Pov Naya
Aku tidak bisa meneruskan pertanyaan. Tiba-tiba otak dipenuhi bayangan seorang wanita bertubuh setengah manusia setengah ular, dengan mahkota emas di kepalanya.
Mahkluk siluman dalam film itu, ternyata masih ada di era modern. Bahkan, hampir mengambil alih ragaku untuk kepentingan tuannya. Hii.
"Benar, Naya. Dialah Tantri." Kaivan menjeda bicara, mengambil satu nastar dan dimakan sedikit. "Maka dari itu, dia tidak berani menyerang aku. Setengah ingatannya masih berfungsi baik, sedang setengah lagi tidak bisa mengingat kebaikan."
"Kenapa begitu?"
"Entahlah, mungkin dia salah jalan dan tidak bisa mengendalikan diri. Sehingga yang dominan adalah watak jahat sesuai manusia yang menjadi tuannya."
Aku lalu teringat satu kata di tengah cerita Kaivan tadi. "Oh iya, moksa apa?"
Laki-laki dari alam lain itu tersenyum simpul. "Moksa terbagi dalam dua pengertian.
Pertama: seseorang yang melepaskan keduniawian, untuk mencari tujuan hidup sesungguhnya. Dia seperlunya membutuhkan dunia, tidak mengejar berlebihan. Sebab, tujuan hidupnya adalah antara diri dan Tuhannya.
Kedua: seseorang yang jiwa raganya lenyap menuju alam sunya ruri atau alam hening. Lenyap, hilang, tapi tidak bisa disebut mati."
Aku memijit pelipis, penjelasan panjang kali lebar itu bukannya bisa dimengerti, malah membuat pening.
"Aku tidak mengerti," ucapku kebingungan.
"Suatu saat kamu pasti mengerti, banyak banyaklah belajar dan membaca," jawab Kaivan. Lantas menghabiskan jus alpukatnya.
"Terus, kenapa kamu ganti nama, Van? Padahal namamu yang dulu bagus. Mahesa Pati." Aku mengeja dua nama jadul itu seperti anak SD membaca kalimat.
Kepo, ya? Tanya tidak ada habisnya. Ah, biar saja mumpung ada kesempatan.
"Mahesa Pati sudah terkubur bersama masa lalu yang pahit, ratusan tahun silam!" tandasnya penuh penekanan.
"Ya sudah, kalau begitu kamu--"
"Sstt!" Kaivan menaruh jari telunjuknya di bibir sebagai isyarat harus diam.
"Ada apa?" tanyaku pelan.
"Ada seseorang sedang menguping pembicaraan kita," jawabnya.
"Siapa?"
"Lihat sendiri! Aku akan membuat rambut orang itu terikat di gagang pintu."
Jari telunjuk dan jari tengah Kaivan lalu menunjuk ke pintu.
Tring!
"Sana, lihat!" Perintahnya.
Aku langsung beranjak dari duduk, berjalan ke arah pintu untuk membukanya. Siapa sih datang nggak pakai ketuk pintu?
"Pelan buka pintunya, kepala orang loh yang jadi korban!" Kaivan mengingatkan lagi, sebelum terbahak sambil berjalan mengikuti aku.
Aku hanya mengangguk.
Membuka pintu perlahan, dan ... hampir saja kelepasan terpingkal-pingkal melihat pemandangan depan mata.
Seorang gadis berbaju merah jambu bersandar di daun pintu, persis patung. Rambut panjangnya yang terbiasa dikuncir, sekarang seperti tali rafia terikat pada grendel berwarna perak pintu rumahku.
Tidak bisa dilihat orang kecuali aku, tentu saja Kaivan tertawa lepas.
"Eva, ngapain kamu berdiri di situ?" Aku langsung menyapa pura-pura biasa saja. "Kalau mau mengeringkan rambut, hair dryer ada kok!"
"Ish, sembarangan! Aku ke sini nyari kamu, bukan hair dryer!" Eva terlihat kesal menutupi salah tingkah, ketahuan nguping.
"Kalau nyari aku, tuh rambut jangan diikat sama pegangan pintu gitu, dong!"
Akhirnya pecah juga tawa yang sejak tadi kutahan.
Namun, bukannya sadar. Eva justru marah-marah hendak nyelonong masuk.
"VA, lihat ..." cegahku, lantas menunjuk ke grendel pintu. "Rambutnya dilepas dulu, Kakak!"
Mata Eva mengikuti telunjukku. Dan, seketika ia histeris melihat apa yang terjadi. Rambut lurus buatan salon itu kembali kriwil akibat ulah kaivan. Kasihan, aku membantunya mengurai rambut dari grendel pintu.
Beberapa menit kemudian, drama dimulai. Eva yang kelewat lebay mengikuti aku masuk rumah sambil meratapi nasib rambutnya.
"Naya, hair dryer itu apa sih?" tanya Kaivan. Padahal aku hampir membicarakan sesuatu dengan Eva. Berusaha mengalihkan kekepoan gadis itu tentang teman ngobrolku tadi, yang ia dengar laki-laki.
"Hair dryer itu alat untuk mengeringkan rambut," jawabku.
"Nggak usah dijelasin juga ngerti!" bantah Eva. "Kamu kira aku oon, apa?"
