webnovel

Bagian 38

Taksi online yang ditumpangi Putri berhenti di depan panti asuhan. Seperti ucapan Tyas di telepon, mobil Sulistyawati memang tengah terparkir di halaman. Putri bergegas membayar ongkos dan melangkah cepat menuju teras. Baru di depan pintu, sudah terdengar tawa riang anak-anak, juga suara khas milik Sulistyawati.

"Eyang sudah lama tidak ke sini, jadi kangen kalian. Kalian kangen tidak sama Eyang?"

Koor anak-anak menyahut, "Kangen dong, Eyaaang."

"Eyang, Eyang, kenapa Eyang jarang ke sini? Eyang sehat-sehat aja, 'kan?"

"Eyang sehat, cuma ada orang jahat yang mau mengganggu Kak Putri kalian–"

Putri langsung masuk sembari mengucapkan salam. Dia tak ingin anak-anak mendengar soal makhluk-makhluk julid itu. Obrolan di dalam terhenti. Mereka kompak menoleh ke arah pintu.

"Horeee, Kak Putri pulang!"

Beberapa anak berlarian memeluk Putri. Binar-binar bahagia memancar dari sorot mata mereka. Putri mengacungkan tas belanjaan.

"Liat, Kak Putri bawa apa buat kalian?"

"Waaah! Asyiiik!"

Putri membagikan satu per satu barang yang telah dibelinya kepada masing-masing anak. Tawa riang memenuhi ruangan. Mereka membuka bungkusan dengan antusias, lalu saling memamerkan. Putri tersenyum kecil melihat keriangan bocah-bocah itu. Hatinya terasa hangat. Seperti halnya kesedihan, ternyata kebahagian juga bisa menular.

Namun, dia tiba-tiba merasa merinding. Saat mengalihkan pandangan, Putri melihat Sulistyawati tengah melotot. Putri menduga Tyas sudah keceplosan soal keadaan Asih dan tawaran pekerjaan aneh yang akan diterimanya. Dia hanya bisa pasrah saat Sulistyawati mendekat.

"Wulan, kita perlu bicara," tegas Sulistyawati.

Putri tak punya pilihan lain terkecuali menurut. Tyas memberi isyarat meminta maaf dengan menangkupkan tangan di depan dada. Putri menghela napas sebelum mengajak Sulistyawati ke kamarnya, tentunya setelah memberikan alasan masuk akal kepada anak-anak panti. Tyas mengekor.

"Wulan, Eyang sudah dengar semuanya, kecelakaan yang menimpa Bu Asih."

Putri mendelik ke arah Tyas. Sahabatnya itu hanya menunduk dalam. Meskipun merasa bersalah, Tyas heran, kenapa Sulistyawati memanggil dengan nama Wulan. Dia sangat penasaran, tetapi berusaha keras menahan diri untuk tidak bertanya karena momennya tidak pas.

"Jangan menyalahkan Tyas. Eyang yang maksa dia cerita!" tegas Sulistyawati. "Soalnya, cucu yang Eyang sayangi memilih untuk menutupi semuanya," sindirnya.

"Eyang, maaf .... Aku hanya tidak ingin merepotkan Eyang."

"Kapan Eyang pernah merasa repot?"

Akhirnya, Putri pasrah dan tak lagi beralasan. Dia hanya berusaha meminta maaf dengan tulus. Sulistyawati menghela napas, lalu mengusap rambut Putri dengan lembut.

"Kamu tidak boleh menolak bantuan Eyang."

"Baik, Eyang."

"Alhamdulillah, Kak Putri enggak perlu jual diri ke cowok kaya itu!" seru Tyas keceplosan.

Sulistyawati seketika mendelik ke arah Putri. Sementara Putri memelototi Tyas, juga mencubit lengan sahabatnya itu. Tyas mengaduh dan mengusap lengan. Namun, dia segera tersadar, lalu menelan ludah berkali-kali.

"Apa maksud Nak Tyas jual diri? Wulan ... kamu tidak melakukan hal nekat seperti itu, 'kan?" desis Sulistyawati tajam.

"Bukan begitu maksudnya, Eyang. Sebenarnya ...."

"Tunggu!" sergah Sulistyawati. Dia mengalihkan pandangan kepada Tyas. "Sebaiknya, Nak Tyas yang menjelaskan."

"Ah, itu begini ...."

Tyas pun memulai cerita tentang aksi Putri yang menipu seorang pemuda kaya. Akhirnya, Putri malah menerima tawaran menjadi pacar pura-pura. Bagi Tyas, seorang kekasih harus didapatkan dengan dasar cinta. Oleh karena itu, dia menganggap pacaran kontrak mirip dengan menjual diri.

