengan bingung, masa iya Reisya jadi bego mendadak karna stress? Tapi sepertinya itu tidak mungkin, lalu akhirnya Refan mengerti apa yang sedang di pikirkan oleh wanita itu hingga ia panik melihat Refan berjalan di sana.

"Gw mau keluar Reisya, lo gak mungkin lupa kan? Kalau pintunya ada di sini." Jawab Refan sambil menunjuk pintu yang ada di depan mereka.

Seketika wajah Reisya pun jadi merona karna malu, tapi sesaat kemudian ia tetap menunjukkan wajah tidak mau kalahnya.

"Oh, ya sudah." Balas Reisya dengan ketus.

"Makanya, otak tuh di bersihin tiap hari. Ngeres mulu pikirannya, dasar jomblo." Ejek Refan pada Reisya, lalu ia melangkah keluar sebelum wanita itu mengamuk.

Sedangkan Reisya terdiam saat Refan mengatakan hal itu, rasa malunya bertambah dua kali lipat dari sebelumnya. Beruntung Refan langsung keluar, kalau tidak entah bagaimana ia berhadapan dengan pria itu.

"Aakkhhhh, kok bisa-bisanya si gw berpikiran seperti itu? Jadi di ejek kan sama Refan, duh Reisya kok lo mesum banget si. Bisa-bisa lo lupa kalau pintu keluar kamar lo ini ya di sini, aduh malu banget deh gw." Keluh Reisya pada dirinya sendiri sambil memukul pelan kepalanya.