webnovel

Bagian 37

"Sampai di sini latihan kita. Ingat, jangan lupa apa yang sudah tadi Bu guru sampaikan," tutur Putri mengakhiri sesi latihan.

"Siap, Buuu!"

Putri terkekeh melihat kekompakan anak didiknya yang menggemaskan. Tak lama kemudian, mereka satu per satu berpamitan dan mencium punggung tangan Putri. Shinta menjadi murid terakhir yang berpamitan. Gadis itu sempat-sempatnya bermanja dulu. Dia baru benar-benar pulang ketika Rama memohon sampai sepuluh kali. Pasalnya, Aldi sudah menelepon berkali-kali.

Putri melepaskan selendang dari pinggang, duduk di lantai teras sambil berselonjor. Hari itu latihan pertama setelah lama vakum karena sibuk mengurusi Asih. Setelah operasi pertama berhasil, kondisi ibu asuh mereka itu memang sangat membaik, bahkan bisa di rawat jalan sambil menunggu jadwal operasi berikutnya. Anak-anak panti merawat Asih bergantian. Sekarang, Putri juga tidak perlu cemas soal biaya karena ada tawaran menggiurkan dari Aldi.

"Kak Putri! Kak Putri!" Panggilan dari Tyas membuyarkan lamunan Putri.

Dia menoleh dengan kening berkerut. Tyas sudah duduk manis di sebelahnya. Paijo yang entah datang dari mana juga ikut nimbrung tanpa diminta. Mereka menatap Putri dengan lekat.

"Cerita dong, Kak!" seru Tyas antusias.

"Cerita apaan?" tanya Putri.

"Bagaimana tadi pertemuan dengan cowok es batu itu? Yang ketemuan tadi pagi sama Kakak," cerocos Tyas dengan sorot mata menggebu-gebu.

"Ternyata, laki-laki itu tau kalo selama ini aku bohong."

Tyas terbelalak. "Eh? Terus, Kakak enggak dilaporin ke polisi, 'kan? Atau jangan-jangan dia bakal bayar preman-preman buat ngasih pelajaran?" cecarnya.

Dia langsung berdiri dan memasang kuda-kuda. Paijo yang duduk terlalu dekat sampai terkena sikut. Putri tergelak dibuatnya.

"Ish! Kakak malah ngakak! Kak Putri jangan keluar sendiri! Bahaya!"

Tawa Putri mereda. "Kamu kebanyakan nonton film, Yas. Laki-laki itu tidak marah. Dia malah menawarkan pekerjaan dengan gaji besar," sahutnya.

"Pekerjaan apa, Put?" celetuk Paijo sambil mengelus kening yang tadi tersikut Tyas.

"Pekerjaan baik-baik, kan, Kak? Jangan sampai dia bales dendam, lalu ngejual Kakak ke germo! Tunggu! Jangan-jangan memang seperti itu! Kakak belum terima tawarannya, 'kan?"

Putri kembali tak bisa menahan tawa. Dia sampai harus memegangi perut. Tyas bersungut-sungut sementara Paijo hanya melongo.

"Pekerjaannya cuman pura-pura jadi pacar sampai dia bisa mendapatkan hak penerus perusahaan keluarga."

Putri mengatur napas sejenak. Dia pun menceritakan permasalahan Aldi. Tyas tampak lega, tetapi juga tetap mengingatkan agar berhati-hati. Sementara Paijo termenung. Pemuda itu merasa masalah lelaki yang memberikan tawaran pekerjaan kepada Putri mirip sekali dengan masalah sahabatnya.

"Kebetulan ini kenapa rasanya sangat aneh? Apa orang kaya masalahnya emang mirip-mirip, ya?" gumamnya dalam hati.

***

Seminggu berlalu dengan cepat. Sesuai dengan kesepakatan, Putri kembali bertemu dengan Aldi di Kafe Kenangan untuk memberikan jawaban. Seperti sebelumnya, saat Putri memasuki kafe, pemuda itu telah tiba lebih dulu, tampak menyeruput kopinya dengan elegan.

"Lagi-lagi saya terlambat," sapa Putri seraya duduk di hadapan Aldi.

"Tidak. Anda datang 5 menit sebelum waktu janjian. Tapi, saya memang terbiasa datang 15 menit lebih awal dari waktu janjian," sahut Aldi.

Putri terkekeh. "Anda mengingatkan saya kepada seseorang di masa lalu."

"Jangan-jangan cinta pertama Anda?" canda Aldi.

Dia sendiri merasa heran. Setiap berhadapan dengan gadis matre bernama Putri ini es di hatinya seperti mencair, bahkan mendidih dan membuatnya berbuat hal-hal di luar kebiasaan.

Putri tergelak meskipun ada perih menyusup di hati. Tebakan pemuda di hadapannya itu tepat sasaran. Aldi membuat kerinduan kepada Joko terasa meluap-luap. Mereka memiliki garis wajah mirip, bedanya yang satu dingin, yang satu begitu hangat dan manis. Namun, entah kenapa Putri merasakan kenyamanan yang sama.

