webnovel

Berawal dari Satu Malam

Hanya berawal dari satu malam. Terlalu singkat namun mengubah seluruh kehidupan dua orang yang dipenuhi ketidaktahuan. ONS? Benar. Lantas ketidaksengajaan, ketidaktahuan dan kesalahanlah yang terjadi. Bisakah mengalahkan takdir saat semuanya sudah terlambat? Rein, sang perempuan polos mau tak mau harus menerima kenyataan bahwa ia menjadi 'korban.' Lalu Redis Sanjaya langsung meninggalkan Rein begitu saja setelah ia pun juga merasa tak sengaja. Redis yang dipaksa menikah mengorbankan Rein. Sedangkan banyak orang menyukai orang tersebut. Pernikahan berjalan buruk, Rein dan Redis tak cocok. Justru, Redis hanya tahu soal kerja dan kerja sampai Rein pikir orang itu tak normal. Lantas, bagaimana jika ibu Redis minta Rein mengubah anaknya? Rein dihadapkan dengan pilihan keluar namun tak boleh membawa anaknya. Lalu orang tersebut mau tak mau memilih pergi. Sepupu Redis yang bernama Radit menyukai Rein, oleh karena itu ia pun membantu Rein. Radit adalah orang yang membuat orang lain kesal. Ia adalah orang yang menjengkelkan. Bisakah Rein bahagia?

Raein23_Raein · perkotaan
Peringkat tidak cukup
214 Chs

17 Fitting Baju Pengantin dan Memilih Cincin

"Ikut perintahku dan jangan banyak bicara."

Begitukah nasib yang harus Rein alami?

Sekarang perempuan tersebut bersama Redis. Alih-alih untuk fitting baju pengantin dan memilih cincin pernikahan, yang ada kedua orang tersebut hanya berdebat tak karuan. Tak ada habisnya.

Salahkan mulut Rein yang sulit diam dan sifat tak suka diganggu Redis.

Harusnya saat ini Redis yang seorang presdir berada di kantor untuk bergelut berkas-berkas yang amat dicintai. Bukannya malah dengan Rein serta tetek-bengek acara pernikahan.

Namun apalah daya, sang papa dan mama tak merestui hingga Redis pun mau tak mau berakhir pada situasi tersebut. Ngomong-ngomong, Redis sudah sehat. Nah, akibat ngotot ke kantor, yang ada Redis disuruh fitting baju.

Singkat cerita, pergi ke butik untuk fitting baju dan memilih cincin, tuan dan nyonya Sanjaya setuju lahir batin. Akan tetapi pergi kalau berangkat kerja jangan harap, sampai si author bisa kawin pun belum tentu dikasih.

Eh, menikah maksudnya.

Oke, abaikan. Mari kita kembali ke yang terjadi. Rileks, jangan terlalu tegang.

Please, Redis ingin bekerja!

Gila kerja...?

Benar!

"Cepat selesaikan, pilih gaun mana saja yang kau suka. Aku tak punya banyak waktu."

"Kalau gitu lebih baik Tuan suruh saya pergi sendiri, daripada marah-marah terus. Dasar sok sibuk," sunggut Rein dengan wajah kesal.

Gak apa-apa kok dia fitting baju sendiri. Toh walau datang berdua tetap rasa sendirian.

"Tutup mulutmu."

Sesaat setelah itu Redis pun menarik napas kasar. Tidak ia sangka ternyata Rein adalah orang yang merepotkan. Berbanding terbalik ia yang punya sifat tenang tetapi diam-diam menghanyutkan. Ehem.

Rein terlalu aktif dan cerewet!

"Tolong urus orang ini. Bantu dia memilih gaun terbaik."

Setelah mengatakan itu Redis pun langsung menyingkir dari tempat tersebut, meraih tablet kemudian sibuk sendiri. Harus cepat dan ia tak mau menyia-nyiakan waktu yang berharga.

Bagi Redis, time is money. Setiap detik adalah uang. Lalu hal itulah yang buat Redis senang hati bergelut berkas. istilahnya makanan sehari-hari.

Rasa cinta itu sudah mendarah daging sampai disebut gila kerja.

Hayo..., siapa yang punya sistem pemikiran begitu...?

Bagus sih, tapi bisa menghambat ketemu pasangan hidup. Jalani hidup sesuai porsi. Lihat dengan sebaik mungkin.

Sementara itu Rein pun tengah melihat-lihat berbagai macam gaun pernikahan. Semuanya terlihat bagus dan perempuan itu pun menyukainya.

