webnovel

Bagian 25

Ruang rapat terasa mencekam. Tiga perwakilan perusahaan properti memiliki pendapat yang bertentangan dengan Aldi. Sejak awal proyek hendak digarap, mereka sudah menjalani pertemuan tiga kali, tetapi kesepakatan belum dicapai.

Semua diawali ide busuk Broto untuk menggunakan bahan-bahan bangunan berkualitas buruk. Aldi tentu saja menentangnya karena selama ini PT. Karya Abadi selalu menggunakan bahan kualitas premium atau minimal terstandar dan sudah teruji kualitasnya. Dua perusahaan rekanan lain sebelumnya hanya ragu, tetapi tiba-tiba menyetujui saran Broto. Jadilah, Aldi harus menghadapi mereka.

"Jadi, bagaimana Pak Aldi? Proyek ini sudah terlalu lama ditunda. Bahan yang saya usulkan memang bukan yang biasa digunakan, tapi cukup bagus. Kita tidak bisa terus berkutat di masalah yang sama, Bukankah begitu?" desak Broto, sambil memberi isyarat kepada rekan bisnis yang lain.

"Iya, betul kata Pak Broto, Pak Aldi. Anda terlalu berlebihan untuk masalah sepele seperti ini," timpal perwakilan dari PT. Lima Sodara.

"Saya pun sependapat. Jika terlalu lama memutuskan, pihak pembeli bisa saja protes dan membatalkan pembelian," tambah wakil dari PT. Agra Jaya.

Aldi mendelik. Dia mengeluarkan beberapa lembar kertas dari map, lalu membagikannya. Broto tampak gelisah seketika, sementara dua partner bisnis lain terlihat salah tingkah.

"Pak Broto bilang cukup bagus? Perhatikan baik-baik dokumen yang saya bagi tadi. Halaman pertama mengenai seburuk apa kualifikasinya. Halaman kedua contoh-contoh kejadian tak mengenakkan akibat penggunaan bahan tersebut, bahkan ada yang hampir membuat nyawa melayang."

Aldi menatap tajam rekan-rekan bisnisnya satu per satu. Meskipun usia mereka jauh lebih tua, tetapi aura Aldi terasa menekan dan mengancam. Tiga pria paruh baya itu saling melirik. Broto memberi isyarat agar tetap bertahan. Dia berdeham sebelum kembali mencoba menekan Aldi.

"Data ini bisa saja tidak terlalu valid–"

"Pak Broto meragukan kredibilitas saya dalam mencari data akurat?" potong Aldi.

"Bukan begitu maksud saya, Pak Aldi. Saya hanya memikirkan opsi lain, seperti misalnya produsen bahan tersebut sudah memperbaiki kualitas."

Aldi tersenyum miring. "Dan kita harus mempertaruhkan nama baik perusahaan dan kepercayaan konsumen hanya dengan bermodalkan kemungkinan?"

Broto masih tak ingin kalah. "Masalahnya tidak akan sebesar itu, banyak cara untuk berkelit jika terjadi hal yang tidak diinginkan," kilahnya.

Dua rekan bisnis lain mengangguk-angguk. Sudah menjadi rahasia umum Broto menggunakan segala cara untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Dia tak peduli jika harus merugikan, atau bahkan menghilang nyawa orang lain.

"PT. Karya Abadi tidak akan terlibat bisnis kotor. Selama ini, kami berhasil mempertahankan kualitas, menjaga kepercayaan konsumen, dan juga selalu ramah terhadap rakyat kecil. Jika Anda memang ingin melaksanakan rencana busuk itu, PT. Karya Abadi akan keluar dari proyek ini," tegas Aldi, membuat tiga rekannya terperangah.

"Tapi, Pak Aldi, mundur dari proyek di tengah-tengah proses, Anda harus membayar ganti rugi." Perwakilan PT. Agra Jaya seketika angkat suara. Sejak awal proyek berjalan memang ada kesepakatan seperti itu.

"Iya, betul, Pak Aldi. Bukankah ganti rugi sebesar itu sangat disayangkan?" timpal wakil dari PT. Lima Sodara.

Perusahaan mereka harus berusaha keras agar bisa bekerja sama dengan PT. Karya Abadi. Jika Aldi memutuskan mundur, maka kemungkinan buruk akan terjadi. Calon-calon pembeli yang tadinya mengantri bahkan sedikit berebut, bisa-bisa memutar haluan. Kerugian besar sudah menghadang di depan mata. Mereka sedikit menyesali ikut setuju dengan ide Broto.

"Ganti rugi? Bukankah perusahaan kami sudah menggelontorkan banyak dana untuk tahap awal? Anda sekalian juga harus mengembalikan dana tersebut. Ganti rugi mundur dari proyek masih lebih kecil dari itu," tekan Aldi.

