webnovel

Berawal dari Satu Malam

Hanya berawal dari satu malam. Terlalu singkat namun mengubah seluruh kehidupan dua orang yang dipenuhi ketidaktahuan. ONS? Benar. Lantas ketidaksengajaan, ketidaktahuan dan kesalahanlah yang terjadi. Bisakah mengalahkan takdir saat semuanya sudah terlambat? Rein, sang perempuan polos mau tak mau harus menerima kenyataan bahwa ia menjadi 'korban.' Lalu Redis Sanjaya langsung meninggalkan Rein begitu saja setelah ia pun juga merasa tak sengaja. Redis yang dipaksa menikah mengorbankan Rein. Sedangkan banyak orang menyukai orang tersebut. Pernikahan berjalan buruk, Rein dan Redis tak cocok. Justru, Redis hanya tahu soal kerja dan kerja sampai Rein pikir orang itu tak normal. Lantas, bagaimana jika ibu Redis minta Rein mengubah anaknya? Rein dihadapkan dengan pilihan keluar namun tak boleh membawa anaknya. Lalu orang tersebut mau tak mau memilih pergi. Sepupu Redis yang bernama Radit menyukai Rein, oleh karena itu ia pun membantu Rein. Radit adalah orang yang membuat orang lain kesal. Ia adalah orang yang menjengkelkan. Bisakah Rein bahagia?

Raein23_Raein · perkotaan
Peringkat tidak cukup
214 Chs

14 Big Crazy

"You crazy!?"

Suara nyaring Redis mengusai keadaan saat Rein memukul kepala orang tersebut.

Salahkan tangan Rein yang berbuat hal tak masuk akal. Hanya saja kemarahan perempuan tersebut sudah di ubun-ubun hingga tak bisa dikontrol dengan baik.

Jika sudah marah tindakan yang diambil jauh dari kalimat handle.

Sedangkan Meri yang melihat live acara pukul memukul tersebut segera mengambil tindakan, menjauhkan Rein dari jangkauan atasannya. Walaupun Meri berstatus sebagai karyawan baru, ia tahu banyak soal Redis.

Hampir seluruh karyawan tahu Redis adalah orang yang temperamental.

Rein..., dengan bersikap begitu bagaimana bisa buat Redis jatuh cinta...?

Yang ada membahayakan diri sendiri, setelah ini Meri harus jelasin bahaya setelah langsung serang.

Redis tak mentolerir apapun!

"Singkirkan orang gila ini. Kamu beruntung sebab aku sedang sakit dan tak bernafsu membalas. Cepat, aku mau istirahat," ujar Redis memberi penekanan di kata istirahat.

Seolah-olah Rein adalah parasit. Tukang ganggu kenyamanan orang lain.

"Wouh God, asal kamu tahu, orang dengan kecerdasan EQ rendah kemungkinan besar terserang berbagai penyakit pikiran. Akan lebih baik punya kecerdasan EQ daripada IQ. Atau lebih baik keduanya saling mengimbangi."

Darah Redis tentu naik beberapa persen oleh perkataan Rein. Ia ingin istri bukan dengar ceramah. Tapi orang itu tak ingin melakukan apapun, yang ada mereka tak selesai-selesai.

Sungguh, Redis ingin tidur!

Bisa gak, don't distrub!

Tok. Tok. Tok.

Mata orang-orang teralih ke sumber suara.

"Permisi, eh?"

Rey yang berpikir merasa ada yang harus ditanyakan ke atasan, kembali ke ruang rawat Redis. Ketika lihat ada Meri, tanpa sadar orang tersebut spontan putar balik.

Ubah haluan.

Lari untuk menghindar masalah. Meri pasti bakalan buka aib Rey.

Belum apa-apa begini nih yang terdengar.

"Aaa..., Anda, Pak. Dasar tidak bertanggung jawab, main nitip Rein setelah itu lepas tanggung jawab. Mana aku lihat Bapak ciuman panas sama karyawan lagi."

Sebuah smirik terbit di wajah Meri. Terlebih lihat Rey putar tubuh kemudian menatapnya horor. Terserah, yang jelas Meri tahu persis terhadap yang ia perbuat.

Rasain pembalasan Meri!

Makan tuh!

"Skakmat, jacpot." Jiwa devil Meri berkobar-kobar.

Rey langsung lihat sang atasan. Habis sudah, ia pasti tamat.

Terdengar helaan napas berat. Belum berselang lama kemudian inilah yang terjadi. Redis berucap.

"Aku pusing. Mohon dengan sangat, tolong keluar. Aku ingin tidur," ujar Redis tajam dan datar.

