webnovel

Bagian 29

"Bu, Ibu!"

Putri masuk ke panti dengan wajah semringah. Dia terus memanggil-manggil Asih sembari mencari ke seluruh ruangan. Tangannya menenteng kantong plastik yang menguarkan harumnya bolu baru dipanggang. Sulistyawati memang meminta Inem membungkuskan bolu sebelum pulang.

Saat Putri melewati ruang tengah, beberapa anak panti yang tengah menonton televisi mengalihkan pandangan. Biasanya, Putri membawa kue-kue enak atau hadiah ketika pulang kerja. Aroma bolu dari tentengan sang kakak tertua tentu membuat anak-anak itu menjadi bersemangat. Mereka pun kompak berdiri dan mengekor seperti anak itik yang berbaris rapi di belakang induk. Ketika Putri berhenti mendadak, terjadilah tabrakan beruntun.

"Eh jatuh, jatuh, jatuh!" seru gadis kecil berkepang dua yang akan menjadi latah setiap kaget.

Putri tersentak. Dia menoleh ke belakang dan tergelak. Adik-adik pantinya itu jatuh dengan pose-pose yang lucu. Putri menggeleng pelan, lalu mengusap kepala mereka.

"Kalian mau kuenya?"

Anak-anak kompak mengangguk dengan mata berbinar-binar.

"Nah, ayo kita ke dapur dulu biar dibagi rata."

"Siap, Kak Putriii!"

Mereka pun menuju dapur sambil bersenandung riang. Begitu sampai di dapur, Putri mengeluarkan bolu dan memotongnya sesuai jumlah penghuni panti. Anak-anak menerima bagian masing-masing dengan antusias. Mereka langsung menyantapnya dengan lahap.

Putri tersenyum kecil. Binar-binar bahagia di mata-mata yang polos menghangatkan hati. Dia merekam tingkah polah lucu bocah-bocah menggemaskan itu.

Seorang anak menyadari sedang direkam langsung menyeletuk, "Kita direkam, Kak Putri?"

"Iya, buat Kakak kirim ke Eyang Sulis. Eyang pasti ikut senang melihat kalian senang," sahut Putri.

"Tunggu bentar, Kak. Kalo mau diliatin ke Eyang peri, kita harus bikin video yang bagus dong," usul gadis kecil berkepang dua.

"Iya! Iya!" sahut anak-anak yang lain kompak.

Putri terkekeh. "Iya, iya. Kalian mau bikin video seperti apa?"

Gadis kecil berkepang dua langsung memimpin teman-temannya. Mereka melakukan diskusi kecil, riuh sekali membuat Putri tertawa kecil. Setelah heboh selama kurang lebih 10 menit, anak-anak itu mendadak pergi ke kamar masing-masing. Tak lama kemudian, Mereka keluar menggunakan baju baru yang dibelikan Sulistyawati beberapa hari lalu.

Gadis kecil berkepang dua mengomando anak yang lain untuk berbaris rapi. Dia mengacungkan jempol, memberi isyarat kepada Putri bahwa mereka sudah siap. Putri terkekeh, lalu menyalakan video dan mengarahkan kamera ponsel ke arah anak-anak.

"Terima kasih, Eyang Sulis. Kuenya enak sekali. Hadiah-hadiah dari Eyang juga kami suka sekali. Terima kasih, Eyang!" Serempak anak-anak berseru dengan wajah berseri-seri.

Putri telah selesai merekam. Dia mengirimkan videonya kepada Sulistyawati. Tak ada balasan dalam waktu cukup lama. Putri menebak, Sulistyawati pasti sedang terharu.

"Nah, kalian makan lagi aja, ya. kak Putri mau nyari Ibu dulu."

"Siap, Kak!" Anak-anak menjawab kompak.

Putri pun kembali berkeliling ruangan, nihil. Akhirnya, dia menemukan Asih berada di kebun belakang tengah memangkas semak bunga kaca piring sampai hampir gundul.

"Lho, Bu, Bu, kok bunganya mau digundulin?" tegur Putri.

