May di banting pelan di kursi Mobil sebelah kiri Vino, tidak peduli dengan bajunya yang basah kuyub. Nampaknya May lebih penasaran dengan sikap Vino yang begitu mengagumkan haru ini, bahkan sampai May tidak percaya kalau seseorang yang membopongnya itu adalah Vino.
"Pakai seatbeltnya dong! Nanti kalau sampai terbang kebawa angin aku tidak mau bertanggung Jawab" Perintah Vino sambil menancap gasnya, dia terus melajukan mobilnya lurus tanpa tau tujuan May sebenarnya.
"Apa itu?" Tanya May masih dengan perasaan marah.
"Allohuakbarr, tidak tau seatbelt? Katanya jago bahasa Inggris, wah bohong nih" Vino menekan rating kanan lalu protes dengan kepolosan May. Maklum ini kali pertama May naik mobil dengan posisi di depan, tidak seperti di angkot yang duduk semaunya dan berdesakan.
May membuka kamus di otaknya, memutar-mutar hingga menemukan huruf S lalu menemukan translate dari kata seatbelt yang berarti sabuk pengaman. May menoleh ke kirir dan menemukan sabuk pengaman itu, tapi May hanya menarik dan melingkarkan ke tubuhnya. Tidak dengan menancapkan ujung itu ke lubang pengunci.
"Tau kan?" May terus membela dirinya, membuktikan bahwa dia memang benar-benar jago ber bahasa Inggris.
Vino terus memantau tangan May yang ribet dengan sabuk pengaman itu, dia terlihat kebingungan dan canggung ketika Vino melirik terus ke arahnya.
"Tapi tidak taukan cara memasangnya?" Vino ingin menarik sabuk itu dari tangan May, tapi kali ini May tidak boleh menjadi orang yang mudah menyerah. Dia masih berusaha agar bisa mengaitkan sabuk pengaman itu secara benar.
Setelah berbagai cara May coba, tidak ada satupun yang berhasil. Lalu May meminta Vino untuk berhenti dan May akan pindah ke belakang, itu rencana May agar bisa menutupi rasa malunya.
"Stop berhenti, aku mau pindah di belakang saja" Pinta May sambil membanting sabuk itu ke samping.
"Tidak, tidak boleh. Emang aku sopirmu? Aku susah-susah nyetir kamu enak-enakan duduk di belakang" Vino menolak permintaan May dan tidak terima, laju mobilnya semakin kencang dan membuat May berteriak.
"Hai kak Vino mau bawa aku kemana?!" Teriak May sambil berpegangan pundak Vino. Vino seketika ingat sesuatu yang menimpa May hari ini, dia harus membawanya ke rumah sakit.
"Entah, suka-suka aku" Vino benar-benar tidak memikirkan perasaan May, dia masih tega membuat May panik.
"Turunkan aku sekarang!" Teriak May histeris, dia menangis se jadi-jadinya mengingat kembali keadaan Bapaknya. Tangis May begitu kencang, musik yang di play dari mp3 mobil May sudah tidak terdengar lagi.
Vino juga mendadak ikut panik, lalu mencari jalan pintas untuk berbalik arah. Vino sedikit menyadari bahwa dia sudah berlebihan, dia laki-laki dewasa dari May yang belum bisa bersikap dewasa.
Musik itu berhenti ketika ada panggilan masuk di ponsel Vino, ada nama MAMA di panggilan itu.
"Iya iya May, maafin aku. Plis kamu diam dulu, tenang ya mamaku telfon nih" Kata Vino sambil menekan tombol answer di layar HPnya.
"Assalamu'alaikum ma?" Vino membuka Telefon itu dengan ucapan salam.
[Wa'alaikumussalam] Suara mama Vino sedikit berat, nafasnya terdengar sesak seperti menahan sesuatu.
"Ma? Kenapa ada apa?" Vino terpaksa mengarahkan mobilnya ke tepi lalu berhenti, perasaan Vino sudah mulai tidk nyaman.
[Papa kamu] Suara mama Vino terputus karena tangisanya, Vino semakin cemas dan meminta mamanya untuk segera menjelaskan.
"Ada apa ma, cepat ngomong!"