"Jangan terima pekerjaan aneh begitu! Biaya rumah sakit Eyang yang tanggung! Soal pekerjaan nanti Eyang Carikan lagi!" tegas Sulistyawati.

"Tapi, Eyang, aku sudah tanda tangan kontrak, nanti kalau mangkir bisa dipenjara," kilah Putri.

"Nanti Eyang sewa pengacara!"

"Kumohon, Eyang. Kasian juga cowok itu, dia benar-benar perlu pasangan untuk mempertahankan haknya."

"Wulan ...."

"Eyang, kumohon percayalah ...."

Putri menatap Sulistyawati dengan mata memelas. Dia terus membujuk dengan berbagai macam rayuan dan rengekan. Tyas sampai terbengong-bengong karena tak biasa melihat sang kawan bermanja-manja. Putri selalu menampilkan sikap yang cuek, dewasa, dan tenang, terkadang juga sedikit dingin.

"Baiklah. Tapi, ingat jangan sampai kamu dijahati laki-laki itu! Kalau ada yang mencurigakan langsung hubungi Eyang!" pesan Sulistyawati dengan agak keras.

"Iya, Eyang. Tenang saja, aku bisa kok menjaga diri."

Sulistyawati menghela napas berat sampai tiga kali. Dia tahu hanya bisa berdoa agar Putri baik-baik saja. Gadis itu cukup keras kepala. Meskipun dilarang, Putri bisa saja malah melakukannya dengan sembunyi-sembunyi.

"Jadi, kapan rencananya Bu Asih akan di operasi lagi?" tanya Sulistyawati mengalihkan pembicaraan.

"Dokter belum memberikan jadwal secara pasti. Menurut beliau, dalam sebulan ini akan dilakukan pemeriksaan rutin untuk menentukan waktu yang tepat," jelas Putri.

Sulistyawati mengangguk-angguk. "Baiklah, nanti kamu kabari Eyang kalau sudah dapat jadwal pastinya."

"Siap, Eyang!"

"Jangan siap siap aja, nanti malah lupa mengabari!"

Putri menyengir lebar. "Ayo kita balik ke ruang nonton lagi, Eyang. Nanti anak-anak pada nyariin," ajak Putri.

Sebenarnya, dia hanya ingin terbebas dari interogasi lainnya. Untunglah, Sulistyawati setuju dan tidak mencium gelagat itu. Mereka pun keluar dari kamar, lalu kembali bergabung dengan keriangan anak-anak. Tyas mengekori masih dengan terbengong-bengong. Namun, dia juga cepat terhanyut dengan dalam canda tawa.

***

Hari operasi kedua Asih telah tiba. Putri, Tyas, dan Sulistyawati menunggu dengan resah di koridor rumah sakit. Kamar operasi masih tertutup rapat, tak ada tanda-tanda dokter akan keluar dari sana. Detik-detik yang berlalu terasa mencekik.

Suara pintu dibuka membuat mereka kompak berdiri. Seorang perawat keluar dari sana dan mendekat.

"Keluarga Nyonya Kinasih?"

"Iya, Sus. Saya anaknya," sahut Putri cepat.

"Apa di antara keluarga pasien ada yang bergolongan darah B positif? Hb Nyonya Asih tiba-tiba turun drastis, harus segera mendapat transfusi darah. Kami hanya memiliki 2 kantong persediaan golongan darah B, masih perlu 3 kantong lagi."

Putri mendecakkan lidah. Sugguh sial memang, tak ada satu pun anak panti bergolongan darah B. Sulistyawati menawarkan diri tetapi ditolak karena tidak mencukupi persyaratan tekanan darah dan usia.

Tangis Tyas seketika pecah. Tubuhnya merosot, hampir saja terbaring di lantai. Untunglah, Putri sempat menopangnya.

"Eyang, bisa minta tolong jaga Tyas dulu. Aku mau nyoba nyari darah ke PMI," pinta Putri.

Sulistyawati mengangguk. Dia segera mengambil alih Tyas dan memberikan pelukan menenangkan. Baru saja Putri hendak melangkah pergi, Paijo tiba-tiba datang dan mencegahnya.

"Tadi gue denger Bu Asih perlu golongan darah B Rhesus positif, kan? Biar gue aja yang pergi ke PMI. Lo di sini aja."

"Makasih, Mas."

Paijo mengangguk kecil, lalu melangkah cepat menuju parkiran. Tyas masih terisak dalam pelukan Sulistyawati. Putri terduduk lemas. Dia menatap langit dengan gamang.

"Ya Allah, tolong selamatkan, Bu Asih. Engkau pasti menyayangi hamba yang berhati mulia sepertinya, bukan?"

Sebait doa mengangkasa.

***