Asih tergagap. "Astaghfirullah!" serunya refleks.

Rupanya, dia tidak bermaksud menggunduli tanaman tersebut. Namun, Asih yang bekerja sambil melamun tanpa sadar hampir membabat habis semuanya. Wajahnya tampak sedih melihat bunga kesayangan menjadi tidak estetik lagi.

"Mudah-mudahan cepat tumbuh lagi, Bu," celetuk Putri.

"Iya. Kamu baru pulang kerja, kok main ke sini? Mandi dulu, terus makan. Hari ini, Ibu masak tempe bacem kesukaan kamu."

"Putri masih belum lapar, kok, Bu. Nanti makannya bareng-bareng aja malam. Ada hal yang lebih penting."

"Hal lebih penting?"

"Ayo kita duduk dulu, Bu."

Meskipun kebingungan, Asih menurut. Dia mencuci tangan dan meletakkan gunting tanaman pada tempatnya. Barulah, mereka duduk di bangku kayu.

"Ini soal hutang sama Bu Ros. Aku sudah dapat uang untuk membayarnya."

"Kamu menguping pembicaraan Ibu lagi, ya? Putri, kan, sudah Ibu bilang, urusan itu jangan sampai jadi beban pikiran kamu. Dulu, waktu Tyas sakit, kamu juga sudah merelakan uang tabungan kamu. Ibu tidak mau kamu berkorban lagi!" tegas Asih.

"Ini bukan dari uang tabunganku, kok, Bu. Ini donasi dari Eyang Sulis," jelas Putri.

Dia juga meyakinkan tidak pernah mengemis kepada Sulistyawati. Donasi tersebut tiba-tiba saja diberikan karena sang nyonya memang baik hati. Asih memang selalu mengajarkan kepada anak-anak di panti untuk tidak bermental pengemis.

"Tapi, tidak ada apa-apa yang diminta dari kamu, 'kan? Jangan sampai terjebak jaringan penjualan perempuan." Asih tampak masih ragu.

"Bu, Eyang itu sudah menganggapku seperti cucu sendiri. Bukan cuma ke kita, kok. Eyang juga sering melakukan donasi ke berbagai yayasan amal."

"Tapi, uang sebanyak hutang itu ...."

"Percaya sama Putri, Bu. Eyang bener-bener tulus. Pokoknya besok kita ke bank ambil uangnya, terus tebus sertifikat toko. Mau, ya, Bu?" bujuk Putri.

Dia terus menatap dengan sorot mata memelas. Asih menghela napas, lalu mengangguk lemah. Seorang ibu memang mudah luluh dengan tatapan memohon anaknya meskipun bukan anak kandung.

***

Aldi baru saja menandatangani berkas pembangunan perumahan ketika pintu ruangannya dibuka. Dia mengalihkan pandangan sejenak, lalu diam-diam menghela napas. Meskipun sudah sering diingatkan, Gilang masih saja melakukan kesalahan serupa. Sepupunya itu masuk ruangan seenaknya bersama dengan Rani. Aldi bisa menebak mereka akan memaksa untuk kencan berikutnya.

"Pak Gilang, apakah Anda tidak melihat tanda peringatan di depan pintu?"

"Jangan salahin Bang Gilang dulu, Bang. Soalnya, Rani yang mohon-mohon."

Rani memasang wajah memelas. Sebenarnya, Aldi tidak tergerak dan ingin melanjutkan pekerjaan. Namun, dia khawatir Rani merajuk, lalu menyebabkan masalah lain. Akhirnya, Aldi terpaksa meletakkan pulpennya dan pura-pura memperhatikan.

"Jadi, ada masalah apa, Rani?"

Abang ingat, Rani pernah cerita soal Bang Zain lawan main film yang suka sama Rani?"

"Ya. Terus?"

"Dia tuh masih ngejar-ngejar Rani. Dibilang Rani udah punya pacar, dia enggak percaya." Rani menunduk.

"Jadi, kamu mau kita ketemu dia untuk membuktikannya?" tebak Aldi.

