webnovel

Bagian 64

Shinta mengepalkan tangan dan menggemeletukkan gigi. Amarah menyeruak. Dia masih ingin meminta penjelasan Putri. Namun, pintu panti telah tertutup rapat. Suaranya sampai serak karena terus memanggil.

Seperti dugaannya, omongan Rani hanya benar setengahnya saja. Kini, Shinta tak tahu harus bagaimana. Pengkhianatan Putri tentu menorehkan luka di hati. Dia harusnya membenci sang guru menari, tetapi entah kenapa masih ada sesuatu yang terasa mengganjal.

Tepukan di bahu membuyarkan lamunan Shinta. Dia seketika berbalik. Matanya membulat lebar.

"Bang Aldi ...."

"Maaf, Abang harusnya sudah bersiap untuk menghadapi siasat Gilang dan Rani. Maaf, Shinta. Abang datang terlambat. Sekarang, berdirilah dulu."

Aldi membantu adiknya berdiri. Shinta hampir terjatuh. Pikirannya belum benar-benar stabil karena jiwa masih terguncang. Akibatnya, tubuh juga ikut terkena imbasnya.

Setelah Shinta berhasil berdiri, Aldi mengajaknya masuk ke mobil. Aldi meminta Supri membawa mereka ke kafe Paijo. Adapun mobil Shinta diserahkan kepada Rama untuk diantar kembali ke rumah.

Sepanjang perjalanan, Kakak beradik itu terjebak keheningan, hingga Shinta bergumam lirih, "Bang, Kak Putri ...."

Aldi menghela napas. "Shinta, kamu ingat cerita Abang soal orang tua Wulan?" tanyanya hati-hati.

"Orang tua Kak Putri ... kejadian kebakaran itu, Bang?" Shinta malah balik bertanya.

"Iya. Tapi, Abang belum menceritakan semuanya ke kamu. Abang takut kamu akan kaget, tapi sepertinya sekarang kamu harus tahu."

"Jadi, apa yang harus aku tau, Bang? Rahasia apa yang Abang sembunyiin? Abang tuh kebiasaan kalo cerita selalu setengah-setengah," gerutu Shinta sambil menyilangkan tangan di depan dada. Wajah manisnya menjadi cemberut.

Aldi terdiam lagi dalam waktu yang cukup lama sebelum kembali berbicara, "Kebakaran itu bukan kecelakaan, Shinta. Kebakaran yang merenggut nyawa orang tua Wulan disengaja."

Shinta seketika melotot. Dia menarik lengan Aldi tanpa sadar. Hampir saja sang kakak terbentur jendela.

"Apa maksud, Abang? Disengaja gimana, Bang? Bukannya di beritanya karena korsleting listrik?" cecar Shinta dengan wajah merah padam.

"Paman Wulan dibayar untuk melakukannya oleh Om Bima agar proyek Mall Maju Jaya bisa selesai lebih cepat."

"Gila, Bang! Om Bima sudah gila!"

Wajah Aldi berubah sendu. "Sayangnya, nama Om Bima tetap bersih karena nama Eyang Dirja dan papa kita yang menjadi penanggung jawab proyek itu."

"Jadi, Kak Putri mengira Eyang dan Papa yang sudah ...." Shinta tak kuasa melanjutkan ucapannya.

"Iya, Shin," sahut Aldi. "Oleh karena itu, dia membantu Om Bima menjadi penerus agar PT. Karya Lestari yang dibencinya bisa kolaps."

Shinta mendelik. "Kalo Abang tau ini kesalahpahaman, kenapa enggak diluruskan sih, Bang," geramnya.

"Apa Wulan akan langsung percaya? Tidak, Shinta. Hanya akan terdengar seperti berkilah baginya."

Shinta mendengkus. "Lalu, kita harus gimana, Bang?"

"Nah, ini Abang mau ngajak kamu berkaitan dengan itu. Abang juga yakin cepat atau lambat Wulan akan sadar siapa pelaku penghasutan sebenarnya jika terus bersama Om Bima."

"Tapi, gimana kalo Kak Putri kenapa-kenapa, Bang? Tau sendiri Om Bima kayak apa."

"Dia cukup cerdas untuk tidak bertindak gegabah. Sekarang, kita fokus apa yang bisa dilakukan."

