Cahaya merah terang menyeruak meliputi angkasa. Si Tuan Muda dan empat orang anak buahnya membelalakkan mata. Mereka mengira apa yang dialaminya saat ini adalah mimpi.
Sayangnya, ini bukan mimpi. Melainkan sebuah kenyataan.
Pedang Bunga Mawar terus memancarkan hawa pembunuhan yang sangat pekat. Di sisi lain, bau bunga mawar juga terus tercium dengan jelas.
"Sekarang, mari kita mulai!" teriak Mei Lan.
Wushh!!!
Tubuhnya langsung menerjang ke depan. Pedang Bunga Mawar melayangkan empat tebasan secara beruntun. Serangan itu sangat rapat. Tidak ada sedikit pun celah untuk menghindarkan diri darinya.
Si Tuan Muda sampai-sampai dibuat terkejut. Dalam kepanikan itu, tombaknya diangkat setinggi mungkin. Dia pun turut menciptakan perisai sebagai pelindung.
Wutt!!! Gelegar!!!
Seisi hutan seakan dibuat berguncang. Puluhan batang pohon rubuh. Bahkan ada yang sampai berterbangan pula.
Empat anak buah si Tuan Muda terlempar puluhan tombak. Keadaan mereka langsung kritis. Sedangkan si Tuan Sendiri hanya terlempar sejauh sepuluh tombak.
Walaupun tidak kritis seperti anak buahnya, tapi keadaannya tetap mengkhawatirkan juga. Seluruh tubuhnya telah dipenuhi oleh luka-luka. Darah segar membasahi pakaiannya yang mewah.
Di posisi lain, Mei Lan masih tetap berdiri dengan tegak. Pedang Bunga Mawar pun tetap digenggam oleh tangan kanannya.
Barusan, dia menyerang hanya mengerahkan lima bagian tenaga dalamnya saja. Tapi sungguh tidak disangka, ternyata hasilnya begitu mengejutkan.
Apakah hal ini terjadi karena tenaga dalamnya? Atau karena kekuatan istimewa yang terkandung dalam Perang Bunga Mawar?
Mei Lan tidak tahu jawabannya. Sampai sekarang, gadis itu masih terpaku di tempatnya. Antara kagum dan kaget, semuanya bercampur menjadi satu.
Lewat beberapa waktu kemudian, si Tuan Muda sudah bangun kembali. Tapi kali ini, keadaannya sangat lemah. Jangankan untuk melanjutkan pertarungan, bahkan untuk berdiri pun terasa sangat sulit.
"Pergilah. Aku tidak mau membunuhmu. Bawa juga empat anak buahmu itu," kata Mei Lan sambil mengibaskan tangannya.
"Tunggu pembalasanku!" gumam di Tuan Muda.
Tanpa berkata apa-apa lagi, dia segera membalikkan badannya lalu pergi dari sana. Sedangkan keempat anak buahnya dibiarkan begitu saja.
Entah, apakah mereka masih hidup atau sudah dia sendiri tidak mengetahuinya. Terlebih lagi, Mei Lan tidak perduli.
Bukan karena tega, melainkan karena dia sudah merasa muak kepada para pria kurang ajar itu.
Wushh!!!
Mei Lan segera pergi dari sana. Tidak lupa juga dua kelinci hutan tadi. Dia sengaja membawanya untuk mengisi perut yang sudah keroncongan.
###
Waktu terus berjalan. Kegelapan sudah menyelimuti muka bumi sejak beberapa saat yang lalu. Cuaca malam ini sangat cerah. Bintang-bintang bertaburan di tengah angkasa. Rembulan muncul dengan sinarnya yang penuh keteduhan.
Semilir angin berhembus, membawa keharuman bunga-bunga yang sedang mekar.
Kota itu bernama Nan Cing.
Kota Nan Cing adalah salah satu kota besar yang terdapat di sana. Kota Nan Cing pun termasuk kota yang terkenal. Kota itu dikenal dengan pemandangannya yang indah dan makanannya yanh lezat.
Selain daripada itu, yang lebih penting lagi, Kota Nan Cing juga terkenal sebagai salah satu kota yang kerap kali melahirkan pesilat berbakat.
Kota tersebut dipimpin oleh seorang Gubernur bernama Wang Cun Yang. Gubernur Wang sudah menjabat selama lima belas sampai dua puluh tahun. Dia mempunyai seorang putera. Dan puteranya bernama Wang Fu.