"Itu masalah yang tidak penting. Bukankah kita bertemu di sini untuk jawaban saya?" tutur Putri setelah tawanya reda.

"Iya, benar. Jadi, apakah saya bisa mendengar jawabannya hari ini."

Putri tersenyum manis, membuat Aldi refleks mengalihkan pandangan. Senyuman mirip milik Wulan-nya tentu membuat jantung tidak aman.

"Terima kasih sudah memberikan saya waktu."

Putri sengaja menjeda kalimatnya. Dia ingin menikmati wajah cemas Aldi. Setelah puas membuat pemuda itu galau, barulah dia angkat bicara.

"Jadi, setelah mempertimbangkan banyak hal, saya memutuskan untuk menerima tawaran pekerjaan dari Mas Aldi."

"Saya senang Mbak Putri bisa mengerti keadaan saya dan mau bekerja sama."

Aldi mengeluarkan sebuah map dari tas dan meletakkannya di meja. Putri mengerutkan kening saat map dibuka. Isinya adalah beberapa lembar kertas dengan kalimat-kalimat rumit dan kaku.

"Ini surat perjanjian kerja sama kita. Dengan ini, Mbak Putri tidak perlu khawatir akan dirugikan," jelas Aldi. "Anda bisa baca dulu, jika tidak ada yang dipermasalahkan bisa tanda tangan di lembar paling bawah."

Putri mengambil alih dokumen. Dia membacanya dengan seksama. Ternyata, Aldi jujur. Perjanjian itu memang sangat menguntungkan. Dia pun tak ragu untuk membubuhkan tanda tangan.

"Sekarang, apa tugas pertama saya?" tanya Putri setelah selesai dengan berkas.

"Kencan pertama. Sekretaris saya sudah menyiapkan agar tercium wartawan."

"Oke, Mas Aldi." Putri mengelus dagu. "Sepertinya, akan aneh kalau kita bicara terlalu formal. Sebaiknya, kita menggunakan gaya bahasa yang lebih akrab."

Aldi mengangguk-angguk. "Benar juga kata An– eh kamu. Jadi, mulai sekarang sa– aku akan memanggilmu Dek."

"Iya, Mas. Lalu, kita kencannya mau ke mana nih? Kalo belum ada rencana, gimana kalo ke mall aja," usul Putri.

Aldi terkekeh. "Kamu memang pintar memanfaatkan keadaan, ya?"

Putri menyengir lebar.

"Tapi, tak apa. Kita ke mall. Anggap saja, bonus dariku."

Kesepakatan telah selesai. Aldi menyimpan kembali dokumen. Sementara itu, Putri memesan kue cokelat dan smoothies stroberi. Mereka pun melanjutkan dengan obrolan ringan, sesekali tertawa bersama, hingga menu di meja habis.

Aldi membayarkan tagihan, lalu kembali ke meja dan berdiri di samping kursi yang diduduki Putri. Dia mengulurkan tangan dan bergumam lembut, "Siap untuk pergi?"

"Tentu saja, tuan yang tampan," sahut Putri.

Dia berdiri, lalu memeluk lengan kokoh Aldi. Pemuda itu tersentak. Wajahnya seketika merona dan jantung berdebar kencang.

Aldi benar-benar tak mengerti dengan dirinya. Biasanya, dia akan menepis sentuhan fisik dari wanita selain Wulan. Sewaktu berpura-pura pacaran dengan Rani pun sering diprotes Gilang karena terkesan jaga jarak. Namun, saat bersama Putri, tubuh dan hatinya seolah menerima.

"Mas Aldi? Kok bengong?"

"Ah, ya, maaf. Aku teringat seseorang."

"Jangan-jangan cinta pertama Mas Aldi, ya." Wulan membalas candaan Aldi sebelumnya.

Hampir saja Aldi mengiyakan. Namun, dia berhasil mengendalikan diri dan mengalihkan pembicaraan. Tak lama kemudian, mereka pun meninggalkan kafe dan menuju mal.

"Sebenarnya, ada toko pengen banget aku datangi di mal ini, Mas," rengek Putri.

Kepribadian manipulatif dan liciknya berubah menjadi manis manja. Bahasa formal yang kaku sudah raib entah ke mana. Aldi mengakui akting gadis itu tak kalah mumpuni dibandingkan Rani.

"Apa yang gak buat kamu? Ayo kita ke sana," balas Aldi mencoba mengimbangi.

Selanjutnya, Aldi menyesali ucapannya. Putri benar-benar mengambil kesempatan. Gadis itu belanja seperti kesetanan. Aldi tak masalah dengan uang, tetapi dia kesal karena harus mengangkut banyak barang belanjaan. Namun, ada hal yang membuatnya heran. Putri membeli barang-barang dengan ukuran berbeda. Belum sempat dia bertanya, sudah ditarik memasuki toko tak asing, toko sepatu milik Sulistyawati.

"Toko ini yang pengen banget aku kunjungi, Mas," bisik Putri.