Hanya saja tidak boleh mempermalukan diri sendiri. Harus pilih gaun bagus yang sesuai kriteria semua pihak.

"Meri?" gumam Rein lihat nama yang tertera di layar ponsel.

Tumben sahabatnya menelepon. Terlebih pada jam-jam sibuk. Hey, orang itu kerja. Kalau Rein sih tidak terlalu terkekang pekerjaan.

Dia bebas walaupun harus gesit mengerjakan satu buku yang akan diterbitkan oleh penerbit buku cetak. Setelah itu ia pun ambil bagian di pekerjaan sebagai penerjemah buku bahasa asing.

Bebas tapi tetap terikat tanggung jawab ketat. Jika tak gesit dan pandai mengatur waktu, sama saja bunuh diri.

Penerbit buku cetak sangat merepotkan lho. Ada tenggat waktunya. Begitupun penerjemah buku.

Rein sedang memilih gaun pengantin. Otomatis ia sibuk, maka dari itu Rein hanya mengirim pesan setelahnya lupa soal eksistensi ponsel.

Benar-benar melupakannya.

Bukan karena semangat milih gaun, tapi wajib, harus, tidak bisa tidak. Camkan itu.

"Yang ini saja," ujar Rein menunjuk sebuah gaun yang terlihat elegan dan sederhana.

Gaun tersebut tak terlihat merepotkan dan banyak hiasan. Masih indah walau simpel. Satu sih yang kurang, bawahnya nyentuh lantai. Gak masalah, Rein tetap tertarik.

"Baiklah Nona, mari kita coba."

Selesai memakai gaun, kedua orang tersebut pergi menuju tirai untuk menunjukkan hasil gaun kepada Redis.

Tirai pun dibuka, yang terlihat, Rein seperti akan nikah sama batang pisang bukannya manusia. Redis sibuk dengan tablet, seolah-olah dunia milik berdua, yaitu tablet dan ia sendiri.

Lagi-lagi Rein harus berhadapan ke sifat gila kerja Redis. Kalau boleh, ia ingin menyerah.

"Ehem."

Rein berdehem sebentar, menatap lurus orang yang masih fokus dihadapannya.

Kalau begini, jika bisa Rein sangat ingin melempar selop yang ia pakai ke kepala atau tidak wajah Redis.

Tapi ya sudahlah, gak nafsu. Oleh karenanya yang Rein lakukan adalah beralih ke pramuniaga yang ternyata sedang melihatnya. Niat Rein ingin pergi.

Toh gak ada yang harus ia lakukan, semua selesai. Rein suka gaunnya sementara Redis sok sibuk. Satu poin yang harus digarisbawahi, Rein suka gaun tersebut.

So, finish. Setelah ini Rein sudah memikirkan sesuatu untuk balas perlakuan Redis. Memangnya siapa yang ingin nikah ke Redis sampai-sampai ia jadi orang tak dianggap?

Cih, gak sudi!

"Aish aku korban hidup kejam, nasib, nasib."

Masih Rein ingat bagaimana cara ia bicara ke yang mulia Radit saat di parkiran mobil. Rein bukan orang bodoh yang bisa ditindas. Meski saat ini nasib dan keadaan memang tengah tak berpihak ke dirinya.

Eeh, lihat yang terjadi kedepan, bukan sekarang. Tak lama lagi, Rein buat orang itu kesal!

"Sudah, ayo," ujar Rein cuek.

Orang seperti Redis mending diperlakukan khusus. Kalau terlalu pakai perasaan, yang ada Rein nyesek akibat makan hati.

Santuy aja!

Padahal dalam sudut hati yang paling dalam Rein sedih. Mau nikah kok gini banget?

"Tuan, nona Rein sudah selesai," celutuk pramuniaga tersebut.

Entah kasihan lihat Rein seperti orang tak dianggap, yang jelas setidaknya lihat. Bentar gak apa-apa kok.

Rein yang berjalan hendak mengganti bajunya pun berhenti. Sayangnya hal tersebut cuman sebentar sebab Rein lanjut melangkahkan kakinya.

Bodo. Tadi toh dia dikacangin.

Ya sudah, kalau gitu nikah sama berkas-berkas kantor aja.

"Hey, mau kemana kamu."

Perkataan Redis dianggap Rein angin lalu. Terserah, yang jelas ia ingin pergi.

Si Rein misuh-misuh. Setelah itu berucap.

"Ganti baju, Tuan sibuk kan. Makanya saya mau cepat selesai. Setelah ini saya juga harus kerja. Memangnya Tuan doang yang punya pekerjaan," gerutu Rein, ia terus melangkahkan kaki sambil angkat gaun yang bagian bawahnya menyentuh lantai.