"Iya, Bang. Hari ini, aku udah buat janji sore ketemuan di Resto Moonlight."

Aldi mendecakkan lidah. "Saya gak bisa hari ini, Ran. Liat dokumen-dokumen yang menumpuk itu." Aldi menunjuk dua puluh berkas yang tersusun di meja. "Saya harus lembur. Saya baru akan pulang di atas jam 9 malam."

"Gila banget lo, Al. Kerja keras bagai kuda itu namanya. Jangan segitunya juga," tegur Gilang, mencoba membantu Rani.

Aldi mendelik. "Pekerjaan ini harus selesai sesuai target. Keterlambatan sedikit saja, bisa menyebabkan kerugian."

"Gimana kalo bentar doang lo temenin, Rani. Cuman ketemu tuh cowok yang ngejar-ngejar aja, 'kan? Habis itu lo mau balik ke kantor terus kerja sampai subuh juga terserah. Lo enggak kasian sama Rani. Lo udah dibantuin, pas Rani perlu bantuan, malah banyak alasan," cerocos Gilang. Dia terus mendesak dengan metode menggunakan rasa bersalah seseorang.

Akhirnya, Aldi menghela napas berat. "Baiklah, hanya sebentar, paling lambat sampai pukul 7."

Rani menggenggam tangan Aldi. "Terima kasih, Bang," ucapnya dengan sorot mata yang terlihat tulus.

Aldi melepaskan genggaman tangan gadis itu dengan cepat. Rani menggemeletukkan gigi, tetapi Gilang cepat memberi isyarat agar bersabar. Setelah itu, Gilang permisi keluar sementara Rani duduk di sofa.

Setelah jam kerja kantor selesai, Aldi memasukkan berkas-berkas yang belum selesai ke tas khusus. Dia mengajak Rani pergi. Oleh karena Rani datang ke perusahaan diantar manajernya, maka mereka akan pergi ke restoran dengan mobil Aldi.

Aldi mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Rani terus mencerocos mencari bahan pembicaraan. Namun, Aldi hanya menanggapi dengan datar dan dingin.

Mereka tak menyadari ada mobil yang mengikuti. Ya, Shinta meminta Rama mengantarnya untuk menguntit sang kakak. Dia sampai nekat menyewa Avanza hitam yang terlihat umum digunakan agar tidak tampak mencurigakan.

"Dek, apa nanti Pak Aldi enggak marah kalo kita ikutin gini?"

"Ini demi hidup aku ke depannya, Bang. Bayangin aja kalo sampai punya kakak ipar julid kek gitu. Bisa-bisa rumah jadi neraka!" seru Shinta berapi-api.

Akhirnya, Rama tak bisa berkata-kata lagi. Meskipun takut dimarahi Aldi, dia juga tak bisa menolak permintaan Shinta. Kakak beradik itu sering kali membuatnya terjebak dilema.

"Mereka belok kanan, Bang!" jerit Shinta.

Rama terlonjak. Dia hampir saja menabrak tiang listrik. Untunglah, mobil bisa segera dikendalikan. Rama berhasil belok ke halaman restoran tempat Rani dan Aldi.

Setelah mobil terparkir sempurna, mereka keluar. Shinta memeluk lengan Rama tanpa segan, membuat si pemuda salah tingkah. Wajahnya memerah dan tubuhnya gemetaran.

"Abang jangan grogi dong. Kita harus menyamar dengan sempurna," bisik Shinta.

"I-iya."

Rama mencoba menenangkan diri. Setelah dapat mengatasi rasa grogi, dia pun dapat berakting dengan baik sebagai pacar Shinta. Mereka memasuki restoran dan disambut ramah pelayan. Shinta memilih meja nomor 8, tepat di sebelah meja pesanan Rani.

Berkat penyamaran super, Shinta melewati meja Aldi dan Rani tanpa masalah. Tangannya begitu gesit memasukkan tikus mainan ke dalam tas Rani. Seringaian nakal terukir di sudut bibirnya. Rama yang tengah merangkul bahu gadis itu merasa panas dingin.

***