"Kau kalah, Arthur!"
Agatha tidak lagi melanjutkan pertarungan. Pedang yang menghunus di leher Arthur, seketika lenyap, bersamaan dengan hilangnya kekuatan yang sedari tadi menyelimuti tubuhnya.
Dia berbalik badan, melangkah menjauhi Arthur, "Tunggu!" Arthur memanggil. Secepat mungkin dia bangkit dan mengejar Agatha. Namun, sebelum dia dapat meraih tangan istrinya, tiba-tiba cahaya jingga kembali terlihat.
Agatha mengibaskan satu tangan, saat itu juga cahaya jingga menyapu Arthur, menghempaskan pria itu ke sisi lain, menghantam dinding dan berguling di lantai.
"Sudah kukatakan. Mulai hari ini tidak ada lagi hubungan di antara kita! Dirimu, sudah tidak memiliki hak untuk menyentuhku!"
Arthur terdiam sejenak, memandang Agatha dari kejauhan, sambil memegangi dadanya yang terasa sakit. Dia mencoba bangkit, lalu berjalan meski tertatih-tatih.
Cahaya jingga masih terlihat di tangan kiri dan kapan saja bisa menyerang Arthur andai Agatha, menginginkannya. Kendati demikian Arthur tidak menyerah begitu saja. Dia berusaha keras untuk bisa mendekat pada Agatha.
"Aku mohon, jangan pergi. Aku tahu, kata maaf saja tidak bisa menghilangkan kekecewaanmu terhadap diriku, tetapi aku mohon tetaplah tinggal di Istana ini. Rakyat Aqua sangat membutuhkan dirimu. Setidaknya pikirkan nasib mereka andai Orion datang menyerang. Siapa yang akan membantu mereka?"
Arthur memelas, langkahnya sangat berat. Cahaya jingga yang menyerang tubuhnya mengakibatkan sebagian tenaga dalamnya hilang. Hal yang memakan waktu cukup lama untuk bisa memulihkannya kembali.
"Saat ini kekuatanku tidak dalam kondisi prima. Perlu waktu untuk memulihkannya. Aku hanya berharap kau tetap tinggal di Kerajaan ini. Hanya dirimu satu-satunya harapan mereka. Haruskah aku memohon di kakimu, agar kau mau memaafkan semua yang terjadi tadi?"
Arthur tersungkur di kaki istrinya, buru-buru Agatha melangkah mundur. "Apa yang kau lakukan? Percuma saja kau berlutut di kakiku karena sejujurnya, aku tidak akan pernah bisa memaafkannya. Keputusan yang kuambil sudah tidak bisa ditarik kembali. Diriku tidak akan tinggal di bawah langit yang sama, dengan seseorang yang telah berniat melukai anaknya sendiri."
Agatha menundukkan kepalanya. Pandangan dia dengan Arthur saling bertemu, "Aku tidak lagi memiliki keyakinan untuk tetap tinggal di sini. Terutama setelah tahu, kau lebih mementingkan harga diri dibandingkan kebahagiaan."
Agatha menutup perkataannya, selanjutnya dia berbalik badan, kembali menjauhi Arthur.
Pria itu terdiam untuk beberapa saat. Menyadari bahwa selama ini dirinya, bukanlah Ayah, atau Suami yang baik. Memang benar, dia dikenal sebagai Raja yang adil dan bijaksana. Akan tetapi, hanya karena keegoisan semata, akhirnya dia harus kehilangan istri serta anaknya.
Sebelum akhirnya Arthur bisa mengatakan maaf, saat itu juga cahaya hitam disertai angin kencang, tiba-tiba datang. Arthur sampai menutup matanya karena debu, yang berhembus sangat menyulitkan penglihatannya. Agatha tidak terlihat sejauh mata memandang, memaksa Arthur segera bangkit dan mencari keberadaan istrinya tersebut.
"Tunggu!"
Teriakan Arthur, membuat Agatha menoleh. Tidak banyak kata yang dia katakan. Senyumannya juga benar-benar menghilang.
Cahaya hitam itu memiliki lubang besar di bagian tengahnya. Ini disebut 'Lubang Hitam' yang dapat menghisap semua apa pun di sana.
Agatha memang sengaja membuat Lubang Hitam tersebut. Arthur mengatakan sebelumnya, bahwa seluruh penjuru Planet Airraksa telah dipasang Dinding Kekuatan Lunar. Siapa saja yang menyentuhnya dan berniat keluar dari Planet Airraksa, maka Orion akan mengetahuinya. Itu sebabnya Agatha membuat Lubang Hitam, agar kepergiannya tidak diketahui Orion.