Ribet lho gaun pernikahannya, gak apa-apalah ini kan sisi elegan. Pilihan Rein benar!

"Siapa yang menyuruhmu pergi?"

"Eh?"

Rein hanya bisa menatap bingung Redis yang tiba-tiba sudah berada tepat dihadapannya. Jangan lupakan tangan orang itu yang memegang lengan Rein.

Cepat sekali, dari mana datangnya?

Hal itulah yang Rein pikir.

Rasanya aneh, Rein berusaha menetralisir detak jantung. Jangan disco sekarang!

Dasar jantung gak tahu tempat!

Rein tak menampik kenyataan ia gugup melihat wajah tanpa ekspresi Redis. Tatapan tersebut syarat akan aura intimidasi.

Lebih daripada itu, mata lembut Rein berhadapan langsung ke manik tajam Redis!

Mata Redis sebegitu mudahnya menelusuri tubuh Rein seakan-akan sedang menelanjangi!

Siapa yang jantungnya masih baik-baik saja saat mendapat tatapan seperti itu?

Tolong cacat, Rein itu perempuan normal yang bisa salah tingkah.

"Cantik, ternyata pilihanmu bagus juga."

Ambigu, Redis sedang memuji gaun atau penampilan Rein?

Oke, lupakan.

Hanya beberapa suku kata, tapi efeknya sanggup buat Rein melayang.

Ah tidak, Rein sedang kesal. Ia dianggap angin lalu oleh Redis!

Jadi sekarang ceritanya kesal.

"Sudah, aku mau ganti baju," ujar Rein lirih.

Semoga gak ketahuan kalau ia gugup. Bukan masalah taruh dimana muka Rein tapi lebih bagaimana kisah hidup kedepan.

Rein malu!

"Wait."

Rein hanya bisa menatap Redis yang seakan-akan memenjarakan seluruh ruang lingkup penglihatannya. Terlalu tajam dan menusuk, sampai Rein sulit membedakan mana yang nyata dan yang tidak.

"Jangan panggil aku Tuan. Panggil Bapak, atau..., nama."

Seketika itu wajah Rein langsung datar, kalimat awal sih cukup bagus, yang tengah-tengah itu lho.

Huh.

Pada akhirnya perempuan tersebut mengerjap lamat-lamat, bukan lagi di alam bawah sadar.

Dunia nyata kelam dan jahat.

Dunia nyata tak mungkin hanya ada manis-manis saja.

Dunia nyata jauh dari dramatis. It's real.

"Baik Pak."

"Satu lagi..."

Redis tak sempat menyelesaikan perkataannya oleh sebab suara ponsel. Itu pasti telepon penting. Tanpa membuang waktu pemimpin perusahaan tersebut langsung mengangkat telepon.

Tinggal Rein yang terlihat macam orang bodoh.

[Oke. Aku akan kesana. Ingat selesaikan kalau ingin aku mengampunimu. Ngomong-ngomong gajimu tetap aku ambil 60%.]

Redis beralih ke Rein saat telepon ia matikan sepihak.

"Maaf, aku harus pergi. Kau pilih cincin pernikahan sendiri saja."

Semudah itu Redis berucap, 'maaf, aku harus pergi. Kau pilih cincin pernikahan sendiri saja.'

Keterlaluan. Rein ingin marah. Jika dipikir pun, Rein tengah menulis bab yang belum sempat ia selesaikan saat Redis tiba-tiba berkunjung dan bilang, 'bersiaplah, kita akan pergi fitting baju.'

Setelahnya pergi tanpa memikirkan apakah Rein sibuk atau tidak. Hey, Rein belum bilang apa-apa. Apakah setuju atau nolak. Lalu sekarang Rein ditinggal...?

Rein ingin ngamuk!

Apa boleh buat, belum sempat perempuan tersebut merespon, Redis langsung main pergi.

Dasar tidak punya perasaan!

Kejam!

Tega!

Wajah kesal Rein menemani sepanjang keluar butik. Terserah, Rein tak mau peduli. Baju udah beres sekarang tinggal cincin.

Tinggal pilih cincin, oke fine.

Walau dengan hati dongkol sekalipun pada akhirnya Rein pergi menyelesaikan 'tugas suci negara.'

"Hay cantik."

Satu pertanyaan yang muncul, siapa itu?

Apakah hidup Rein akan jadi lebih buruk?

Hua, siapapun tolong Rein!

*****