webnovel

Bukan Istri Tapi Estri

Karena impian bodoh Endra, dia harus terjebak dengan perempuan sadis yang bernama Sarah dengan menjadi seorang suami. Sialnya, perempuan sadis yang awalnya Endra anggap seperti malaikat justru berubah menjadi iblis yang meneror hari-hari indahnya menjadi semakin suram. Bagaimana Endra akan menghadapi Sarah? Dan mampukah Endra melepaskan diri dari cengkeraman kesadisan Sarah yang selalu berperan sebagai istri yang baik di depan ibunya sendiri?

AdDinaKhalim · perkotaan
Peringkat tidak cukup
247 Chs

#011: Nasi Sudah Menjadi Bubur

Endra masih tidak bisa berpikir jernih. Dia hanya merasa sudah dibohongi sedemikian rupa oleh wanita yang dia anggap sebagai idaman hatinya. Jadi saat Sarah mulai memegang ponsel dan menghubungi seseorang, Endra masih belum berkutik.

"Hallo, Bu, ini Sarah," Sarah sengaja me-load speaker suara ponselnya agar Endra bisa mendengarnya.

"Eh, iya Nak Sarah. Ibu seneng banget kamu nelpon lagi. Semalem pembicaraan kita belum selesai kan?" Endra dibuat kaget, dia benar-benar tidak menduga kalau antara ibunya dan Sarah sudah saling berkomunikasi sejak semalam.

"Oya, Nak Sarah, Ibu udah umumin ke semua orang di kampung sini loh soal anak Ibu yang pacaran sama Nak Sarah yang kayak bidadari ini. Nggak apa-apa kan?"

"Iya, Bu, nggak apa-apa," Sarah selalu konsisten bernada lembut saat berbicara dengan ibunya Endra. "Tapi ... Sarah ada kabar yang kurang enak didenger nih, Bu, mengenai Endra."

"Endra? Kenapa lagi sama dia? Dia bikin Nak Sarah repot atau gimana? Kalau emang bener, Nak Sarah tenang aja, Ibu bakal kasih pelajaran ke Endra biar nggak bikin Nak Sarah repot lagi. Sebentar, Ibu mau telepon dia dulu yah."

Sarah belum menjawab, tapi ibu Endra sudah lebih dulu memutus sambungan. Tak berapa lama, ponsel Endra yang berbunyi. Sebelum mengangkatnya, Endra menatap Sarah dengan pandangan pasrah.

"Iya, Bu?" Nada suara Endra terdengar lemah.

"Kamu kalau mau dicoret dari KK, ngomong sini sama Ibu. Ngapain kamu sampai bikin Sarah kesel sama kamu. Kamu apain dia? Bukannya sujud syukur udah dapet pacar kayak bidadari gini, malah bikin emosi Ibu aja. Udah, pokoknya kamu minta maaf langsung sama Sarah. Nggak usah banyak alasan, bila perlu kamu janjiin Sarah kebun teh satu hektar biar dia nggak kabur dari kamu. Ibu nggak mau tau yah, Sarah itu harus jadi mantu Ibu. Titik!"

Endra sama sekali tak diberi kesempatan bicara sepatah kata pun. Begitu selesai mengomel, ibunya langsung menutup telepon. Dan setelah itu, ponsel Sarah pun kembali berdering.

Lagi-lagi Sarah me-load speaker panggilannya. "Iya, Bu?" balas Sarah lembut.

"Nak Sarah tenang aja. Endra udah Ibu kasih pencerahan kok. Dia memang kadang-kadang suka kehilangan arah dan tujuan hidup jadi maklum kalau bikin Nak Sarah repot. Jadi, gimana? Kapan Nak Sarah main ke sini?"

"Gimana ya, Bu. Sebenernya Sarah pengen tapi ... ada hal penting yang mau Sarah bicarain sama Ibu."

"Hal penting apa? Jangan-jangan kalian udah bahas soal pernikahan ya?"

Sarah tertawa anggun. "Bukan itu, Bu."

"Terus?"

"Jadi gini, sebenernya--"

Dengan gerakan super cepat, Endra sudah merebut ponsel Sarah dan langsung mematikan sambungan telepon dengan ibunya.

"Apa-apaan lo, hah?!" sembur Sarah marah saat tahu ponselnya sudah berpindah tangan.

Endra menarik napas panjang. Dia sudah memiliki keputusan pasti. "Saya bersedia."

"Ha? Lo bilang apa?" tuntut Sarah masih dengan nada juteknya.

"Saya bilang ... saya-bersedia!" Endra sengaja mempertegas ucapannya.

Sarah tertawa sinis. "Dasar cowok bego!"

***

Nasi sudah menjadi bubur, begitulah anggapan Endra. Dia tidak bisa lagi mengulang kebebasannya sebelum bertemu Sarah. Semuanya sudah telanjur terjadi. Saat ini statusnya juga sudah resmi menjadi suami, meski cuma di atas kertas.

Endra tidak tahu sampai kapan penderitaannya ini akan berakhir, tapi dia terus berharap Tuhan akan berbaik hati padanya dan memberikan kebebasan untuk terlepas dari Sarah. Karena baru sebulan ini dia bersama Sarah saja, segenap jiwa dan raganya seolah telah hancur berkeping-keping. Endra sama sekali tidak memiliki harga diri maupun martabat, dan kedudukannya berada di strata terbawah.

