webnovel

Bagian 13

"Maaf, ya, Kak. Saya enggak sengaja," ucap Shinta cepat, mencoba mencairkan suasana yang mencekam.

"Aduh, kalo jalan pake mata dong!" bentak Rani.

Suaranya begitu menggelegar membuat Shinta refleks mengurut dada. Bahkan, para pengunjung taman yang tadi sibuk mengagumi pertunjukan Putri dan kawan-kawan seketika mengalihkan pandangan. Mereka mulai berbisik-bisik.

"Cantik-cantik galak bener tuh cewek."

"Hooh, gue liat tadi padahal cuma kesenggol dikit doang."

"Tapi, emang ada, kok, modelan makhluk toksik kek gitu."

Rani mendelik tajam ke arah pengunjung yang menggosipkannya. Bisik-bisik tak sedap mereda. Para pengunjung taman itu membubarkan diri perlahan. Sementara itu, meskipun agak kesal dengan keangkuhan Rani, Shinta mencoba bersabar dan berusaha meminta maaf lagi. Biar bagaimanapun dia tetap salah karena tidak memperhatikan sekitar sehingga menabrak orang lain.

"Saya benar-benar mohon maaf–"

"Maaf?" potong Rani cepat. Dia menunjuk ujung bawah gaun putihnya. "Liat gaun gue! Rusak gara-gara lo! Ini gaun mahal! Lo pikir bisa ganti?" omelnya.

Rani terus marah-marah. Shinta mengalihkan pandangan ke arah yang ditunjukkan Rani. Rupanya, saat mereka bersenggolan, tetesan es krim stroberi meninggalkan noda kecil di gaun Rani. Tanpa diberitahu pun, Shinta yang merupakan putri bungsu di keluarga konglomerat tentu bisa menebak harga gaun itu.

Sebenarnya, Shinta juga tak masalah jika harus ganti rugi. Uang sakunya cukup untuk membeli 3 gaun seperti itu sekaligus. Dia memang mendapat uang saku dari tiga orang, Aldi, Dirja, dan bibinya. Selain itu, Shinta juga punya penghasilan sendiri dari saham dan bisnis franchise.

Namun, Rani menilai seseorang dari penampilan. Shinta memang hanya mengenakan kaos oblong dan celana jeans bukan dari merek terkenal. Sejak kecil dia dan kakaknya memang dididik untuk low profile dan tidak menjadikan penampilan wah sebagai tolak ukur. Ketika memilih pakaian atau barang tertentu, Shinta maupun Aldi mengutamakan kenyamanan saat digunakan meskipun bukan barang branded.

"Umm ... jadi berapa saya harus membayar ganti rugi?" tanya Shinta menghentikan omelan Rani.

"Apa? Ganti rugi? Sok banget lo. biaya laundry-nya belum tentu lo bisa ganti."

Rani mengibaskan tangan. Shinta sudah mulai kehilangan kesabaran. Dia mencoba mengatur napas untuk meredakan emosi.

"Jadi, apa yang Kakak mau?" tanyanya lagi begitu perasaan sedikit lebih tenang.

Rani mendengkus. "Karena gue enggak mau dianggap zolim sama rakyat jelata, jadi lo enggak perlu ganti rugi." Dia mencebik. "Lagian punya mata dua enggak dipake."

Rani terus mencerocos dengan kata-kata pedas. Semakin lama, ucapannya semakin kasar dan menghinakan. Akhirnya, dinding kesabaran Shinta runtuh.

"Saya, kan, sudah minta maaf bahkan bersedia ganti rugi, kenapa Anda masih bersikap menyebalkan! Saya tadi memang kurang fokus karena asyik menonton pertunjukan tari kakak-kakak di sana. Tapi, ya, sikap Anda ini juga kebangetan tau!"

Rani terlonjak. Dia sampai refleks melompat ke belakang. Awalnya, Rani mengira Shinta memang rakyat jelata menengah ke bawah yang ketakutan, sehingga diam saja dari tadi. Tentu dia kaget ketika lawannya ngegas. Namun, Rani tetap tidak mau kalah.