Shinta masih ingin protes. Namun, laju mobil perlahan melambat, hingga akhirnya berhenti di halaman kafe Paijo. Mereka telah sampai tujuan. Aldi segera mengajak Shinta masuk ke kafe.

"Kok, sepi, Bang?" celetuk Shinta begitu mereka berjalan ke arah pintu masuk.

"Paijo sengaja menutup kafenya untuk diskusi hari ini," sahut Aldi. "Ayo, Dek. Mereka sudah menunggu kita dari tadi."

Mereka telah memasuki kafe. Shinta seketika melongo. Ternyata, bukan hanya Tyas dan Paijo, tetapi Asih, Sulistyawati, bahkan emak Paijo ikut bergabung. Aldi menggeleng pelan melihat adiknya terbengong-bengong. Dia segera mengajak Shinta bergabung dalam rapat persiapan kejutan untuk Putri.

"Jadi, apa yang bisa kita lakukan, Bang?" cecar Shinta dan Tyas kompak. Keduanya menodong Aldi dengan tatapan tajam.

"Coba perhatikan ini." Aldi membentangkan selembar karton di meja. "Proyek ini sudah disiapkan Eyang Dirja dan papa kita, Shin," jelasnya.

Shinta, Tyas, dan Paijo mengerutkan kening, mencoba menghubungkan gambar di karton dengan permasalahan Putri. Asih dan Romlah juga tak kalah bingung. Mereka memutuskan untuk menjadi pendengar saja.

Hanya Sulistyawati yang tercenung. Dia mengelus dagu dan bergumam, "Lho, ini, kan, mirip ...."

"Benar sekali, Eyang. Mirip tempat paling membahagiakan di masa kecilku," sahut Aldi. "Eyang Dirja dan Papa sudah menyiapkan sampai sedemikian rupa. Bukankah akan menjadi kejutan yang sangat bagus untuk Putri saat dia kembali ke pihak kita lagi?"

Shinta menarik-narik lengan kemeja sang kakak, meminta penjelasan. Aldi pun segera menjelaskan gambar tersebut dan rencana yang telah dibuatnya. Semua menyambut dengan antusias. Paijo dan Tyas jangan ditanya. Mereka bahkan sudah hendak langsung melaksanakan rencana tersebut.

"Sabar, dulu Tyas, Paijo. Rencana ini akan kita mulai seminggu lagi," tegur Aldi sambil menahan tawa melihat dua sejoli itu sudah berdiri dengan tangan terkepal ke udara.

***

Putri menghela napas berat. Judul-judul berita di media massa online benar-benar memancing hujatan. Isu yang menjerat Aldi semakin simpang siur. Hati Putri seolah dipukul keras dengan godam. Rasa bersalah bercampur kerinduan menyiksanya.

Sejak seminggu dari kedatangan Shinta ke panti, Aldi tiba-tiba menghilang. Pekerjaannya di kantor bahkan diserahkan kepada wakil presiden direktur dan asisten pribadinya. Kabar burung tentang pemuda itu pun semakin tak terkendali. Aldi diisukan terjangkit virus HIV akibat berganti-ganti pasangan sesama jenis dan sedang masa pemulihan diri.

"Bu Guru? Bu Guru?" Suara polos menyentak kesadaran.

Putri tergagap. Dia seketika mengembuskan napas lega begitu melihat wajah manis para murid yang tampak kebingungan. Putri segera tersenyum semanis mungkin. Dengan cepat, gadis itu mengendalikan suasana dan membuat nyaman anak-anak.

Beberapa anak menanyakan ketidakhadiran Shinta. Putri menjawab diplomatis bahwa Shinta sedang ada urusan penting sehingga harus absen.

"Hari ini, kita akan belajar tari yang berasal dari Sulawesi. Namanya, Tari Pakarena," tutur Putri memulai pelajaran menari hari itu.

Putri terlebih dulu membagi anak-anak ke dalam kelompok yang terdiri dari empat orang. Tari Pakarena memang ditampilkan oleh empat penari. Seperti biasa, sebelum memulai latihan, Putri akan memberikan beberapa informasi terkait tari yang akan dipelajari.

"Tari Pakarena ini memiliki kisah yang menarik," tuturnya mengawali penjelasan.

Anak-anak menyimak dengan seksama. Tak ada satu pun yang bicara. Mata mereka fokus ke depan.

