webnovel

Kecurigaan Lara

Lara terus saja menyunggingkan senyum ketika teringat kejadian semalam. Wajahnya bersemu merah, malu. Xander benar-benar hebat di ranjang. Meski ia tidak tahu definisi hebat seperti apa, karena hanya Xander satu-satunya lelaki yang pernah menjamah Lara. 

"Masak apa, hem?" Xander memeluk tubuh Lara dari belakang. Lelaki itu mengendus aroma tubuh Lara yang menenangkan. 

"Nasi goreng, Tuan Xander tunggu di sana dulu. Jangan ganggu!" Lara menyikut perut suaminya. 

Pukul sebelas siang ia baru bisa bangun setelah pertempuran semalam. Lara merasakan seluruh badannya pegal tapi juga lega. Entah perasaan apa lebih tepatnya, karena Lara tidak bisa mengungkapkan. 

Yang jelas, di dalam hati gadis itu mulai tumbuh cinta untuk suaminya. Rasa memiliki yang kuat dan tidak boleh ada orang lain ikut memiliki Xander. Posesif lebih tepatnya. 

"Em, kalau saya gak mau?" Tangan lelaki itu mulai bergerak liat menyusuri tubuh Lara. 

Xander memejamkan mata. Gadis itu candu. Dari dulu sampai sekarang. Ia tidak bisa sedikit saja membiarkan Lara diam ketika mereka berdekatan. 

"Ish, nanti gosong, Tuan." Lara menghentikan tangan Xander, yang sudah menyusup masuk ke dalam daster midi bermotif kartun yang ia pakai. 

"Peduli amat!" Lelaki itu menyentak tubuh Lara. Ia menggendong wanita itu lalu didudukan di atas meja. 

**

"Ish, kan sudah saya bilang nanti gosong. Tuan gak percaya sih!" Lara memajukan bibirnya. Ia merapikan pakaiannya yang sudah tak berbentuk karena ulah Xander. Sekali lagi, lelaki itu memberikannya surga dunia. Lara benar-benar tidak bisa menolak pesona dan perlakuan manis Xander kepada tubuhnya. 

"Pesan saja. Kamu mau apa?" Xander mengangkat wajan yang sudah menghitam karena mereka tinggal memandu kasih lagi. 

"Terserah, deh. Yang penting bisa dimakan." Lara mengambil air minum lalu meneguknya hingga tandas. Kini napasnya mulai tertata lagi. 

"Atau mandi dulu lalu kita cari makan di luar. Mau?"

Mata Lara berbinar. "Mau. Saya mandi duluan, ya!"

"Gak barengan aja? Bisa lebih menghemat waktu." Xander mengerlingkan mata nakal. 

"Tambah lama yang ada."

"Gak. Saya janji hanya mandi. Oke!" 

"Gak!" Lara berlari meninggalkan Xander. Memang ia bisa percaya dengan lelaki itu? Tidak sama sekali. 

Selesai mereka mandi, Xander mengambil sebuah ponsel yang ia beli kemarin sebelum pulang ke apartemennya. Lelaki itu sengaja membelikan untuk Lara sebagai ganti ponsel Sang Istri yang sudah ketinggalan jaman.

Lara menatap tak percaya ke arah suaminya ketika lelaki itu menyodorkan ponsel keluaran terbaru yang harganya masih di atas dua puluh juta. "Serius ini buat saya?" Mata Lara berkaca-kaca. 

"Ambil! Kalau kamu butuh apa-apa bilang sama saya. Gak perlu sungkan. Saya suami kamu."

"Tapi ...." 

"Gak usah membantah!"

Lara mengangguk ragu. Suami istri? Iya, ketika mereka berdua status di antara mereka ada. Tapi, di luar mereka tidak lebih hanya seorang bos besar dan petugas kebersihan. Orang-orang mana ada yang tahu tentang pernikahan mereka. Hanya anak buah Xander saja yang tahu. Itu juga tidak lebih dari dua puluh orang. 

Entah bagaimana Xander mengatur pernikahan mereka hingga bisa mendapat dua buku nikah. Yang jelas secara hukum ia adalah istri sah Xander Wiryaguna. 