Di seluruh wilayah Kota Nan Cing, tidak ada yang tidak kenal kepada Tuan Muda Wang. Semua orang, baik yanh berasal dari persilatan maupun kalangan biasa, pasti mengenalnya.
Tapi Tuan Muda Wang bukan terkenal karena prestasinya ataupun bakat silatnya. Melainkan terkenal karena keangkuhan dan kesombongannya.
Siapa sebenarnya Tuan Muda Wang itu?
Orang yang dimaksud bukan lain adalah pemuda berpakaian hijau terang yang tadi siang telah dihajar oleh Jiang Mei Lan!
Ya, memang dia orangnya. Tidak lain dan tidak bukan.
Saat ini, Tuan Muda Wang baru saja tiba di depan gerbang tempat kediamannya. Sebenarnya jarak antara Kota Nan Cing dan hutan tempat tinggal Mei Lan tidaklah terlalu jauh. Tetapi karena Tuan Muda Wang sedang berada dalam keadaan terluka parah, maka dia baru sampai setelah kegelapan muncul.
Dia berjalan selangkah demi selangkah. Setelah berusaha keras, akhirnya perjuangan itu tidak sia-sia juga.
"Penjaga, kemari dan bantu aku!" teriaknya memaksakan diri.
Setelah dia berteriak, tubuhnya tiba-tiba terasa lemas. Hampir saja Tuan Muda Wang jatuh ke tanah. Untunglah dua orang penjaga gerbang segera datang ketika dia mengenali suara teriakan tersebut.
Dua penjaga itu langsung membopong Tuan Muda Wang. Di antara mereka tidsk ada yang bicara. Orang-orang tersebut segera masuk ke dalam.
"Tuan Besar, Tuan Besar," teriak salah satu penjaga yang membawa Tuan Muda Wang itu.
"Ada apa?" sebuah suara tiba-tiba terdengar. Suara itu merembet ke segala penjuru. Seolah-olah bangunan rumah yang sangat megah dan mewah itu telah dipenuhi oleh suara tersebut.
"Tuan Muda, Tuan Muda …"
"Apakah sesuatu telah terjadi?" tanya suara itu lagi.
"Benar. Tuan Muda, dia …"
"Ada apa? Apa yang terjadi kepada anakku?"
Gema suaranya belum selesai. Tapi orangnya sudah tiba di hadapan dua penjaga yang membopong Wang Fu.
Begitu melihat keadaannya, Tuan Besar yang bukan lain adalah Gubernur Wang Cun Yang tersebut segera melototkan matanya.
"Cepat bawa anakku ke kamarnya!" perintahnya dengan tegas.
Dua penjaga tidak menjawab dengan mulu. Sebaliknya, mereka malah menjawab dengan tindakan.
Tuan Muda Wang segera di bawa ke kamar. Tidak berapa lama kemudian, seorang tabib berusia tujuh puluhan tahun segera memasuki kamar tersebut lalu mengobatinya.
Sementara itu diluar kamar, Tuan Besar Wang masih berdiri di tempatnya semula. Di hadapannya ada dua penjaga yang sedang berlutut.
"Ceritakan apa yang telah terjadi!" perintahnya.
Dua penjaga itu saling pandang satu sama lain. Setelah beberapa saat, orang yang berada di paling kanan mulai membuka mulutnya.
"Kami, kami tidak tahu secara pasti Tuan Besar. Kami mendapati Tuan Muda sudah berada dalam kondisi demikian," jelasnya dengan perlahan.
Keringat dingin bercucuran membasahi pakaiannya. Penjaga itu sangat takut. Takut salah bicara. Takut kalau Tuan Besar Wang akan marah kepadanya.
Di hadapan Gubernur tersebut, siapapun pasti aka mengalami hal yang serupa.
Mereka takut melakukan dua kesalahan itu. Karena kalau saja melakukan satu kesalahan dari keduanya, niscaya nyawa yang menjadi jaminannya.
Mata Tuan Besar Wang melotot ke arah dua penjaga tersebut.
"Apakah kau tidak berbohong?"
"Hamba, hamba tidak berani berbohong Tuan Besar," ujarnya semakin merasa takut.
"Apakah tadi anakku pergi?"
"Be-benar Tuan,"
"Berapa orang yang mengawalnya?"
"Empat … empat orang,"
"Mana mereka?" tanyanya dengan menahan rasa kesal.
"Mereka … mereka tidak ada yang ikut kembali,"
"Apa?" kemarahan Tuan Besar Wang semakin memuncak. Saking marahnya, sampai-sampai lantai yang dia injak amblas sampai ke mata kaki.