webnovel

Bagian 44

"Ran, kira-kira bagus yang warna biru atau ijo, ya?" tanya Tiana sambil menenteng dua dress kasual.

Dia memang tengah menemani Rani belanja seperti biasa. Daripada bengong, Tiana pun ikut membeli. Kebetulan, akan ada pesta ulang tahun keponakannya seminggu lagi. Rani yang ahli mode sangatlah membantu.

Sekali menyelam minum air, pikir Tiana. Namun, orang yang ditanya tak menyahut. Tiana pun mengalihkan pandangan. Dia seketika mengerutkan kening.

Ya, Rani tampak terpaku dengan wajah yang sangat menyeramkan dan hidung mendengkus. Tiana menjadi sedikit takut. Dia mencoba menepuk pelan pundak Rani.

"Ran? Rani? Lo kenapa?"

"Sial*n! Dasar lont* murahan!" umpat Rani.

Tiana tak lagi takut, malah menjadi tersinggung. "Heh, sembarang lo, Ran! Masa gue dikatain lonet sih! Begini-begini, kiss aja gue enggak pernah tau!" protesnya.

Rani tersentak. Saat dia menoleh ke samping, Tiana tengah melotot sambil terus mengomel, menjelaskan dirinya yang tak pernah pacaran kelewat batas. Rani menekan kening dan mendecakkan lidah.

"Bukan elo yang gue maksud, Dudul!"

"Lah? Terus lagi latihan akting peran jahat begitu?" sindir Tiana yang masih gondok.

Rani mengarahkan kepala Tiana agar menghadap ke arah Aldi dan Putri. "Noh! Cewek tuh yang gue maksud!" gerutunya.

Tiana seketika membulatkan mata. Mulutnya terbuka sangat lebar, hampir saja dimasuki seekor nyamuk. Pemandangan di depan sana memang tak biasa dan sangat mengejutkan.

Senior mereka, Renaldi Joko Permana semasa kuliah dikenal sebagai pria sedingin kutub utara. Jangankan bermesraan dengan wanita, melirik primadona kampus saja tidak. Namun, kini Tiana menyaksikan Aldi tengah tertawa dan bercanda mesra, juga menatap dengan sorot mata penuh perhatian kepada seorang gadis. Pemuda itu juga menggenggam erat jemari sang gadis seolah takut akan digondol orang.

"Wow! Bang Aldi bisa semesra itu sama cewek!" seru Tiana tanpa sadar.

Dia langsung memukul mulut sendiri saat merasakan aura panas dari samping kanan. Rani memang tengah melotot seperti akan menelannya bulat-bulat.

"Ah, sepertinya cowok itu cuma mirip Bang Aldi aja, Ran. Enggak mungkin, kan, orang berubah tiba-tiba?"

"Enggak, Tiana! Itu beneran Bang Aldi! Cewek gembel itu pasti pake pelet!" tuduh Rani seenaknya.

"Ya elah, Ran. Hari gini masih percaya begituan lo ah. Lagian lo, kok, bilang tuh cewek gembel? Siapa tau konglomerat juga, jangan sampe kejadian kek adeknya Bang Aldi kemarin."

"Aduh, Tiana! Masa lo enggak kenal, sih? Itu tuh cewek pengamen yang di taman dulu! Sama elo aja masih cantikan elo, mana mungkin Bang Aldi bisa kegoda kalo enggak pelet!" gerutu Rani. Dia mulai dongkol dengan kesantaian sang kawan.

Tiana memicingkan mata. Dia menepuk kening. Ternyata, Rani benar. Gadis yang bersama Aldi memang salah seorang pengamen di taman. Tiana mendadak menjentikkan jari ketika teringat hal apa yang ditampilkan Putri dan teman-temannya saat mengamen.

"Gue tau nih kayaknya alesan Bang Aldi bisa suka dia!" seru Tiana. "Tari tradisional, Ran. Bang Aldi bukannya punya perhatian besar, ya, kalo soal kesenian tradisional."

Rani terdiam. Meskipun gengsi untuk mengakui, dia membenarkan pendapat Tiana. Seperti kata sahabatnya, Aldi dikenal sebagai pengusaha yang menggelontorkan dana besar untuk pelestarian kesenian tradisional, terutama seni tari. Beberapa sanggar tari yang dibantunya telah banyak membuahkan prestasi. Rani sendiri juga sudah mendengar dari Aldi bahwa penyebab gosip penyuka sesama jenis itu berasal dari foto saat Aldi menampilkan pertunjukan tari yang membuatnya menggunakan kostum penari wanita.

