webnovel

Sepucuk Surat

Kejadian itu membuatnya terpaku seperti patung untuk beberapa saat. Dia masih merasa sangsi, apakah yang baru saja dialami olehnya merupakan mimpi?

Mei Lan baru tersadar dari lamunan setelah angin pagi berhembus menggoyangkan rambut panjangnya yang dibiarkan terurai. Dia berdecak kagum untuk kesekian kalinya.

"Sepertinya latihan pagi ini cukup." katanya denagn ekspresi wajah sangat puas.

Mei Lan membalikkan tubuh. Meskipun latihan yang dia lakukan terbilang singkat, tapi tenaganya berkurang cukup banyak. Apalagi jurus-jurus yang tertera dalam Kitab Seribu Bunga memang memerlukan tenaga yang tidak sedikit.

Untunglah gadis itu mempunyai salah satu cara terkait bagaimana caranya mengembalikan tenaga dalam dengan waktu yang singkat. Dia duduk kembali di batu hitam tadi. Kemudian Mei Lan memejamkan mata dan mulai bersemedi.

Lewat setengah jam kemudian, tenaganya sudah kembali seperti semula. Sekarang tubuhnya jadi lebih segar, wajahnya juga tampak lebih cantik. Apalagi ketika mentari pagi menyorot menyinari mukanya.

Dia bangkit dari posisinya. Lalu berjalan ke tengah hutan. Tujuannya ke sungai. Mei Lan ingin mencari ikan untuk dibakar. Kebetulan sekali, perutnya sudah merasa lapar. Apalagi sejak semalam, dirinya memang belum menyantap apapun.

Tidak berapa lama kemudian, dia sudah sampai di sungai yang dimaksud. Sungai itu berukuran cukup besar. Airnya berwarna biru muda. Sangat jernih. Arusnya juga tidak terlalu deras.

Mei Lan memilih tempat yang di rasa cocok. Setelah menemukannya, dia langsung menceburkan diri ke dalam sungai.

Byurr!!!

Air sungai menciprat ke segala arah. Membasahi tumbuhan liar yang berada di pinggir sungai.

Meskipun Mei Lan seorang gadis, tapi kalau bicara soal berenang dan menangkap ikan, maka kemampuannya tidak perlu diragukan lagi. Bahkan sekali menyelam ke dasar sungai, dia bisa berhasil mendapatkan tiga sampai enam ekor ikan berukuran cukup besar.

Seperti juga saat ini, sekali dia menyelam, lalu muncul ke permukaan kembali, di kedua tangannya sudah ada lima ekor ikan seukuran telapak tangannya.

Kemampuan seperti ini tidak setiap orang bisa melakukannya. Hanya mereka yang terlatih dan terbiasa saja, yang dapat melakukannya.

Untunglah Mei Lan termasuk di antara jajaran orang-orang terlatih dan terbiasa. Hidup sebatang kara di tengah hutan, apalagi dalam kurun waktu yang tidak sebentar, tentu membuatnya belajar banyak hal.

Mulai dari bertahan hidup, memburu, dan lain sebagainya. Dalam bidang-bidang seperti itu, Jiang Mei Lan memang ahlinya.

Setelah mendapatkan lima ekor ikan tersebut, dia segera naik ke darat. Mei Lan kemudian membuat api unggun lalu membakarnya. Setelah ikan matang, dia segera menyantapnya dengan lahap.

Sekarang, perutnya sudah kenyang. Perutnya tidak lagi merengek minta diisi. Kalau sudah demikian, maka waktunya untuk kembali ke goa sudah tiba.

Wushh!!!

Tubuh Mei Lan melesat dengan sangat cepat. Dia sengaja menggunakan ilmu meringankan tubuhnya. Gadis itu ingin tahu, apakah sekarang ilmu tersebut sudah meningkat?

Ternyata, jawabannya begitu memuaskan. Ilmu meringankan tubuhnya sudah meningkat sangat pesat sekali. Terbukti sekarang, dalam waktu beberapa helaan nafas saja, dia telah tiba di goa yang selama ini menjadi tempat tinggalnya.

Jiang Mei Lan berjalan perlahan. Sekarang yang dibutuhkan olehnya hanya istirahat.

Tapi baru saja mau masuk ke dalam goa, tiba-tiba sepasang matanya yang indah itu melihat ada sesuatu yang tergeletak di atas tanah. Tepat di tengah-tengah pintu masuk.

Setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata sesuatu itu berupa surat.

Tapi, surat apakah itu? Siapa pula pengirim suratnya?

Karena dirinya ingin mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut, maka tangan kanannya dijulurkan lalu dia segera memungut surat itu.

Mei Lan segera membuka lalu membaca isi suratnya.

"Tiga hari lagi, aku menunggumu di pinggir Hutan Larangan sebelah Timur."

Isi dari surat tersebut hanya itu saja. Tidak kurang dan tidak lebih. Di dalamnya tidak terdapat siapa pengirim atau kepada siapa surat itu ditujukan.

Tapi di sisi lain, Mei Lan juga tahu bahwa surat tersebut pasti ditujukan untuknya. Rasanya tidak mungkin surat itu ditujukan untuk orang lain.

Bukankah yang selama ini tinggal di Hutan Larangan, hanyalah dia seorang?

Mei Lan melipat kembali surat tersebut lalu memasukannya ke dalam saku baju.

Dia tahu di mana tempat yang dimaksudkan.

Beberapa waktu lalu, dia sudah tahu bahwa hutan yang selama ini ditinggali olehnya bernama Hutan Larangan. Dan terkait bagian sebelah Timur yang dimaksud surat tersebut, dia jelas lebih tahu lagi.

Bagian sebelah Timur adalah jalan untuk menuju ke Kota Nan Cing. Bagian itu pula yang sering dia lewati apabila dirinya ingin membeli sesuatu ke kota tersebut.

Teringat akan Kota Nan Cing, Mei Lan ingat pula kepada Tuan Besar Wang yang menjabat sebagai Gubernur kota itu.

'Hemm, apakah surat ini berasal dari orang itu?' batinnya menerka-nerka.

Mei Lan tidak tahu. Sekali pun hatinya sangat ingin tahu, tapi untuk beberapa waktu ini, terpaksa dia harus menahan rasa penasarannya tersebut.

Setidaknya, dia membutuhkan waktu sekitar tiga hari untuk mengetahui siapakah pengirimnya.

Akhirnya gadis itu meneruskan langkah kakinya yang sempat terhenti. Dia terus berjalan masuk ke dalam goa, kemudian naik ke pembaringan batu lalu pada akhirnya tertidur pulas.

###

Waktu yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Sekarang masih pagi hari. Bahkan mentari pun belum benar-benar muncul menyinari muka bumi. Udara terasa sejuk. Suasana di hutan masih sama seperti biasanya.

Tapi walaupun masih pagi-pagi buta, Mei Lan malah sudah selesai sarapan. Dan bukan itu saja, bahkan gadis itu pun sudah terlihat siap.

Ya, dia memang telah siap segalanya.

Apalagi, kalau diingat kembali, sekarang adalah hari di mana dirinya harus pergi ke bagian Timur Hutan Larangan.

Tanpa mau menunggu terlalu lama, Mei Lan segera berjalan ke arah yang dimaksud. Dia melangkah sangat tenang dan perlahan. Gadis itu sengaja tidak menggunakan ilmu meringankan tubuhnya. Selain ingin menikmati keindahan pagi hari, dia pun ingin menghemat tenaganya.

Apalagi, Mei Lan belum tahu, sesuatu apa yang sudah menunggunya di bagian Timur.

Setelah sekitar setengah jam berjalan, akhirnya gadis cantik itu tiba juga di tempat tujuannya. Mei Lan sempat berhenti sebentar untuk sekedar memperhatikan keadaan di sekelilingnya.

Keadaan di sana sangat hening. Seolah-olah tidak terlihat adanya kehidupan.

Jangankan manusia atau siluman, bahkan binatang penunggu hutan pun tidak ada!

Ke mana perginya burung-burung yang biasa berkicau merdu? Ke mana pula hembusan angin pagi yang membawa hawa dingin?

Benarkah di dunia ini, tiada kehidupan lagi?

Mei Lan mulai merasa curiga. Diam-diam gadis itu meningkatkan kewaspadaannya. Dalam kondisi seperti sekarang, dia sangat mengerti bahwa segala kemungkinan bisa saja terjadi.

Langkah kembali berjalan. Tapi kali ini lebih perlahan dan lebih berhati-hati.

Pada awalnya keadaan masih sama seperti sebelumnya, namun begitu dirinya keluar dari Hutan Larangan, situasinya berubah secara tiba-tiba.