webnovel

BOUND BY PROMISE

Sepasang sahabat yang tidak pernah bermimpi akan menjadi pasangan kekasih. Mereka hanya percaya pada apa yang mereka jalani selama ini, termasuk hubungan dekat sebagai seorang teman. Rainold Faya adalah anak tunggal dari Fadly dan Raya. Laki-laki itu sering sekali menyangkal pertanyaan dari Papanya sendiri yang mengatakan tentang bagaimana perasaannya terhadap seorang gadis yang selalu bersamanya sedari kecil. Raina Martha adalah anak tunggal dari Amar dan Mitha. Gadis itu sudah memiliki kekasih yang begitu sangat posesif terhadapnya sehingga membuat mereka sering bertengkar dan sahabatnya selalu menjadi penengah diantara keduanya. Orang tua mereka adalah sepasang sahabat sedari kecil, sama halnya seperti Rai dan Rain. Entah bagaimana takdir mempermainkan keduanya, berawal dari sebuah perjanjian yang dibuat ketika masih berumur 5 tahun. Persahabatan mereka terikat oleh sebuah janji yang menjadi takdirnya suatu hari nanti. Keduanya tidak bisa menentang hal itu sehingga Rai dan Rain terbelenggu dalam sebuah perjodohan. Entah itu akan berakhir bahagia atau tidak, tanpa disadari bahwa perjodohan menyatukan mereka dan menjadi penentuan dari kisahnya. Lantas, bagaimana kehidupan mereka selanjutnya setelah menikah ? Art by Pinterest

giantystory · perkotaan
Peringkat tidak cukup
280 Chs

KEJUJURAN DI TENGAH DERASNYA HUJAN

Sepasang sepatu yang berhasil membuat Rain terkejut dikarenakan gadis itu yang begitu mengenali suaranya kini langsung mendongak dengan jantung yang berdetak.

"Rai," gumam gadis itu yang kini langsung berdiri dari duduknya menatap seorang laki-laki yang berada di hadapannya saat ini. "Aku ... aku bisa jelasin semuanya."

Melihat kondisi Rain saat ini benar-benar membuatnya merasa bersalah kepada gadis itu. Ia dengan cepat langsung melepaskan jaket yang sedang dipakainya setelah menyimpan payung terlebih dahulu sebelum akhirnya diberikan kepada seseorang yang berada di hadapannya saat ini.

"Kamu enggak boleh kedinginan, nanti sakit."

Melihat perlakuan Rai membuatnya langsung ingin menangis sekarang juga, sedangkan Rai yang menyadari hal itu pun kini menghela nafas dan merentangkan kedua tangannya bermaksud membiarkan gadis itu melampiaskan semua kesedihannya.

"Rai, maafin aku," ujarnya lirih yang kini langsung menghambur ke dalam pelukan laki-laki itu. "A-aku kedinginan, Rai."

"Rain, aku selalu bilang, kalau aku enggak pernah bisa marah sama kamu. Tapi, bukan ini yang aku mau," ujar laki-laki itu yang kini membalas pelukan sahabatnya itu. "Kamu tahu kalau aku hampir gila karena nyari kamu ke mana-mana, Rain!"

"Aku tahu," ujar Rain yang kini menangis terisak di pelukan sahabatnya itu. "Enggak tahu bakal kaya gimana kalau seandainya gak ada kamu, Rai. Aku ... aku gak bisa kalau enggak ada kamu."

Laki-laki itu yang mendengarnya pun langsung menghela nafas, kemudian memejamkan kedua mata sembari mengeratkan pelukannya kepada Rain.

"Sekarang aku ada sama kamu, jadi kamu enggak usah khawatir lagi." Kemudian laki-laki itu pun melepaskan kedua tangan dari Rain yang kini masih memeluknya membuat gadis itu semakin mengeratkan pelukannya.

Rai yang mengetahui hal itu langsung menatapnya terheran. "Rain, ada apa?" tanyanya dengan lembut.

Tetapi gadis itu hanya menjawabnya dengan gelengan sehingga membuat Rai menghela nafas seketika.

"Aku cuma mau ngambil payung, kita 'kan harus ke mobil."

"T-tapi ..." Rain melihat laki-laki yang berada di hadapannya saat ini sedang menggelengkan kepala membuat gadis tersebut akhirnya mau tidak mau menuruti setiap perintahnya. "Ya udah, deh."

Kemudian Rai mengacak puncak kepala dari gadis itu sebelum akhirnya benar-benar mengambil payung yang tergeletak di bawah. Setelah itu laki-laki tersebut menatap intens seseorang yang berada di hadapannya saat ini sehingga mereka saling memandang satu sama lain.

"Ayo, kita pulang sekarang," ujar Rai yang kini menatap dalam sahabatnya itu dengan senyuman tipisnya.

Rain pun menganggukkan kepala sebelum akhirnya benar-benar pergi bersama dengan Rai menuju ke mobilnya.

"Masuk," ujarnya kepada Rain.

Setelah Rain masuk, kemudian ia menutup pintu dan mengitari mobil menuju pintu lain untuk masuk ke dalamnya.

Dilihatnya gadis itu yang hanya diam dan melamun dengan kedua tangannya yang melingkar di tubuhnya. Kemudian laki-laki itu langsung mengambil sebuah hoodie yang lain untuk Rain yang kini berada di sampingnya.