[Papa kamu baru saja kecelakaan, sekarang sudah di bawa ke rumah sakit sama mama] Kabar itu menyambar hati Vino, tubuhnya lemas hingga ponselnya jatuh ke pangkuanya. Kemudian mamanya menutup setelah lama tidak muncul suara dari Vino.
May tidak berani bertanya, apalagi dengan dirinya sendiri yang lebih cemas memikirkan Bapaknya, di dalam mobil Vino sedang bersatu antara dua insan yang sama-sama mendapat kabar duka.
"Ma'af, sebentar" Ucap Vino lirih dengan pandangan menunduk.
May seakan ikut larut dalam kesedihan Vino, dia menemukan air mata itu jatuh di punggung tanganya. Vino masih syok dan berusaha menenangkan diri.
"Yang sabar ya, Semoga Allah memberi pertolongan" May berbisik lirih dari samping Vino, dan memegang pundaknya sebentar.
Semua rasa benci dan dendam yang menyelip di hati May, semua mendadak luntur menjadi rasa peduli bahkan khawatir.
Vino baru menyadari, ternyata sepedih ini berada di titik keadaan yang sama seperti May. Dia bahkan sulit untuk memaafkan dirinya sendiri, lalu berjanji untuk mengubah sikapnya menjadi lebih baik.
'May maafkan aku' Bisikanya dalam hati.
Vino mencoba menghubungi mamanya lagi, lalu menanyakan alamat rumah sakit tempat papanya di rawat.
[Di rumah sakit HUSADA nak, masih di ruang ICU] Panggilan itu ditutup setelah mendapat alamat .
"Aku mau ke rumah sakit HUSADA, tapi tidak apa-apa. Kamu aku antar dulu" Kata Vino sambil mengulurkan uang receh ke Tim peduli sosial di pinggir jalan.
"Loh, bapak ku juga di rawat di rumah sakit itu kak"
"Oh syukurlah, Kita bisa kesana sama-sama"
Vino dan May sudah terlihat akrab dari sebelumnya, Vino menyuruh May untuk mengambil minum dan cemilan apapun yang sudah sengaja di sediakan di dalam mobil.
"Di belakang ada snack sama minum, ambil saja bebas" Kata Vino dengan memberi tau tempat snack itu dari kaca depan.
"Iya kak, terimakasih" May tidak berselera.
Perjalan sepuluh menit sebelum ke rumah sakit, mereka hanya bungkam dengan rasa cemas masing-masing. Pikiran May langsung melayang jauh, pasti biaya rumah sakit itu tidak murah, harus kemana dia mencari uang itu. Apakah cukup hanya dengan menjadi buruh cuci piring?
Vino sedikit menyandarkan lehernya ke kursi, dan meyakinkan dirinya bahwa papanya akan baik-baik saja. Vino sangat dekat dengan sosok papanya itu, tidak ada yang bisa melebihi rasa sayangnya melebihi papanya.
Jalanan begitu ramai, karena siang yang sudah menjelang sore itu adalah jam pulang kerja. Vino dan May pun harus bernasib sial karena terjebak macet Yan sangat panjang.
"Ayo jalan dooong!" Vino berteriak sambil memencet klakson mobilnya, namun deretan panjang itu masih utuh berdempetan.
May tidak tau harus berbuat apa, tapi dia hanya mengandalkan do'a yang sengaja ia panjatkan dengan suara keras, barharap Vino juga ikut mengaminkan doanya.
"Ya Allah, tolong kami. Bebaskak kami dari masalah yang sulit, kirim kami petunjuk"
"Aamiin aamiin" Vino diam-diam juga khusyuk mengaminkan do'a May.
Hampir setengah jam mereka harus bersabar menunggu jalan itu kembali normal, lalu motor beat dengan sticker spiderman itu berhenti di samping mobil Vino.
"Kak Zadid?!" Sepertinya Vino mengenali orang itu.
"Cepat turun dari mobilmu, dan pakai motorku. Mamamu sudah menunggu di rumah sakit, cepat!" Zadid kakak sepupu Vino itu sudah mendapat kabar dari tantenya.
Tanpa berpikir panjang Vino langsung menarik lengan May keluar dari mobilnya, sungguh Allah telah memberi solusi dengan mengirimkan Zadid untuknya.
Belum sempat memakai helmnya Vino sudah mendengar lagi ponselnya berdering dari dalam sakunya.