Aku buru-buru mengalihkan pembicaraan, menawari gadis sok korean ini minum. Dan, ia sangat setuju dengan sirup jeruk tambah es.
Aku kembali dari dapur membawa sirup dingin Kaivan sudah tidak ada di ruang tamu. Mungkin tidur dalam lampu.
Syukurlah, laki-laki jomblo memang tidak seharusnya mendengar pembicaraan dua gadis yang belum punya pacar. Salah dengar, kan bahaya kalau menawarkan diri jadi pacar.
"Nay, aku nginep sini boleh, ya? Udah kangen banget sama kamu!" Eva melancarkan rayuan nebeng tidur, pasti ada apa-apa.
Rumahku sudah seperti hotel kalau dia ada masalah.
"Emangnya salah apa kamu sampai dimarahin orang rumah?" tanyaku sebelum menyetujui. Sangat hapal kebiasaan Eva.
"Bukan Papa Mama yang marah."
"Terus?"
"Aku patah hati. Huwaa!"
Yaelah, belum juga diintrogasi. Sudah banjir air mata. Dasar anak orang!
"Emangnya pacaran sama siapa, Va?"
"Itu, tetangga depan rumah!"
Apa? Tetangga lima langkah?
"Pengantin baru pindahan dari Bandung itu??"
"Iya!"
Aku? Terpingkal-pingkal lagi. Eva ganjen sih liat orang cakep. Tahu ada istri, iya aja diajak pacaran. Udah backstreet berakhir patah hati pula.
"Ya udah nggak apa-apa nginep sini. Tapi, dengan dua syarat!" tegasku. "Hitung-hitung sebagai upah aku menampung keluh kesahmu."
"Kayak hutang ke rentenir aja pakai syarat!" Eva terlihat kesal mendengar jawabanku.
"Mau nggak? Enggak ya udah. Pulang aja sana biar ketemu mantan!" ledekku.
"Iya iya! Apa?"
Aku memasang ekspresi seserius mungkin. "Pertama: kamu nggak boleh pakai baju seksi.
Kedua: dilarang bicara lemah lembut mendayu-dayu, apalagi lebay!"
Eva berdecak. Syaratku padahal nggak aneh, loh! Untuk menjaga segala yang tidak mungkin menjadi mungkin, karena di rumah ini sekarang tinggal yang bukan muhrim.
"Syaratnya kok berat banget. Aku kan udah bawa baju, Nay, nggak bisaa!"
Tuh kan, lebay belum apa-apa.
"Nggak mau ya udah, pulang aja biar ketemu mantan," tukasku ringan. Mengulang ledekan tadi.
Mau tidak mau, Eva akhirnya menyetujui persyaratan tidak tertulis itu. Demi menginap satu hari satu malam, memperbaiki kerusakan hati.
Siang, sore, bahkan lewat makan malam semua lancar sesuai keinginan. Eva benar-benar mematuhi peraturan baru menginap di sini, tanpa protes macam-macam.
Kaivan, sesekali saja muncul sekadar mengamati aku. Dia lebih banyak menghabiskan waktu dalam lampu.
Aman.
Namun, tidak dengan tiga puluh menit menuju jam sepuluh malam. Aku yang sedang menulis lagu terganggu oleh suara ceklek-ceklek di ruang tengah.
Khawatir sesemahkluk jail ikut terbawa Eva, aku buru-buru ke luar dari kamar meninggalkan pekerjaan penting.
Lalu ...
Aku kaget luar biasa mendapati Eva yang sudah memakai baju tidur lengkap, sedang menyala dan mematikan lampu tidur emas di sebelah vas bunga kecil samping televisi, depan kamarku.
Mana sambil diputar-putar, kan bisa kliyengan itu penghuni lampu.
Tidak bisa dibiarkan!
"Lagi ngapain, Va?" tanyaku.
Spontan Eva menoleh, wajah tanpa dosa itu justru senyum-senyum tidak merasa bersalah.
"Eh, kamu ngagetin aja. Kirain udah tidur," jawabnya.
"Kamu tu lagi ngapain?" ulangku sambil mendekat.
"Ini loh, Nay. Lampu tidur kok unik banget. Warnanya emas, bentuknya mirip piala, udah gitu pas nyala cahaya emas juga." Panjang lebar gadis berbaju pink hello Kitty itu menerangkan benda ajaib di tangannya. "Perasaan aku sering ke sini, nggak ada."
"Itu hadiah Kakekku." Aku mencoba menjawab singkat dan setenang mungkin.
"Bagus, kenapa di taruh sini?"
"Iya, memang dekat vas bunga ini tempatnya."
"Kalau gitu buat aku aja ya, Nay. Kamu kan nggak butuh!"
Cling!
Terlambat menjawab satu detik, Kaivan sudah ke luar dari lampu dengan wajah kesal luar biasa.
Alamat tidak baik pasti.
"Dasar gadis ganjen! Enak aja bawa-bawa lampu tidurku. Ceklak ceklek, ceklak ceklek, memangnya aku nggak silau apa?"
Kaivan marah-marah sambil kedua jarinya bersiap menunjuk.
"Eh, kamu mau apa?"