"Apa gue juga harus belajar tari tradisional biar Bang Aldi suka?" gumam Rani dalam hati. Namun, dia cepat menggeleng. "Enggak banget deh jadul gitu! Mending gue ke dukun minta ajian pelet."

"Ran, Rani?" Tiana mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah Rani.

"Apaan sih lo?" ketus Rani.

"Ya, gue cuma takut aja lo kesambet. Tiba-tiba bengong gitu."

"Sialan lo ah!" umpat Rani. Dia menghela napas berat, tetapi mendadak semringah.

"Lah, lah! Kok, elo jadi senyum-senyum? Lo masih waras, kan, Ran?" cecar Tiana cemas. Meskipun Rani lebih sering resek, dia benar-benar takut sahabatnya menjadi gila karena cinta.

"Tiana ish! Gue senyum karena tau hubungan Bang Aldi sama tuh cewek gembel enggak bakal direstui sama Eyang Sulis," jelas Rani sembari menyeringai.

Tiana mengerutkan kening. Rani pun menceritakan kembali jebakan dan fitnah yang dilakukannya bersama sang ibu untuk menyingkirkan Putri dari kediaman Dirja. Wajah manisnya tak bersisa, tertinggal kebengisan dan seringaian mengerikan yang meremangkan bulu kuduk. Tiana sampai tanpa sadar merapatkan jaketnya.

"Jadi gitu deh, Tiana."

"Ah gitu, ya."

Tiana merasa iba pada nasib si pengamen. Namun, dia tak mungkin terang-terangan menunjukkannya. Percuma saja berdebat. Persahabatan mereka menjadi taruhan, padahal Aldi dan Putri juga sudah tidak terlihat lagi. Akhirnya, Tiana memilih untuk mengalihkan pembicaraan.

"Eh, ngapain juga kita ngebahas cewek itu mulu? Mending lo bantuin gue milih nih gaun deh," cetusnya.

"Iya juga sih. Mana gaunnya?"

Tiana mengangkat dua dress yang sedari tadi menganggur di tangan.

Rani mengelus dagu. "Hmm ... Yang biru lebih cocok sama karakter lo deh."

"Oke, gue ambil yang biru," putus Tiana. "Gue coba dulu, ya, ukurannya."

Rani mengangguk. Tiana meminta pramuniaga toko untuk mencarikan dua ukuran. Barulah, dia masuk ke kamar pas. Sementara itu, Rani mengeluarkan ponsel dan menghubungi Gilang.

"Ada apaan, Ran? Dah lama lo gak nelepon gue." Suara ceria khas Gilang langsung terdengar begitu panggilan tersambung.

"Kita harus ketemu, Bang. Ada hal penting yang mau Rani bicarain," tutur Rani to the point.

"Oh oke oke, ketemuan di mana nih? Tapi, gue bisanya minggu depan di akhir pekan. Gila beudh si Aldi bikin gue punya beban kerja seabrek," sahut Gilang sambil mengeluhkan sifat profesional Aldi yang membuatnya tak bisa main-main.

"Iya, Bang. Rani juga jadwalnya padet. Hari Minggu deh, jam 10 di kafe yang biasa."

"Oke, siip. Sampai ketemu nanti, Ran."

Tuuut

Belum sempat Rani menyahut, Gilang sudah menutup telepon. Namun, Rani bisa memahami. Sempat terdengar suara wanita bernada ceria sebelum panggilan berakhir. Berarti, Gilang tengah melancarkan jurus rayuan maut kepada gadis polos. Telepon dari Rani bisa menyebabkan masalah.

Kebetulan, urusan Tiana juga telah selesai. Dia menghampiri Rani dengan kantong belanjaan berlogo toko yang mereka kunjungi.

"Gue udah selesai, Ran, habis ini ke mana?"

"Makan siang dulu kayaknya," sahut Rani.

"Tempat yang biasa?"

Rani mengangguk. Mereka pun meninggalkan toko gaun dan menuju restoran ternama yang terkenal dengan menu salad-nya. Rani tengah diet. Dia tidak akan mau menyantap makanan berlemak.