[Papa nak, papa] Suara Isak mama Vino terdengar semakin parah.
LAUTAN AIR MATA
Vino terus melajukan motornya, di tengah kemacetan panjang ia nekat menyelinap di antara truk-truk besar. Tidak peduli dengan protes banyak orang karena berteriak-teriak minta jalan, fikiranya semakin kacau dan cepat-cepat ingin sampai rumah sakit.
"Kak pelan-pelan saja kak!" Teriak May ketakutan, Vino mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Seakan sudah tidak peduli dengan nyawanya.
"Berisik kamu!" Teriakan Vino melebihi lantangnya teriakan May, May langsung diam dan menyadari bahwa Vino pantas marah. Ia terus berpegangan kuat tas ransel Vino, merem dan pasrah.
Suara sirine ambulance terdengar remang-remang, sudah tidak jauh lagi May dan Vino tiba di rumah sakit. Vino memarkirkan motornya sembarangan, tanpa mencabut kunci motornya. Ia berlari dan di buntuti May dari belakang, larinya Vino sama-sama kencangnya dengan May.
"May!!" Teriakan kak Ahmad memanggil May dari ruangan ICU, May bersyukur karena dia cepat bertemu dengan kakaknya. Ia berlari dan memeluk erat tubuh kak Ahmad, menangis kesenggukan.
"Udah tenang dulu ya" Ucap kak Ahmad sambil mengelus kepala May, tetap saja May tidak bisa tenang. Dia terus memanggil-manggil nama bapaknya.
"Bapak gimana kak, bapak di mana?" May tidak bisa menahan tangisnya, tapi kak Ahmad menjawab dengan senyuman, tatapanya begitu tenang.
Sebenarnya kak Ahmad tidak duduk di depan ruang ICU, karena belum di perbolehkan memasuki ruangan itu tanpa se izin dulu dari petugas.
"Dimana kak?!" May mengoyak pundak kakaknya, kak Ahmad lagi-lagi harus memasang senyumnya. Diamnya kak Ahmad dan senyumnya itu membuat May semakin penasaran, mana mungkin bapaknya yang sedang sakit parah, kak Ahmad masih bisa tersenyum?
Kak Ahmad berjalan tanpa menyeret May, kemudian menuntaskan air matanya yang tumpah karena terlalu lama tertahan. Harus bagaimana dia menyikapi semua ini dengan baik, tanpa membuat May semakin hancur. Ia terus berjalan di lorong-lorong, dengan langkah gontai berpegangan tembok di sekelilingnya.
May ketakutan dan berlari mengejar kak Ahmad. "Kakak tunggu!" Teriak May sambil meriah jaket yang terpasang di tubuh kak Ahmad. Tidak sengaja May memergoki air mata itu berjatuhan di pipi kanan kiri kak Ahmad, May langsung menatap heran dan memastikan sekali lagi.
"Kenapa kakak menangis, tolong kak katakan ada apa!" Teruakan histeris May semakin tidak terkontrol, hingga orang-orang yang sedang berkeliaran sengaja berhenti melihat ributnya May dan kakaknya.
Tapi kak Ahmad semakin tidak punya kekuatan untuk menjelaskan kepada May, dia hanya berusaha menenangkan adiknya dengan memeluk erat sambil mencium keningnya berkali-kali. May semakin hancur dengan kenyataan yang belum pasti itu.
Kak Ahmad mengajak May duduk di lobi bawah, sambil nonton TV yang tergantung di atas papan kasir itu. Sudah memikirkan banyak cara untuk bisa menyampiakn Hal ini dengan tenang, kak Ahmad memutar tubuhnya sehingga lurus berhadapan dengan May.
Tapi suara hentakan kaki dengan suara sepatu kulit itu berjalan ke arah Kak Ahmad dan May, Ahmad mengira Dokter itu akan memberi tau sesuatu dan kak Ahmad berusaha menahanya.
"Maaf dengan bapak Ahmad? Sudah di perbolehkan mengunjungi keluarga di ruang Jenazah" Sialnya kak Ahmad gagal menahan Dokter itu.