"Dasar rakyat jelata, ya, seleranya emang tarian kampungan macam itu."

Kini, Rani mulai menjelek-jelekkan tarian tradisional. Shinta semakin membara. Tangannya terkepal kuat.

Sementara itu, Putri yang semula hanya menikmati pertengkaran mereka mendadak berdiri. Seolah terhipnotis, dia berjalan cepat menghampiri Rani dan Shinta. Panggilan Tyas dan Paijo tak dihiraukan.

"Apa tadi Anda bilang? Kampungan? Kalo kampungan, berarti selera artis Korea idola Anda termasuk kampungan dong?" sindir Putri.

Rani melotot. Shinta terkesima. Tak menyangka penari yang tadi dikaguminya akan datang membela. Meskipun sebenarnya Putri terpancing karena tari tradisional dihina. Sudah cukup dia bersabar dengan kelakuan Rani.

"Oh iya, saya juga tidak menyangka artis sinetron yang katanya seperti malaikat ternyata lebih mirip iblis!" sindir Putri lagi.

"Dasar pengamen miskin kurang aja–"

"Anda suka sekali menghina orang karena ekonomi. Saya memang bukan orang kaya, tapi adek ini belum tentu lho miskin. Siapa tau dia lebih sulton daripada Anda," potong Putri.

"Gembel sial*n!"

Rani kembali menghina. Namun, Putri selalu berhasil mematahkannya. Rani tersengal-sengal. Dia mengangkat tangan hendak menampar.

Tring tring

Bunyi ponsel menghentikan aksi Rani. Dia mengeluarkan ponsel dan mengamati layar, sepertinya hanya pesan masuk. Wajah gadis itu mendadak merona dan berubah lebih lembut. Namun, dia kembali sinis saat menatap Putri dan Shinta.

"Kalian lolos karena gue ada urusan!"

Rani sempat melirik jijik sebelum pergi dengan tergesa-gesa. Dia tampak menerima panggilan telepon, lalu mengomeli si penelepon. Nada suaranya yang sangat tinggi dan nyaring membuat para pengunjung taman mengalihkan pandangan. Namun, mereka hanya menggeleng pelan sambil mengelus dada.

"Kamu suka tari tradisional juga, Dek?" celetuk Putri memecahkan keheningan.

Shinta menyahut antusias, "Aduh, bukan suka lagi, Kak, tapi cinta! Meskipun selama ini enggak tinggal di Indonesia, aku sama temen-temen terus melatih kemampuan tari kami."

Putri mengerutkan kening. "Tidak tinggal di Indonesia? Wah, berarti tebakan saya tadi benar dong, kamu juga orang kaya."

"Apa, sih, gunanya kaya kalau tidak beretika? Uang bisa dicari, Kak, tapi kalo tabiat sudah menetap susah diubah."

"Benar juga, ya. Oh iya, nama saya Putri. Kalo kamu?"

"Saya Shinta, Kak."

Putri terdiam. Ingatan tentang bayi berusia 2 tahun berpipi gembul mampir di benaknya. Garis wajah, bentuk mata, dan nama yang sama dengan adik cinta pertamanya Joko membuat kenangan indah berdatangan. Masa-masa ketika kebencian belum meracuni hati.

Shinta benar-benar mengingatkannya dengan bocah menggemaskan yang selalu memanggilnya Bak Uyan. Tangan mungil yang selalu menempel erat dan tak mau berpisah. Putri bahkan selalu merengek ingin meminta adik Joko.

"Kak? Kakak baik-baik saja?"

Putri tergagap, lalu menyengir lebar.

"Saya baik-baik saja, cuma teringat sesuatu. Oh ya, kamu mau bergabung dengan kami di sana?"

"Boleh, Kak, boleh!"