***

Shinta sudah mengganti saluran televisi sampai tiga kali. Namun, dia belum juga menemukan acara yang menarik. Dia menghela napas. Rasa bosan memang sangat mengganggu untuk gadis aktif sepertinya.

"Kenapa latihan nari harus libur, sih?" gerutunya.

Putri memang meliburkan latihan. Dia harus menjalankan tugas sebagai pacar pura-pura Aldi. Namun, Shinta tidak tahu alasan sebenarnya karena sang guru hanya menyebutkan sedang ada urusan penting.

Suara bel membuyarkan lamunan Shinta. Dia bangkit malas dari sofa dan menuju pintu. Asisten rumah tangganya tengah sibuk di dapur, sehingga Shinta tak enak jika harus memerintah untuk sekedar membukakan pintu.

Akhirnya, Shinta sudah sampai di depan pintu dan segera membukanya. Dia terperangah.

"Lho, Bang Paijo?"

"Dek Shinta?"

Keduanya terjebak hening. Shinta masih mencoba mencerna apa yang terjadi. Sementara Paijo tiba-tiba menepuk kening.

"Ah! Pantas berasa gak asing. Ternyata, Shinta yang imut, adeknya Aldi! Udah gede kamu, Dek, Abang pangling," cerocosnya.

"Tunggu dulu. Ini Bang Paijo kenal Bang Aldi?" Shinta masih belum bisa memahami situasi yang dialaminya.

"Ah, dulu Aldi juga enggak ngenalin Abang. Ini Bang Paijo Wiryawan, Shin. Yang dulu pake kacamata tebal, cupu."

"Ya ampun, Bang Paijo yang pinter itu! Abang berubah banget, aku jadi enggak ngenalin!" seru Shinta.

Paijo menggaruk kepala yang tidak gatal. "He he he gitu deh, Dek, supaya keliatan keren–"

Shinta tersedak. Paijo mengerutkan kening. Dia sedikit sedih. Kakak beradik menunjukkan ekspresi yang sama saat mendengar dia mengubah penampilan agar lebih keren.

"Apakah seburuk itu gaya baru gue?" gumamnya dalam hati.

Menyadari perubahan raut wajah Paijo, Shinta merasa bersalah dan cepat mengalihkan pembicaraan. "Nyariin Bang Aldi, Bang?" tanyanya cepat.

"Iya, Shin. Tadi udah telepon. Katanya masih di jalan, disuruh nunggu dulu."

"Oh, kalo gitu masuk dulu, Bang!" ajak Shinta.

Shinta masuk lebih dulu. Paijo mengekor dan duduk di sofa ruang tamu setelah dipersilakan. Shinta juga meminta tolong kepada asisten untuk membuatkan minuman.

Tak lama kemudian, Aldi datang. Dia pun asyik mengobrol dengan Paijo. Shinta segera permisi dan kembali ke ruang keluarga.

Sebenarnya, Shinta merasa sedikit senang. Kakaknya biasa bersikap kaku dan membahas topik penting saja. Namun, saat bersama Paijo, Aldi terlihat lebih rileks, juga bisa membicarakan hal-hal sepele.

"Jadi, lo ngerasa bingung gara-gara pacar baru lo?" celetuk Paijo.

Telinga Shinta seketika berdiri. Dia sudah sering mendengar isu sang kakak yang beberapa waktu terakhir sering tertangkap berkencan. Namun, Shinta santai saja karena sudah diberitahu tentang pacaran kontrak. Ternyata, kakaknya malah menunjukkan gejala seperti orang jatuh cinta.

Shinta tak lagi konsentrasi menonton TV. Dia mengurangi volume suara televisi dan menajamkan pendengaran. Shinta ingin mencari tahu sebanyak mungkin informasi tentang pacar Aldi.

Sementara itu, di ruang tamu, Aldi dan Paijo semakin serius membicarakan sosok pacar bayaran. Aldi menceritakan keanehan pada dirinya. Dia merasa telah mengkhianati Wulan tercinta.

"Apa karena dia mirip Wulan, ya, Jo?"

"Mungkin aja, Al. Tapi, lo dari tadi cerita, nama tuh cewek enggak disebutin. Namanya siapa, sih?"

"Namanya ...."

***