Arthur terus berteriak. Nyatanya itu sama sekali tidak membuat Agatha berbalik badan. Langkanya kian pasti, tidak peduli embusan angin kencang, serta benda-benda yang berterbangan, satu demi satu memasuki Lubang Hitam tersebut.
"Berhenti!" Arthur berusaha berlari, tetapi elemen Angin yang dikuasainya tidak stabil, memaksa dirinya sulit untuk menembus kencangnya hembusan angin yang tercipta dari Lubang Hitam.
Orion bisa saja ikut tersapu ke dalam sana andai dirinya, tidak menggunakan kekuatan Gravitasi, yang membuat tubuhnya dapat stabil di permukaan lantai.
"Kau tidak akan bisa mengejarku. Selamat tinggal Arthur. Semoga kau bisa memimpin Kerajaan ini lebih baik lagi. Sampai di sini perjumpaan kita, Arthur. Terima kasih atas semua hal yang telah kau berikan padaku."
Agatha menatap lama Arthur dari kejauhan, "Aku akan pergi jauh, ke tempat yang tidak akan kau ketahui. Di tempat baru itulah aku akan merawat anak ini dengan penuh kasih sayang."
Agatha mengelus perut yang mulai terlihat buncit itu. Arthur tidak bisa menahan air matanya. Jika saja, kekuatannya tidak hilang, maka dia bisa menahan Agatha untuk tidak pergi. Sekarang dirinya terlalu lemah untuk melakukan hal tersebut.
"Jika, kau pergi, lalu bagaimana dengan diriku yang masih memerlukan dirimu, sebagai pendampingku? Lalu, apa yang harus aku katakan andai Rakyat Aqua, bertanya di mana Ratu-nya berada? Aku harus menjawab apa?"
Agatha tidak langsung menjawabnya. Terdiam untuk beberapa saat, sambil memejamkan mata. Sebelum akhirnya dia mengelah napas panjang.
"Sejak awal, kau yang sudah memulainya, Arthur. Hatiku sudah sangat kecewa. Aku tidak lagi bisa kembali padamu. Itu tidak mungkin aku lakukan Arthur. Percayalah, aku tidak membenci Rakyat Aqua, rasa cinta terhadap mereka akan tetap ada sampai kapan pun."
Dia telah berdiri tepat di bibir Lubang Hitam, "Tidak ada kata yang bisa kuucapkan. Hanya sedikit harapan, semoga kau bisa hidup bahagia. Selamat tinggal, Arthur."
Agatha meleburkan dirinya ke dalam sana, setelah itu Lubang Hitam tersebut hilang, bersama dengan Agatha di dalamnya. Benda yang semula berputar-putar akhir berjatuhan. Arthur pun ikut tersungkur. Dia terlalu banyak mengeluarkan energi, sampai kakinya tidak lagi bisa menopang tubuhnya.
"Agatha!"
Dia meneriaki langit. Tidak terlihat adanya tangisan, yang tampak sekarang adalah penyesalan yang teramat menyiksa dirinya.
Arthur tidak menduga, berawal dari perbincangan santai, lalu berlanjut dengan serius dan pada akhirnya berakhir dengan penyesalan.
Tidak berselang lama, seorang pria memakai Zirah besi berwarna perak, dengan tombak di tangan kanannya, mendatangi Arthur.
"Tuan!"
Dia salah satu prajurit yang ada di kerajaan Aqua. Arthur mengangkat wajahnya, menyeka matanya yang mulai basah.
"Ada apa?"
Prajurit itu terdiam, sebelum akhirnya mulai bercerita, "Pasukan Raja Orion telah datang, Yang Mulia. Jarak mereka hanya satu kilometer dari gerbang utama Istana," lapornya selesai.
Arthur meninggikan alisnya. Dalam waktu bersamaan dia memasang kewaspadaan yang tinggi. Seketika tubuhnya bangkit, membusungkan dada dan mengangkat bahunya.
"Kalau begitu segera persiapkan pasukan. Perintahkan prajurit Elit untuk berjaga di depan gerbang utama Istana, aku yang akan memimpin langsung mereka!" tegas Arthur, dengan nada bicaranya yang telah dialiri tenaga dalam.
Prajurit itu mengangguk pelan, buru-buru dia bangkit, selanjutnya pergi meninggalkan Arthur dan mempersiapkan, pasukan seperti yang sudah Arthur perintahkan.