Wajah-wajah di hadapannya mulai memucat. Aldi tahu kongsi mereka sudah pecah. Dia tinggal menembakkan amunisi terakhir.

"Jadi, apa Anda ingin keuntungan sesaat, tetapi beresiko kehilangan kepercayaan konsumen dan di-black list dari kerja sama dengan PT. Karya Abadi? Atau Anda ikut keputusan saya menjaga kualitas dan mendapatkan keuntungan jangka panjang?"

Perwakilan dari PT Lima Sodara dan PT. Agra Saya saling pandang. Keraguan tampak menggayuti wajah mereka. Sementara itu, Broto diam-diam mengepalkan tangan di bawah meja. Dia memang selalu gagal mendapatkan keuntungan besar-besaran jika bekerja sama dengan PT. Karya Abadi ataupun PT. Karya Lestari.

Setelah lama terdiam, perwakilan PT. Lima Sodara angkat bicara, "Saya akan mengikuti pendapat Pak Aldi. Setelah dipikir-pikir, benar juga. Akan lebih baik untuk perusahaan jika dikenal mengutamakan kualitas."

"Ya, saya juga sependapat. Kepercayaan konsumen juga merupakan faktor penting," tambah perwakilan PT. Agra Jaya.

Aldi mengalihkan pandangan kepada Broto yang susah payah menahan rasa kesal. "Bagaimana dengan Pak Broto?"

"Sa-saya juga mengikuti keputusan yang ada," ucapnya dengan sangat terpaksa.

"Baiklah, karena sudah diputuskan masalah yang beberapa waktu mengganjal, mari kita lanjutkan untuk progres selanjutnya," tukas Aldi.

Rapat pun berlanjut. Broto tak lagi banyak berkomentar. Tak ada masalah berarti, hingga Pertemuan bisa berlangsung dengan lancar dan cepat.

Begitu rapat berakhir, Aldi segera kembali ke ruangannya. Ponselnya sejak tadi berdering. Dia tak sabar hendak menerima panggilan karena berasal dari detektif yang mencari petunjuk tentang Wulan.

"Ya, halo bagaimana perkembangan kasusnya? Apakah ada petunjuk baru?" cecarnya begitu duduk nyaman di kursi kebesarannya.

"Saya sudah mencoba meminta hasil rekaman CCTV di lokasi, Pak."

"Jadi, bagaimana hasil pengamatan CCTV-nya?"

Nada suara sang detektif terdengar merendah. "Mohon maaf, Pak Aldi. Rekaman CCTV saat kejadian tidak ditemukan karena sudah terlalu lama sehingga sudah dibersihkan."

Aldi mendengkus. Tangannya mengepal kuat. Jika memperturutkan emosi, cangkir berisi kopi yang tinggal setengahnya akan dilempar. Namun, dia masih cukup logis dan berhasil mengendalikan diri. Meskipun informasi keberadaan Wulan terlalu samar, Aldi tahu amarah tidak akan membantu menemukan Wulan, justru akan menambah masalah.

"Tapi, saya akan berusaha mencarinya informasi dari warga sekitar juga." Suara detektif terdengar lagi, sedikit menenangkan hati Aldi.

"Ya sudah, lanjutkan saja penyelidikan Anda."

Panggilan berakhir. Aldi menyimpan ponsel, lalu menghela napas berat. Dia memutuskan untuk menyibukkan diri dengan pekerjaan untuk melupakan sejenak sakitnya rasa rindu tak sampai. Namun, baru saja membuka berkas pertama, Gilang malah masuk ruangan tanpa permisi. Pemuda itu duduk di hadapan Aldi dengan santai.

"Bentar lagi ultah Shinta, 'kan?" celetuknya tiba-tiba.

"Ya? Kenapa?" Aldi mendelik. "Kalo lo mau caper ke teman-teman Shinta, gue minta satpam enggak ngizinin lo masuk," ancamnya.

"Elah, kejam betul. Tapi, ini enggak ada hubungannya sama teman-teman Shinta. Ini soal lo dan gosip itu."

Gilang menyeringai. Aldi seketika mengusap tengkuk. Dia merasakan firasat buruk.

"Gue ada ide bagus, biar lo keluar dari tuh masalah," cetus Gilang antusias.

"Firasat gue enggak enak," sahut Aldi.

"Sial*n lu ah! Suuzon mulu. Dengerin dulu kek," protes Gilang.

"Oke, silakan Tuan Gilang sampaikan idenya," sindir Aldi sarkastik.

Gilang bangkit dari kursi, mendekat, dan meninju pelan bahu Aldi. Dia sedikit kesal, tetapi kembali ceria dengan cepat. Gilang menyarankan agar Aldi memperkenalkan Rani di acara ulang tahun Shinta. Oleh karena akan ada banyak wartawan dan posisi Rani sebagai artis ternama, beritanya bisa menjadi besar. Gosip-gosip yang beredar pun dapat ditepis.