"Kamu pakai ini, Rain," ujar Rai kepada gadis itu. "Biar enggak kedinginan."

"Enggak usah, aku begini aja gak apa-apa, kok."

"Aku gak suka ditolak," lanjutnya lagi.

Rain yang mendengarnya pun langsung terdiam sejenak, kemudian dengan perlahan membuka jaket yang diberikan oleh sahabatnya diganti dengan sebuah hoodie yang juga milik Rai.

"Gimana, udah enakkan?" tanya Rai yang kini kembali memakai jaket jeansnya. "Maafin aku, ya, Rain."

Gadis itu yang mendengarnya pun langsung menoleh dan menggelengkan kepala.

"Jangan minta maaf, Rai," ujar Rain dengan sendu. "Aku nggak suka."

Rai yang mendengarnya pun kini menghela nafas sembari memandangi stir mobilnya dengan perasan yang tidak nyaman.

"Kalau kamu nggak suka, jangan buat aku ngerasa bersalah, ya, Rain."

"Iya, Rai." Gadis itu tersenyum.

"Janji?"

"Janji," ujar Rain yang masih mempertahankan senyumannya.

Setelah itu Rai pun mulai kembali menjalankan mobilnya dengan kecepatan rata-rata, ia sekarang sudah bisa bernafas dengan lega saat bisa kembali bersama dengan sahabatnya itu. Dirinya juga bersyukur karena gadis itu dalam keadaan yang baik-baik saja.

"Rain," panggilnya kepada gadis itu.

"Iya, ada apa Rai?" sahutnya yang kini sedang menatap jalan raya.

"Kamu nggak pulang bareng Vano?"

Pertanyaannya yang baru saja dilontarkan oleh laki-laki itu membuat Rain langsung terdiam mematung setelah mendengarnya. Ia tidak tahu harus menjawab bagaimana karena dirinya yang tak memiliki sebuah alasan untuk itu.

"Rai, aku ..." jeda Rain yang kini langsung menggigit bibir bawahnya dengan perasaan yang berkecamuk.

"Sebenarnya aku udah tahu, tapi aku pengen dengar langsung dari kamu." Rai berucap tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun, lalu kembali berkata, "Kenapa nggak pulang sama Vano?"

Gadis itu pun menundukkan kepalanya dengan kedua tangan yang saling bertaut, wajahnya tampak menyedihkan membuat Rai merasa kasihan melihat sahabatnya yang terus-terusan mengagumi seseorang tanpa ada satu pun yang mengerti aku.

"Aku ngehindar dari dia waktu pulang sekolah," ungkapnya yang berhasil membuat Rain tersenyum. "Tadinya aku pikir semua bakal baik-baik aja, tapi ternyata lebih buruk dari perkiraan."

"Kenapa?" tanya Rai.

"Kenapa?" ulang gadis itu dengan kedua alis yang terangkat.

"Iya, kenapa kamu ngehindar dari dia?"

"Aku lagi malas aja ketemu sama dia," jawab Rain dengan pandangan kosongnya.

Rai yang mendengarnya pun langsung berpikir bahwa gadis itu sepertinya sedang menyembunyikan sesuatu membuatnya merasa harus menanyakan langsung kepada laki-laki itu jika saja kekasih dari sahabatnya sudah menyakiti Rain.

"Rai," panggil gadis itu.

"Ya?" sahutnya.

Seperti ada keraguan dalam dirinya saat Rain hendak menanyakan sesuatu yang mungkin tidak pernah dilakukan oleh laki-laki itu. Tetapi, rasa penasarannya yang begitu tinggi telah menghancurkan dirinya sendiri.

"Kamu tumben tadi pulang duluan, kemana?"

"Oh, itu ... tadi aku pulang bareng teman," jawab Rai yang begitu terlihat santai. "Emangnya kenapa? Kamu nyariin aku?"

Dengan cepat Rain menggelengkan kepala dan berkata, "Enggak, kok. Aku nggak nyariin kamu sama sekali."

"Oh, bagus deh. Soalnya kasihan kamu capek-capek ke kelas aku, tapi aku-nya nggak ada di sana."

Hanya sebuah senyuman yang bisa dilakukan oleh seorang Rain saat ini ketika mendengar perkataan dari sahabatnya itu. Entah kenapa rasanya begitu berbeda ketika mengetahui bahwa Rai tidak memberitahukan teman yang pulang bersama dengannya.

"Iya, kamu bener, Rai."

Diam-diam Rain tersenyum getir ketika mengetahui bahwa laki-laki itu sudah tidak terbuka kepadanya lagi. Sebuah perasaan takut akan kehilangan sosok sahabat pun mulai terasa ketika mendengarnya membuat gadis itu langsung menitikkan air matanya tanpa sadar.

"Rai, kalau aku mau jujur, kamu bakalan terima nggak?"

Kening laki-laki itu pun berkerut, tatapannya tidak pernah beralih sedikit pun dari jalanan raya.

"Terimalah, 'kan nggak ada salahnya buat jujur."

"Sekalipun nyakitin?" tanya Rain dengan kepala yang menunduk.

"Iya, tergantung ..." ujar laki-laki itu sembari mengedikkan bahunya. "Emangnya kamu mau jujur apa sama aku?"

Dengan penuh keberanian, Rain mulai memantapkan diri untuk mengatakan yang sebenarnya kepada seseorang yang berada di sampingnya.

"Rai, kalau aku takut kehilangan kamu gimana?"