Mereka turun ke bawah dan langsung menuju ke restoran tempat mereka akan mengisi perut. Xander memakai kaca mata hitam dan topi untuk menyamarkan penampilannya. Ia tidak mau sampai masyarakat tahu tentangnya dan Lara. Karena akan berdampak tidak bagus untuk gadis itu. 

Sementara sampai semua rencananya berhasil, Xander tidak akan menujukkan Lara di dalam hidupnya kepada orang-orang. Semua ia lakukan demi keamanan dan ketenangan Lara. 

"Mau pesan apa?" tanya Xander. 

Lara masih melihat sekeliling. Ke mana perginya orang-orang. Bukankah ini hari Sabtu? Seharusnya banyak orang yang datang ke restoran ini. Tapi masa tempat makan sebesar ini tidak ada pengunjung sama sekali kecuali mereka berdua. 

"Saya sengaja booking tempat ini untuk kita makan." Xander menjawab keheranan Lara. 

"Kenapa?" Gadis itu menatapnya menuntut jawaban. "Bukankah Anda sudah tidak terlihat seperti seorang Xander?" Lara melihat suaminya yang berbeda, wig pirang dipakai lelaki itu juga topi. 

"Biar lebih tenang makannya." Xander melihat ke luar restoran. Cuacanya mendadak mendung setelah sebelumnya panas. "Cepat pesan! Sebelum hujan turun." Xander menyodorkan buku menu. 

Lara mengendikkan bahu. Ia memesan beberapa menu. Kecurigaannya kembali datang ketika Xander meminta tambahan bubuk merica. Ia teringat lagi dengan Leo, lelaki anak mama tirinya itu sangat suka makan dengan tambahan bubuk merica. Kata Leo enak di badan, bikin hangat. 

"Mau menatap saya sampai kapan?" tanya Xander. 

Lara menggelengkan kepala membuyarkan lamunannya. "Gak. Saya hanya teringat Leo." 

Lelaki di depan Lara menghentikan suapannya. "Kenapa memangnya Leo?" 

"Dia suka makan dengan tambahan bubuk merica." Lara tersenyum menatap Xander. "Anda mirip sekali dengan Leo. Hanya saja ... ah, sudahlah." Ia mengambil nasi dan mulai menyuapkan ke mulutnya. 

Xander menatapnya dengan tatapan yang entah. 

Selesai makan, Xander segera mengajak Lara pulang. Mereka naik ke mobil sesaat sebelum petir menyambar. 

Duaar!

Lara segera menutup kedua telinganya. Ia meringkuk dan memejamkan mata di kursi samping sopir. Petir selalu mengingatkan Lara dengan masa lalu. Ia tidak suka, ia benci dengan suara petir. 

Duaar!

Lagi. Petir menyambar. Hujan semakin deras turun ke tanah. 

Tubuh Lara bergetar. Air mata tidak berhenti menetes dari kelopaknya. 

Xander melepas sabuk pengaman, ia mencondongkan tubuh ke arah istrinya dan memeluk gadia itu. "Semua akan baik-baik saja." Ia mengecup kepala Lara. Menenangkan. 

Tubuh Lara perlahan lebih tenang. Namun, ia masih terlonjak kaget ketika suara petir terdengar. "Tuan, saya kangen Leo. Dia selalu memeluk saya seperti ini ketika ada petir." Lara mendongak. "Bisakah Tuan mencari keberadaan Leo?" 

Xander menatap lembut istrinya. "Kamu sayang dia?" 

Lara mengangguk. "Anda mirip sekali dengan Leo. Tapi gak mungkin kalau Leo adalah Anda, kan?" 

"Saya ...." Xander tidak meneruskan kata-katanya. 

"Leo punya tanda lahir di pipi kiri, matanya seperti punya Tuan. Dan ada tanda luka di lengan kiri." Lara mengungkapkan ciri-ciri Leo kepada suaminya. "Tolong carikan dia, Tuan. Saya hanya ingin sekali saja ketemu dengan Leo." 

"Oke. Kamu pasti akan bertemu dengan Leo nanti." 

Bersambung ...