Sudah di sangka jika May syok mendengar laporan dari dokter, air matanya benar-benar tidak bisa keluar lagi, karena ia sudah tidak punya kekuatan sama sekali, bahkan nafasnya pun terasa sangat berat. May merasa tertidur, tidak bisa melihat apa-apa dan merasakan apapun, gelap.
Kak Ahmad lalu menggendong adiknya ke kamar inap, mencari ranjang yang kosong lalu menaruh tubuh May dan berlari keluar. Ia harus menangis lagi, mengingat sosok ayahnya yang sama sekali ia belum sempat membalas semua pengorbananya. Kak Ahmad memukuli kepalanya sendiri, marah dengan dirinya sendiri, dan menyalahkan diri sendiri.
Pandangan May sudah mulai tersorot sedikit cahaya, lalu terbuka pelan-pelan sehingga cahaya itu benar-benar penuh menerangi. May mencari sosok kakaknya, dia masih sama sekali belum punya kekuatan lagi, May berteriak lirih dengan berlinangan air mata.
Wanita berjas berkaca mata itu tidak sengaja mendengar teriakan lirih May, kemudian berjalan mendekati May dan memberi segelas air minum.
"Di minum dulu nak, biar sedikit tenang" Tutur Ibu itu begitu lembut, sudah bisa di tebak dengan kondisi May yang terlihat sedang di timpa musibah. Ibu itu sama sekali tidak bertanya apapun, hanya berusaha menemani May sambil memijat lenganya.
"Kakak ku dimana? Aku harus melihat bapak ku untuk yang terahir kalinya" May berbicara masih setengah dari kesadaranya, Ibu itu kebingungan lalu meraih ponsel dari tasnya.
[Ke kamar papa sekarang nak!] Ibu itu terlihat seperti menghubungi ankanya.
"Sabar ya, nanti Ibu carikan kakak kamu. Sekarang istirahat dulu saja" Penampilan yang super berwibawa itu biasanya tidak bersikap se ramah dan sepeduli itu, Ibu itu begitu rendah hati dan tidak memandang perbedaan sedikitpun.
Tidak lama pintu kamar itu terbuka dan kedatangan muka cemas dari sosok laki-laki yang May benar-benar mengenalinya.
"May?!" Bisikan hati Vino bertanya-tanya, lalu menoleh ke arah mamanya yang sedang menyelimuti tubuh menggigil May. Tubuh May semakin gemetaran dan sangat pucat, sontak membuat Vino kebingungan dan memanggil mamanya lirih.
"Ma, ada apa?" Bisik Vino di telinga mamanya, mamanya sedikit menggelengkan kepalanya dengan raut muka prihatin.
May kembali tersadar, ia terus memanggil kakaknya dan menangis histeris. Mama Vino berusaha memegangi tubuh May yang semakin berontak, sementara Vino membelai rambut May untuk yang pertama kalinya.
"Kamu kenal?" Tanya mama Vino.
"Adik kelasku mam"
Vino mendekatkan mulutnya ke telinga kanan May." Tenang, ini kak Vino" Seketika teriakan itu berhenti, tapi May masih belum sepenuhnya sadar, ia mengira Vino adalah kakaknya.
"Kakak jangan tinggalin May" May memeluk tubuh itu erat, mama Vino diam-diam mengelap air matanya.
"Iya, kakak akan terus jagain kamu" Kata Vino sambil mengambil posisi duduk di sebelah May.
Kak Ahmad sudah lama meninggalkan May di kamar pasien, dia sibuk dengan administrasi agar Jenazah bapaknya bisa segera di bawa pulang.
"Kak Ahmad antar aku ketemu bapak" Kali ini Vino tersadar bahwa May mengira dirinya adalah kakaknya, tentu Vino mengiyakan permintaan May. Lalu membantu May bangun dari ranjangnya.
Vino terus berjalan mengikuti May, di susul mamanya juga berjalan di belakangnya. Tanpa dulu memberitahu Vino apa sebenarnya terjadi pada gadis itu.
Mama Vino menggantikan posisinya untuk membonceng May, Vino berharap bukan hal yang menyedihkan yang tejadi pada May. May tidak keduki dengan siapa ia di bonceng, ia hanya butuh orang di sekelilingnya untuk menguatkan.
Setelah tiba di depan suatu ruangan yang bertuliskan RUANG JENAZAH. May kembali ambruk tidak sadarkan diri.