webnovel

[06] Mendapatkan Diriku

Bang!

Anung mengeluarkan reaksi terkejut dengan mendorong pria lain itu membentur batu besar di sebelahnya. Sedangkan ia berusaha untuk mengusap bibirnya dengan sangat gugup.

"Apa yang sebenarnya kau pikirkan?!"

Aryasatya hanya terkekeh samar, "kau yang bertanya apakah aku ingin membungkam seseorang."

"Bukan membungkam seperti ini yang ku bicarakan!"

"Oh," Aryasatya hanya menanggapi dengan santai. "Mungkin ini adalah perbedaan bahasa di antara manusia dengan siluman harimau."

Anung tidak tahu harus menanggapi dengan tindakan apa lagi, dia hanya menahan kekesalan di dalam hatinya dan beranjak untuk pergi. Tetapi, sekali lagi tangannya di tahan oleh pihak lain yang membuatnya menjadi waspada dan memincingkan mata.

Dia mengancam lebih dahulu, "jika kau berani melakukannya lagi maka aku akan berlari pulang dan berkata kepada seluruh warga bahwa ada seekor siluman harimau yang suka menganggu wanita."

"Tetapi kau bukan wanita," bantah Aryasatya.

"Nah, apa bedanya? Mungkin saja setelah aku pergi, kau akan meninggalkan gua dan menggunakan ketampanan di wajahmu itu untuk menggoda anak-anak gadis di desa?" Balasnya.

"Oh," Aryasatya mengerlingkan mata kepadanya. "Baru saja kau mengakui bahwa aku tampan?"

"Omong kosong!"Anung berusaha untuk melepaskan genggaman tangan pihak lain, tetapi itu terlalu kuat dan tidak melonggar sedikitpun. Dia menatap Aryasatya lagi, "apakah kau akan terus menahanku sepert ini?"

Ia selalu memiliki reaksi yang lambat sampai Aryasatya menariknya untuk duduk di sebelahnya, "tenanglah dahulu, dan aku akan menjelaskannya padamu."

"Menjelaskan apa?" Tanyanya.

Aryasatya mengangkat alisnya, "alasan mengapa aku mencium bibirmu."

Rona merah merambat dari leher ke seluruh wajah Anung, entah itu karena terlalu marah atau malu, dia segera memalingkan wajahnya dari pria di sebelahnya sambil bergumam, "kau tidak perlu mengatakannya dengan begitu lugas."

Aryasatya tertawa lagi.

"Sebenarnya, bagi kami bangsa siluman harimau, mencium satu sama lain berguna untuk menunjukkan rasa terimakasih. Kau telah merawatku cukup lama, membantuku untuk mendapatkan makanan, aku sangat menghargai itu dan ingin sekali mengucapkan terimakasih, sehingga aku tidak bisa menahan diri. Ini bukan jenis ciuman seperti yang kau pikirkan." Jelasnya dengan perlahan-lahan. Dia hanya tidak menjelaskan secara lebih mendalam bahwa ciuman itu adalah sesama harimau, dan bukan sesama bibir seperti yang mereka lakukan sebelumnya. Dia tidak mau membuat bocah ini semakin meledak dalam kemarahan.

Tetapi kalimat terakhirnya justru meningkatkan lagi kekesalan bocah di sebelahnya, "memangnya apa yang kupikirkan?"

Aryasatya berpura-pura tidak bersalah, "bagaimana aku dapat mengetahui apa yang kau pikirkan?"

"Terserah padamu saja." Anung berkata demikian lantas berusaha untuk bangkit dari tempatnya duduk.

Aryasatya tidak menahannya, tetapi hanya berkata ketika ia sepenuhnya berdiri, "apakah kau akan kembali sekarang? Ah, aku merasa sedikit kesepian hidup di dalam gua ini sendirian, tetapi tidak mungkin untuk kembali ke Puncak Larangan saat ini juga."

Anung berdiri dengan ragu-ragu di tempatnya, dia kesal bukan main dengan siluman yang suka menggoda ini, tetapi dia juga sangat memahami bagaimana rasanya kesepian dan tidak memiliki teman untuk berbicara.

Pada akhirnya, Anung kalah dengan kelembutan hatinya dan kembali duduk di sebelah pria itu, tetapi masih tidak mengatakan apapun untuk menunjukan bahwa ia masih kesal.

Pada sudut dimana ia tidak menyadarinya, Aryasatya memiliki bibir yang menanjak untuk sekejap, menyadari bahwa upaya ini berhasil.

Setelah mereka berada dalam keheningan untuk sesaat, Aryasatya menjadi yang pertama memecahkan kesunyian itu.

Dia menyentuh bocah di sebelahnya dengan sikunya, "hei, apakah kau menyadari bahwa sampai saat ini aku bahkan belum mengetahui dengan apa kau menyebut dirimu sendiri?"

Anung merenungkan hal ini, dan setelah menguraikan ingatannya memang benar bahwa dia belum mengatakan siapa namanya sama sekali kepada pihak lain.

