webnovel

Berawal dari Satu Malam

Hanya berawal dari satu malam. Terlalu singkat namun mengubah seluruh kehidupan dua orang yang dipenuhi ketidaktahuan. ONS? Benar. Lantas ketidaksengajaan, ketidaktahuan dan kesalahanlah yang terjadi. Bisakah mengalahkan takdir saat semuanya sudah terlambat? Rein, sang perempuan polos mau tak mau harus menerima kenyataan bahwa ia menjadi 'korban.' Lalu Redis Sanjaya langsung meninggalkan Rein begitu saja setelah ia pun juga merasa tak sengaja. Redis yang dipaksa menikah mengorbankan Rein. Sedangkan banyak orang menyukai orang tersebut. Pernikahan berjalan buruk, Rein dan Redis tak cocok. Justru, Redis hanya tahu soal kerja dan kerja sampai Rein pikir orang itu tak normal. Lantas, bagaimana jika ibu Redis minta Rein mengubah anaknya? Rein dihadapkan dengan pilihan keluar namun tak boleh membawa anaknya. Lalu orang tersebut mau tak mau memilih pergi. Sepupu Redis yang bernama Radit menyukai Rein, oleh karena itu ia pun membantu Rein. Radit adalah orang yang membuat orang lain kesal. Ia adalah orang yang menjengkelkan. Bisakah Rein bahagia?

Raein23_Raein · perkotaan
Peringkat tidak cukup
214 Chs

25 Antara Tinggi dan Jatuh

Kekalahan yang nyata adalah saat seseorang merasa menang oleh rasa tinggi. Kesombongan adalah racun dalam banyak kesempatan.

Jatuh dalam kenistaan, itulah bentuk kegilaan yang nyata.

Ini hanya soal hidup antara tinggi dan jatuh!

Mereka yang menjatuhkan diri sendiri saat posisinya di atas.

***

"Rein, tidak mau turun? Kita sudah sampai lho."

Sekuat yang Rein mampu, ia tahan agar tak mengamuk ke Radit.

Tak banyak hal yang terjadi, seperti biasa Radit dan mulut super beracunnya. Sialnya mengena ke hati, sampai tersinggung lahir batin.

Licin, licik dan lihai. Triple L.

Apa yang Radit bilang langsung jacpot ke sudut hati dan pikiran Rein.

Baiklah, kira-kira begini ucapan laki-laki tersebut.

"Kakak ipar ingin ku panggil apa, perempuan malang yang beruntung atau..., perempuan yang datang tanpa persiapan? Orang yang tidak pernah Anda kenal sebelumnya bilang ingin menikah, itu racun hidup, kakak ipar, Nona, nona Rein, Rein."

Rein tahu, Radit sengaja borong semua jenis panggilan untuk membuat ia kesal.

"Aku bukan melebih-lebihkan, hanya saja poison itu akan meracuni sampai ke sum-sum tulang. Ikut kemanapun langkah terayun."

"Tak ada yang kebetulan dalam dunia ini, bahkan sebuah takdir dadakan sekalipun sudah ada garis dan ketentuannya. Keluarga kaya akan terus menindas, terlebih tidak ada rasa cinta. Aku bukan menakut-nakutimu nona Rein, itulah kenyataannya. Aku bicara sebagai bagian dalam keluarga tersebut. Seorang intern mutlak. Walau apapun yang terjadi, semoga Anda tetap baik. Takdir dan nasib orang kan tidak ada yang tahu."

Bahkan doa dan kata-kata baik tersebut terdengar seperti racun yang membakar tubuh Rein!

Tolong jangan bersikap berlebih. Rein ingin pergi!

"Oh ya nona Rein, jujur, sebagai intern aku kasihan melihatmu. Aku yakin hidup sederhanamu awalnya normal dan baik-baik saja, tapi sekarang bertukar dalam sekejap hanya dalam satu malam. Tak adil. Karena itu, carilah tempat berpegang sebagai harapan lebih. Siap-siap, baik secara mental dan psikis. Orang dalam yang peduli bagus untuk posisimu."

Lagi, kata-kata yang seharusnya mengandung makna baik itupun terasa menusuk bagai jarum beracun.

Rein tak ingin menghabiskan hidupnya menderita dan dikasihi. Rein tahu yang ada didepannya.

Jangan sok baik!

Terlebih kata kasihan berkedok simpati!

Tak perlu!

Hanya karena orang tersebut seorang intern keluarga, dia tak tahu apa-apa soal yang akan terjadi pada hidup Rein.

Dia bukan Tuhan!

Bukan malaikat pengatur takdir.

Kacau, setelah menarik napas, Rein turun dari mobil Radit.

Oke, untuk saat ini Rein memang kalah, namun ia tak harus terlalu menunjukkan kekalahannya. Tak apa-apa, jangan mengakui.

Dunia hingar-bingar ini, banyak orang yang bermain 'petak umpet.' Keadaan, situasi maupun kondisi adalah tempat mereka bermain.

Siklus tersebut terus berjalan.

"Terima kasih," ujar Rein berusaha terlihat baik.

Hey, dia memang baik kok. Walaupun sedikit kesal.