Perjalanan selama beberapa jam sudah berhasil Endra lewati. Kampung halamannya sudah mulai terlihat. Kalau saja di sampingnya tidak ada Sarah, pasti perasaan Endra sekarang akan jauh berbeda saat kembali ke tempat kelahirannya seperti ini. Untungnya, sepanjang perjalanan tadi Sarah sibuk dengan hapenya, dan sempat tertidur. Jadi Endra tidak perlu mendengar kata-kata menyakitkan yang keluar dari mulut Sarah.

Begitu jalan yang dilaluinya hampir sampai menuju rumahnya, Endra melihat keanehan pada suasana rumahnya yang mulai terlihat. Ada banyak orang di sekitar rumahnya, dan yang paling mengejutkan Endra adalah rumahnya sudah didekorasi sedemikian rupa seperti sedang ada hajatan. Saat Endra bermaksud memberitahu apa yang dilihatnya pada Sarah, ternyata Sarah juga sedang melihatnya. Namun tidak ada raut terkejut di wajah Sarah, malah tatapan matanya seakan bersinar-sinar.

Endra memarkirkan mobil beberapa meter dari rumahnya berada. Dia masih dibuatnya bingung. Tapi Sarah justru langsung turun dari mobil tanpa merasakan kebingungan yang sama. Saat arah pandangan mata Endra tertuju pada Sarah, di saat itu pula ibunya sudah menyambut Sarah dengan begitu hangat. Mereka berdua sempat cipika-cipiki dan membicarakan sesuatu dengan raut gembira, setelah itu, pergi tanpa peduli Endra sama sekali.

Baiklah, Endra akan ikut turun dan meminta penjelasan pada keluarganya saat sudah sampai di rumahnya. Dia butuh penjelasan soal dekorasi hajatan yang sudah terpasang sedemikian rapi, bahkan beberapa tamu sudah mulai berdatangan.

"Ayah, lagi ada apaan di sini?" tanya Endra akhirnya saat memasuki pelataran rumahnya yang sudah disulap menjadi dekorasi bernuansa serba putih, dan melihat ayahnya sedang mengobrol di salah satu kursi yang tersebar di setiap penjuru area.

"Oh, ini, lagi ada acara resepsi," jawab ayahnya santai.

"Resepsi siapa?"

"Lho, kok malah nanya, ya resepsi pernikahan kamu lah."

Endra syok, benar-benar dibuatnya syok. Kenapa tidak ada satu orang pun yang memberitahunya soal ini? Dan bukankah kemarin sudah diadakan resepsi, meskipun sederhana. Sejak awal rencana pernikahan ini dibuat, Endra memang sudah buta informasi. Segalanya Sarah dan ibunya yang mengatur. Bahkan Endra juga dibuat tak berkutik saat dua minggu yang lalu, ibunya sudah membahas soal pernikahannya dengan Sarah.

Apakah lantas Sarah berkonsultasi dengan Endra. Tentu jawabannya tidak. Ingat? Kalau Endra tidak punya kedudukan apa-apa? Maka dari itu, Sarah tidak menganggap keberadaan Endra sebagai seseorang yang harus dimintai pendapat. Endra bahkan lebih mirip sebagai tong sampahnya Sarah.

"Ayah tau soal ini?" tanya Endra kemudian setelah berhasil mengendalikan perasaan syoknya.

"Enggak, Ayah nggak tau apa-apa. Semuanya ibu kamu yang mengatur. Ayah sih iya-iya aja," jawab ayah Endra masih dengan nada santainya.

Endra tidak mengerti kenapa ayahnya bisa setenang itu menghadapi sifat ibunya yang luar biasa acak. Seingat Endra, ibunya bahkan cenderung diktator, meski tidak jutek seperti Sarah, tapi tambuk kekuasaan memang sepenuhnya di tangan ibu Endra.

"Terus ... acaranya ngapain aja ini, Yah?" tanya Endra lagi. Dia benar-benar butuh informasi untuk tidak lagi membuat jantungnya kelimpungan karena menjadi satu-satunya orang yang tidak tahu apa-apa.

"Ya kayak orang gelar resepsi pada umumnya. Tamu pada dateng, ketemu pengantinnya, ngajak salaman. Ya pokoknya kayak acara resepsi yang biasa diadakan di kampung kita. Emang kenapa, Ndra? Ada masalah?" ayah Endra bertanya curiga. Karena sejak tadi anaknya ini tampak sangat kebingungan.

"Nggak kenapa-napa kok, Yah. Ya udah, Endra mau masuk ke dalam dulu ya," kata Endra mohon ijin.

Ayah Endra mengangguk menyilahkan. Endra lantas buru-buru melewati pelataran rumahnya yang sudah mulai didatangi orang. Beberapa orang yang melihat Endra, langsung tersenyum-senyum dan mulai membicarakannya. Endra hanya berharap tidak ada seorang pun yang akan menyapanya apalagi sampai mengajaknya bicara.

Semoga ceritanya semakin menarik ya.

- AdDina Khalim

AdDinaKhalimcreators' thoughts