***

"Ayo satu suap lagi, Eyang," bujuk Putri.

Dia memasang wajah memelas. Sulistyawati yang tadinya sudah merasa kenyang membuka mulut. Putri tersenyum senang sembari menyuapinya. Tentu saja, kata satu suap hanya bujukan. Putri terus menyodorkan sendok, hingga sup di mangkuk habis.

"Biar saya saja, Neng yang nyuci mangkuknya," sergah Inem begitu Putri hendak menuju dapur.

"Terima kasih, Bi," sahut Putri sembari tersenyum tulus.

Selanjutnya, dia menghabiskan waktu dengan mengobrol bersama Sulistyawati. Sesekali Putri membawakan satu atau dua jenis tarian dan meminta pendapat. Sulistyawati akan memberikan pujian, juga saran perbaikan jika dirasa perlu.

Inem yang menyaksikan dari balik pintu menyeka air mata haru. Setelah sekian lama terjebak dalam kebekuan, cahaya kehidupan kembali berbinar di mata sang nyonya. Dia berharap kehangatan seperti itu bisa bertahan lama atau bahkan selama-lamanya.

"Putri, aku merasa lelah, bisa minta tolong antar aku ke kamar?" celetuk Sulistyawati tiba-tiba.

"Siap, Eyang."

Putri membantu Sulistyawati berdiri. Dia terus memegangi tangan wanita tua itu dan membimbingnya, hingga ke kamar. Selanjutnya, Sulistyawati berbaring dengan hati-hati di kasur.

Sulistyawati benar-benar kelelahan. Baru sebentar menyentuh kasur, dia langsung terlelap. Putri menyelimuti, lalu perlahan melangkah ke luar kamar dan berpapasan dengan Inem.

"Makan dulu, Neng," tawar Inem.

Putri mengangguk. Mungkin orang lain akan segan dan jaim. Namun, dia tipikal yang tidak akan menyia-nyiakan kesempatan makan enak gratis. Terlebih, kediaman Dirja dulu pernah dianggapnya sebagai rumah kedua.

Begitu sampai di dapur, makanan sudah tersaji di meja. Putri makan siang bersama dengan Inem. Setelah selesai, Putri menawarkan diri untuk mencuci piring. Awalnya, Inem menolak, tetapi dia menepuk kening.

"Aduh, ada yang kelupaan! Neng, saya tinggal enggak papa, 'kan? Saya mau ke minimarket depan dulu," celetuknya. "Piringnya biarin aja di situ biar Bibi yang nyuci nanti."

Putri hanya mengangguk. Namun, begitu Inem sudah pergi, dia mencuci piring-piring kotor itu. Setelah semuanya beres, Putri bermaksud kembali ke ruang tamu. Namun, rumah yang sepi membuat pikiran gila mampir di benaknya.

Sebenarnya, kediaman Dirja memiliki banyak pelayan. Setiap pelayan memiliki tugas masing-masing dengan Inem sebagai kepalanya. Namun, hari itu, keadaan memang sunyi.

Putri melirik tempat yang sudah lama diincarnya, ruang kerja Dirja. Dia telah melakukan pengamatan selama merawat Sulistyawati. Kediaman dilengkapi dengan CCTV, sehingga tetap harus hati-hati meskipun keadaan sepi.

Selama ini, Putri meminta bantuan temannya yang ahli IT untuk mengajari cara meretas CCTV. Dari hasil pembelajaran, dia hanya akan bisa mengacaukan sistem selama 10 menit. Terlebih, Dirja yang perfeksionis pasti akan segera mengetahui jika ada gangguan dengan CCTV rumahnya.

Setelah mengatur napas sejenak, Putri menguatkan tekad. Dia pun segera meretas CCTV sehingga tampilan video tampak seperti ada eror. Selanjutnya, Putri memasuki ruang kerja Dirja sembari memasang timer agar bisa keluar ruangan tepat waktu sebelum fungsi CCTV kembali.

"Aku harus segera menemukan buktinya," gumam Putri sembari membuka laci meja dan memilah berkas yang ada.

Dia menggunakan sarung tangan untuk menghindari tertinggalnya sidik jari. Gadis itu juga merapikan kembali berkas yang sudah dibongkar agar terlihat seperti sedia kala. Namun, usahanya belum juga membuahkan hasil. Tidak ada bukti apa pun yang menunjukkan cara-cara kotor dalam berbisnis.

Saat waktu tinggal 2 menit lagi, Putri berniat untuk menghentikan aksi pencarian. Dia merapikan meja. Tiba-tiba pintu dibuka dari luar. Putri refleks berbalik dan terperangah. Sulistyawati berdiri di sana dengan sorot mata yang tak bisa terbaca.

***