Dia sedikit malu, "namaku Anung."

Aryasatya mengangguk kepadanya, "jadi, Anung, mengapa kau kembali dengan bahu terluka hari ini, padahal jelas-jelas kau baik-baik saja ketika pergi kemarin?"

Bocah di sebelahnya tidak segera menjawab yang semakin menguatkan keheranan di dalam hati Aryasatya, hanya saja dia tidak memaksa pihak lain untuk mengakuinya saat itu juga.

"Aku tidak sengaja jatuh dan membenturkan bahuku kemarin," jelasnya dengan keraguan yang tidak dapat disembunyikan, membuat Aryasatya menangkap gelagatnya ini.

Dia menatap bocah di sampingnya, "apakah kau mengetahui dampak dari membohongi seorang siluman harimau?"

Anung beringsut untuk menjauh sedikit, tetapi tidak berani untuk menatap langsung ke arah mata pria yang tengah menatapnya itu, dia hanya berbisik dengan ragu-ragu, "aku tidak berbohong."

"Apakah kau ingin aku mencium lagi?"

"Hah? Tidak!" Anung berteriak dan kali ini benar-benar memberikan jarak di antara dirinya dan pihak lain, dia memeluk kedua lengannya sendiri dan bertambah waspada.

Aryasatya tertawa lagi dan membuat Anung semakin gugup.

"Padahal, jika kau mengatakan seseorang membuatmu terluka, aku tidak keberatan untuk membalasnya untukmu." Aryasatya memberikan penawarannya.

"Aku tidak membutuhkan bantuan semacam itu," balas Anung.

Aryasatya menimpalinya, "Lalu, apa yang kau butuhkan?"

"Aku tidak membutuhkan apa-apa, terutama darimu." Sahut Anung.

Kali ini Aryasatya tidak mengatakan apapun lagi, dan Anung juga tidak tahu apakah ia harus mengatakan sesuatu saat ini. Mereka berdua duduk saling berjauhan, seakan-akan mereka hanyalah orang asing yang kebetulan sekali harus duduk bersama.

Melihat bahwa pihak lain masih tidak berencana untuk berbicara, Anung akhirnya menyerah dan bertanya dengan ragu-ragu, "apakah benar bahwa Puncak Larangan di huni oleh makhluk-makhluk yang dulunya manusia penganut ilmu hitam?"

Pria itu menoleh ke arahnya. Lalu melambaikan tangan kepadanya, "mendekatlah dan aku akan memberitahumu."

Anung tidak ingin jatuh ke dalam perangkap yang sama, dia menggeleng dengan keras.

"Aku tidak akan melakukan apapun, hanya supaya lebih mudah bagimu untuk mendengarkan cerita dariku." Tegas Aryasatya dengan kesungguhan di matanya.

Mengamati untuk sesaat dan tidak melihat raut wajah bercanda di wajah pihak lain, Anung akhirnya beringsut mendekat dengan perlahan-lahan.

Hanya setelah mereka cukup dekat, Aryasatya segera memeluk bahunya, dan sebelum Anung sempat bereaksi, pihak lain lebih dahulu menutup bibirnya dengan jari telunjuk, "sshh, aku akan mengatakannya padamu."

"Memang benar adanya manusia yang menganut ilmu hitam, dan mereka menyembah kami, siluman harimau untuk mendapatkan kekayaan dan kesaktian. Tetapi, kami sebagai bangsa siluman juga tidak bodoh, dan tentu saja menolak untuk dipergunakan dengan begitu mudah."

Anung tidak peduli lagi dengan tangan yang memeluknya, "lalu apa yang kalian lakukan?"

"Kami harus menjadi lebih pintar," jelas Aryasatya. "Kami membuat manusia melakukan kesalahan, sehingga mereka akan menebusnya dengan menjadi bagian dari kami, tentu saja di bagian budak."

Anung memincingkan matanya.

"Apakah tidak apa-apa bagimu untuk begitu bangga karena berhasil membodohi manusia, sedangkan saat ini kau sendiri tengah berbicara padaku, seorang manusia." Ucap Anung untuk menyindir pihak lain.

Senyuman terbit di wajah Aryasatya, "dengarkan baik-baik, kami hanya melakukan hal semacam itu, karena kami mengetahui bahwa manusia itu datang dengan hati yang buruk. Bukankah mereka dengan hati yang baik tidak akan memohon pada bangsa siluman? Bukankah mereka memiliki tuhan?"

"Bagaimana dengan orang seperti diriku? Aku tidak kaya, harus bekerja begitu keras setiap hari, dan yah, aku tidak benar-benar yakin tuhan ada." Tanya Anung dengan wajah polosnya.

Aryasatya menumbuhkan wajah menggoda yang mulai dikenal olehnya itu.

"Ah, jika itu dirimu, bahkan tidak perlu memohon, aku akan memberikan apapun yang kau inginkan. Kau telah mendapatkan diriku, dan itu berarti kau mendapatkan semuanya."

[To Be Continued]