Akhirnya, Shinta ikut duduk di tikar. Putri memperkenalkannya dengan Tyas dan Paijo. Awalnya, Tyas agak sedikit cemburu karena merasa perhatian Putri terbagi, tetapi lama kelamaan malah ikut asyik mengobrol dan paling bersemangat. Mereka juga tidak berbicara formal lagi.

"Jadi, Dek Shinta ini udah latihan nari gitu dari kecil?" tanyanya antusias.

"Iya, Kak. Dari usia 5 tahun, diajarin sama Eyang, tapi sempat berhenti karena ada masalah pribadi. Pas di Singapura lanjut lagi bersama grup yang dibentuk teman-teman main aku. Beberapa kali kami menang kompetisi."

"Wow, mantap!" Tyas mengacungkan jempol.

Namun, Shinta malah menatap Putri dengan mata berbinar-binar. "Tapi, asli lho, Kak. Tarian Kakak indah banget, keliatan pro. Kalo Kakak ikut kompetisi, pasti bakal menang," puji Shinta.

Putri tersenyum pahit. Seandainya, tak terjadi insiden mengerikan di keluarganya, mungkin saat ini dia sudah berdiri di panggung internasional. Shinta dan Tyas memanggil-manggil namanya dengan cemas. Putri cepat-cepat memperbaiki raut wajahnya.

"Pengen sih ikut kompetisi, Dek, tapi yah aku realistis aja. Aku belum bisa fokus ya karena harus sambil kerja. Tapi, kadang melatih anak-anak nari juga. Lumayan biar keterampilan enggak bener-bener terkubur."

"Kak Putri ...." Shinta memeluk lengan Putri dengan tatapan memelas.

Putri terkekeh. "Ada apa? Kamu mau ikutan latihan juga?"

"Boleh, ya, Kak? Boleh, ya? Boleh, ya?" rengek Shinta.

"Hmm ... karena kamu orang kaya, bayarannya kunaikkan 2 kali lipat," goda Putri.

"Naik 10 kali lipat juga boleh."

"Ha ha ha aku cuma bercanda, Shinta. Tentu saja, kamu boleh ikut latihan dengan biaya yang sama." Putri menuliskan alamat panti asuhan. "Datang aja ke sini. Latihannya tiap hari dimulai jam setengah empat sore."

"Wah, makasih banyak, Kak!"

"Oh iya, aku bisa minta nomor hp kamu? Kalo latihan diliburkan, aku akan memberitahukan lebih dulu."

"Bisa dong, Kak."

Shinta menyebutkan 12 digit nomor. Putri segera menyimpannya di ponsel dan memberi nama kontak Shinta imut. Setelah itu, mereka kembali mengobrol, sesekali melontarkan canda. Tyas tergelak sampai terkentut-kentut. Paijo malah terpesona.

"Aduh, ternyata di sini!" Suara familiar membuat Shinta berbalik.

Benar saja, Rama tengah berdiri di belakang mereka dengan napas terengah-engah. Seragam pemuda itu basah kuyup oleh keringat. Dia tampak seperti peserta lomba lari maraton saja.

"Saya sudah hampir lapor polisi, takut kamu diculik," cerocos Rama.

"Iya, iya, maaf. Tadi, aku liat pertunjukan keren kakak-kakak ini, Bang, jadinya khilaf deh."

"Ayo, Dek, kita harus cepat pulang. Saya ditelepon Pak Aldi terus dari tadi."

"Iya, Bang, iya." Shinta mengalihkan pandangan kepada Putri, Tyas, dan Paijo. "Kakak-kakak, aku pulang dulu, ya. Sampai ketemu lagi nanti," pamitnya.

"Iya, hati-hati di jalan, Dek," sahut Putri, Tyas, dan Paijo kompak.

Akhirnya, Shinta dan Rama berlalu dari hadapan mereka. Putri memejamkan mata sejenak, lalu menatap langit dengan sorot mata sendu.

"Shinta, apa kamu juga sudah tumbuh besar secantik Shinta itu sekarang?" lirihnya.

***