Lalu Rein hanya menatap bingung Radit yang belum juga pergi, malahan, yang ada orang tersebut ikut turun.

Ck, sudah lupakan, lebih baik Rein pergi. Toh sudah bilang terima kasih. Rein berhenti saat lihat Radit ikut kemanapun ia melangkah.

Pasti ada yang gak beres. Rein menatap penuh selidik ke Radit. Orang itu tersenyum tak jelas.

"Tunggu, kau ingin kemana?" tanya perempuan tersebut.

Bukan kata-kata Anda, Pak atau panggilan hormat lain. Rein cukup muak, Mr presdir ini terus ikut seperti anjing peliharaan.

"Oh, aku lupa bilang. Aku ada keperluan di Aletta Corp. Waktu kosongku terlalu berharga kalau hanya jadi sopir pribadi."

Satu hal yang Rein tangkap dari Radit, yaitu menyebalkan. Mulut tersebut harusnya kursus agar tak main asal keluar.

Presdir model beginian, Rein heran, apakah ada yang tertarik dengan orang yang sombong ini?

Gayanya selangit. Dagu diangkat tinggi-tinggi dan dada dibusung. Ditambah mulut pedas. Completed.

Jangan lupakan ekspresi congkak yang sangat kentara.

Sayang beribu sayang, kebanyakan wanita lihat money bukan sifat dan perilaku si pembawa uang tersebut. Lebih-lebih Radit tampan. Wah sialnya.

"Sambil menyelam minum air, nona Rein," ujar orang itu.

Dasar, kenapa tidak bilang dari tadi?

Untung Rein belum ambil ancang-ancang antisipasi. Kalau iya siap-siap servis itu little angry bird.

"Oh, lalu Anda hanya pergi sendiri. Mana sekretaris Anda? Setahuku sekretaris ikut kemanapun atasannya pergi."

"Reni akan menyusul, aku kan ingin dekat ke kakak ipar."

Terserah! Rein tak ingin dengar lagi. Yang orang itu lakukan adalah masuk ke kantor.

"Hey Rein, tunggu. Aish, belum ada orang yang meninggalkanku begini tahu gak!?"

Rein tak habis pikir, apa hidup Radit sebegitu 'ringan' hingga bebas melakukan apapun. Tingkahnya saat ini lebih cocok disebut pengangguran ketimbang CEO perusahaan besar.

Atau anak sekolahan labil yang belum bisa membedakan mana yang baik dan tidak.

Jas formal itu saja id yang terlihat dari orang tersebut. Yang lain mah enggak.

Santai, ketika tiba tepat disamping Rein, Radit memasukkan tangan ke saku, tangan yang lain menenteng tas kerja. Posisi tersebut tak nyaman untuk Rein.

Tahu respon orang-orang, natap intens ibarat habis lihat keajaiban dunia. Seolah-olah mereka sepasang kekasih selebritis yang baru menikah.

Tontonan gratis yang menarik.

Ayolah. Rein risih dengan tatapan orang-orang. Untuk itu ia mempercepat langkah kaki. Yang tadinya 2 km/jam berubah 3/jam.

Gak tahu benar atau gak, Rein lupa pelajaran Fisika waktu SMA dulu.

Biar lebih mudah begini, yang tadi awalnya joging sekarang sprint. Paham?

Sekalian olahraga pagi, habis, naik mobil kan gak terlalu pakai tenaga.

"Rein," ujar Radit seakan bersama anak kecil.

Takut si kid hilang ditengah kerumunan orang.

"Dasar gila, dia tidak punya urat malu apa. Pasti sengaja nih biar aku jadi bahan gossip hot."

Rein menggerutu. Dalam hati hampir menyumpah Radit yang sialnya seorang presdir.

Orang itu masih terus berlari.

Bukannya berkurang tatapan yang tidak Rein suka, yang ada makin tambah banyak.

Cukup, sekarang hanya perlu masuk lift setelah itu selesai.

Alone is life. Biarkan ketenangan jiwa datang.

"Hah..., hah..., hah..."

"Kakak ipar, kau cocok jadi atlet lari. Aku sampai lelah mirip orang ngejar pencuri jemuran. But no problemlah, hitung-hitung olahraga biar sehat. Aku jarang olahraga, maklumlah orang sibuk."

Siapa juga yang bertanya, bodo.

Rein pikir selain punya mulut ember, Radit juga seorang yang lincah. Kebanyakan imunisasi pas masih kecil nih. Makanya jadi rada-rada gila.

Over!

Rein yang sibuk ngedumel dan Radit tersenyum misterius. Tingkah Rein yang tak menghiraukan keberadaannya justru jadi hiburan untuk Radit. Look, wajah orang tersebut kentara tengah kesal.

Kena, masuk perangkap tikus.

Rein keluar lift yang langsung diikuti presdir tersebut. Gak apa-apa, perjuangan. Setelah ini bukan ia yang follower, melainkan Rein.

Tikus imut kecil terperangkap.

"So miss Rein, welcome to the darkness world. I won you."

Radit tersenyum misterius. Inilah saatnya, ia bermain bersama 'wanitanya' Redis.

"I'm sorry brother, she is mine."

*****