"Kisah dalan tari ini adalah kisah manusia dengan penghuni langit, yaitu bidadari yang memberikan pelajaran kepada manusia mengenai cara-cara bertahan hidup di muka bumi. Oleh karena itulah, masyarakat Gowa menganggap gerakan-gerakan dalam tari ini sebagai ungkapan terima kasih kepada para penghuni langit," jelas Putri panjang lebar.

"Nah, kita langsung praktek sambil Ibu jelasin teorinya."

Putri menyalakan musik. Suara gandrang dan suling terdengar nyaring dan begitu keras. Anak-anak sedikit kaget. Putri menurunkan volume pemutar musik.

"Iringan musik dalam Tari Pakarena memang kencang dan keras, bahkan kedengarannya seperti berlawanan dengan tarian yang bercirikan kelembutan."

"Lho, kenapa gitu, Bu?" celetuk salah seorang murid.

"Suara musik yang keras mencerminkan kaum pria masyarakat Sulawesi Selatan yang keras dan tegas," jelas Putri.

Para murid mengangguk-angguk.

"Sementara untuk gerakan penari sangat lembut dan halus sebagai cerminan karakter wanita Sulawesi Selatan," tambah Putri lagi sambil memperagakan salah satu gerakan. "Nah, apa sudah bisa kita mulai?"

"Siap, Buuu!"

Latihan menari pun dimulai. Tari Pakarena terdiri dari 12 babak. Meskipun setiap babak agak sulit dibedakan karena gerakan tarian yang sangat lembut dan monoton, tetap ada beberapa gerakan penanda. Misalnya, gerakan pada posisi duduk adalah sebagai tanda awal dan akhir dari tarian. Gerakan berputar mengikuti arah jarum jam menggambarkan siklus kehidupan manusia. Adapun penanda gerakan lainnya berupa gerakan naik turun yang memiliki makna cerminan kehidupan.

Gerakan dalam Tari Pakarena berpatokan pada penari terdepan (Pauluang). Nyanyian dalam tari juga sangat menentukan judul dan jenis Tari Pakarena yang akan dibawakan. Adapun untuk penyusunan iringan musik ditentukan oleh seorang sutradara yang disebut Anrong Guru.

"Ada aturan khusus yang berlaku dalam tarian ini, yaitu tidak boleh membuka mata terlalu lebar atau mengangkat kaki terlalu tinggi," jelas Putri sembari memberikan contoh gerakan yang dilarang.

"Siap, Buuu!"

Putri larut dalam kesibukan mengajari anak-anak. Masalah Aldi dan kegundahan hatinya bisa terlupakan untuk sementara. Tak terasa hari sudah semakin sore. Anak-anak juga terlihat lelah. Latihan menari pun diakhiri.

"Sampai di sini dulu latihan hari ini. Sampai ketemu lagi minggu depan," tutur Putri mengakhiri latihan menari.

Anak-anak pun satu per satu berpamitan pulang, hingga halaman panti terasa kembali sunyi. Putri hampir masuk ke rumah. Namun, suara langkah kaki mendekat membuatnya berhenti sejenak dan berbalik. Saat melihat wajah tampan dengan senyum tebar pesona itu, dia diam-diam menghela napas berat.

Gilang telah berada di hadapan Putri. "Luar biasa banget, Put. Tarian kamu benar-benar indah. Saya sampai tidak bisa melepaskan pandangan, seperti melihat bidadari turun dari langit," cerocosnya terus memuji dengan berbagai kata manis dan bersayap.

"Terima kasih pujiannya, Pak. Tapi, ada apa, ya, Pak? Apakah ada pekerjaan yang harus saya kerjakan di akhir pekan?" sahut Putri.

Gilang tersenyum manis. Mata elangnya menatap dalam. Biasanya, para gadis akan terhanyut, lalu menjadi dungu dalam sekejap. Tentu saja, jurus andalan Gilang itu tak mempan. Putri malah ingin muntah di tempat.

"Iya, ada. Berkencan dengan saya," sahut Gilang seraya mengedipkan sebelah matanya. "Jadi, apa Nona Putri bisa pergi bersama saya?"

Putri mengumpat dalam hati. Dia bisa saja menolak dengan alasan lelah setelah melatih anak-anak menari. Namun, Gilang justru akan semakin di atas angin. Putri yakin pemuda itu akan bertamu.

"Umm ... saya ...."

***