Putri langsung disambut pramuniaga. Kebetulan, karyawan tersebut bukan kenalannya. Gadis itu melayani dengan cukup baik, hingga manajer datang.

"Putri! Ngapain kamu ke sini lagi! Kamu itu sudah dipecat! Kamu pikir saya akan iba dan menerima kamu lagi! Hah?" bentak mantan atasan Putri itu.

Putri tetap tenang. Senyuman licik malah menangkring di sudut bibirnya. Sementara itu, Aldi tersentak, lalu menajamkan pendengaran. Dia merasa harus memahami situasi dulu baru bertindak.

"Saya ke sini mau belanja dong, Bu," sahut Putri.

Manajer tertawa sinis. "Belanja? Aduh, jangan mimpi kamu, Put. Si miskin kayak kamu mana mungkin bisa beli barang di sini."

Putri tetap bersikeras ingin membeli sepatu model terbaru. Sementara hinaan manajer semakin menjadi-jadi. Aldi sudah tak tahan berdiam diri. Dia langsung berdiri dan menghampiri dua wanita berbeda usia yang tengah berdebat itu. Manajer ternganga, lalu cepat-cepat memberikan salam penghormatan.

"Saya kira toko Eyang saya ini punya SOP untuk melayani pelanggan tanpa menilai rendah seseorang?" sindir Aldi.

"Maaf, Pak, saya tidak bermaksud jahat. Dia ini ... sebelumnya pekerja di sini, tapi sering melakukan kesalahan jadi saya pecat. Saya hanya khawatir dia akan membuat keributan," kilah si manajer.

Aldi mengalihkan pandangan kepada Putri. "Sayang, jadi dulu kamu bekerja di sini dan dipecat?" tanyanya, membuat manajer terbelalak.

"Iya, Mas. Aku dipecat bukan karena kesalahanku, tapi karena ibu manajer lebih mementingkan pelanggan VIP yang sombong," keluh Putri.

Aldi mendelik tajam. "Apa Anda lupa kalau Eyang saya sangat membenci orang-orang tidak profesional dan zalim?" desaknya.

"Pak Aldi, itu tidak benar. Si miskin ini berbohong!" tuduh manajer.

Putri tersenyum miring. "Berbohong? Tapi, saya punya buktinya lho, Bu Manajer."

"Apa maksudmu, hah?"

Putri menyeringai. Dia pun memperlihatkan video berbagai macam ketidakadilan yang telah dilakukan manajer, juga tindakan kejam Rani. Setiap diperlakukan buruk, Putri memang meretas CCTV toko dan mengambil rekaman yang diperlukan sebelum manajer menghilangkan bukti dengan menghapusnya.

"Sekarang, sudah jelas semuanya. Saya menungggu surat pengunduran diri Anda!" tegas Aldi. Dia meraih tangan Putri dan menggenggamnya erat tanpa sadar. "Ayo kita ke cabang toko yang lain saja!" ajaknya.

"Pak Aldi tunggu!"

Teriakan frustrasi manajer mengiringj kepergian Aldi dan Putri meninggalkan toko. Mereka berdua terus berjalan tanpa ada yang angkat suara. Keheningan terasa mencekik, hingga Aldi tiba-tiba berhenti.

"Maaf atas ketidakadilan yang pernah terjadi padamu ...," gumamnya lirih.

"Kenapa kamu minta maaf, Mas? Kamu, kan, enggak salah. Lagi pula aku juga sudah puas liat kamu ngomelin tuh nenek lampir."

Putri hendak bicara lagi. Namun, ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Tyas tertera di layar. Wajah ibu panti langsung terbayang, membuat kecemasan meracuni hati. Dia pun langsung menerima panggilan.

"Iya, Tyas?"

Terdengar suara panik Tyas dari seberang sana.

"Eyang Sulis datang ke panti. Aku harus gimana nih, Kak?"

Putri tersentak.

"Apa? Tunggu, aku akan segera pulang!"

Putri mengakhiri panggilan. Dia menatap Aldi dengan sorot mata bersalah.

"Mas, sepertinya saya harus segera pulang. Maaf jika pada kencan pertama ini saya tidak bisa memberikan kinerja maksimal. Kencan berikutnya saya usahakan tidak ada gangguan lagi."

"Tidak apa-apa, Put. Kalau begitu, mari saya antar–"

"Terima kasih pengertiannya, Mas. Saya permisi," pamit Putri, lalu mengambil barang belanjaannya dari tangan Aldi dan tancap gas meninggalkan mal.

Aldi hanya bisa melongo menatap punggung gadis itu yang semakin menjauh. Dia bermaksud mengantarkan malah ditinggalkan. Entah kenapa Aldi mendadak merasa menjadi sugar daddy yang baru dicampakkan. Pemuda itu tanpa sadar tersenyum kecil.

"Gadis yang menarik ...."

Dia menggeleng cepat.

"Argggh! Sial*n! Gue mikir apaan dah! Cuman Wulan yang menarik!" umpatnya dalam hati.

***