Orang-orang itu harus enyah dari pandangannya. Saat ini Redis merasa dikerumuni parasit. Virus, wabah dan kuman bukan apa-apa dibanding orang buat pusing. Triple daed.

Redis muak!

"Baik Pak," ujar Rey yang terus lihat si mulut ember.

Rein sih memijat kepala, ia akhirnya sadar kalau ia dan Meri sama ceroboh. Mau bagaimana lagi, semua terlanjur.

Lebih baik sekarang mereka keluar. Beri ruang bernapas untuk Redis.

"Aku tak akan melepaskanmu, Reytama."

Senyum jahil Meri tambah lebar sampai memperlihatkan deretan giginya. Tidak sia-sia ia langsung main terobos.

Angkat wajah dan membusung dada, Meri persis perempuan cabe-cabean ketimbang individu pongah.

"Keluar, siapapun yang datang nanti jangan biarkan masuk. Termasuk Papa dan Mama. Kalau tidak, bersiaplah hidup sengsara di tanganku, sekertaris Rey. Sekarang tidak ada kalimat teman."

Sadis, itulah yang langsung ketiga orang tersebut pikir. Seorang Redis terlihat mirip devil yang bisa melakukan apapun. Incubus, that's right. Terserah, bagi Redis apapun mudah, ibarat membalik telapak tangan.

Easy and simple!

Orang-orang itu akhirnya pergi. Terlebih saat Redis mengepal tangan kuat ke mereka. Siapa yang gak takut. Setidaknya rasa itu akan muncul walau sedikit.

Mungkin hitungan detik, tanpa membuang waktu Rey langsung menarik tangan Meri yang seenak jidatnya ngadu sampai ia terlibat masalah. Dalam sekejap, cacat itu.

Meri yang seorang atlet beladiri pun memelintir tangan Rey yang tiba-tiba pegang tangannya. Itu adalah gerakan spontanitas bentuk pertahanan diri.

"Aaa...!"

"Maaf Pak, jangan macam-macam ke saya. Posisi Anda memang diatas, tapi saya bukan orang bodoh yang bisa Anda tindas begitu mudah. Inilah gunanya beladiri."

Meri bersmirk yang buat Rein bergidik. Ia tak pernah lihat Meri seseram sekarang.

"Meri sudah, lepasin. Ini rumah sakit tahu."

"Nona tolong jangan buat keributan, lepas atau kami mengusir Anda."

Tuh apa kata Rein. Sekarang suster datang untuk menghentikan sikap bar-bar Meri.

Karena itu mau tak mau Meri harus melepas Rey. Tentu dengan setengah hati. Kalau boleh ingin sampai lepas itu tangan. Si korban akhirnya bernapas lega saat cekalan di tangannya terlepas.

Sakit, serius, itu benar-benar sakit!

Tangan Rey merah. Ini orang atau iblis!?

"Rey!"

Seseorang yang memanggil tersebut sontak buat Rey tutup mata kuat-kuat. Mereka di rumah sakit, kenapa teriak-teriak.

Lagipula Rey gak budek kok, yang harus teriak saat dipanggil. Oh astaga, sekarang lebih buruk.

Because..., orang yang berteriak tersebut adalah..., Radit. Welcome to nasib buruk. Radit pasti sedang cari perkara ke Redis.

"Damn, hariku sangat buruk," gumam Rey dalam hati.

"Bagaimana keadaan kak Redis?"

Jangan salah, pertanyaan tersebut justru trik. Tak sulit kok.

"Baik. Sudah, tolong diam," ujar Rey.

Dalam hati Rey berharap Radit tak berbuat sesuatu yang bisa membahayakan dirinya. Redis jarang menjilat ludah sendiri.

Sayang beribu sayang, akhir-akhir ini banyak termakan prinsip sendiri. Kurang lebih jilat ludah di lantai.

"Seriously, aku harus memastikan langsung."

"Ya!"

Rey berusaha mencegah Radit yang ingin masuk ke ruang rawat Redis. Kalau orang itu benar-benar masuk, sudah pasti hidup Rey diambang-ambang kematian.

Sementara itu, sekali bertindak Rein dan Meri berhasil memutarbalik tubuh Radit yang sebenarnya cukup besar tersebut.

Ucap terima kasih ke tenaga super women.

"Dengar, jangan lakukan apapun. Pak CEO sedang istirahat, dokter yang gak ngebolehin jenguk. Soal kondisi, pak CEO baik-baik aja. Cuman butuh istirahat," ujar Rein cepat persis sedang maraton.

Istilahnya dalam satu tarikan napas. Langsung selesai deh itu kalimat.

"Kakak ipar, bukannya tadi gak ikut makan malam. Terus kenapa malah disini?"

"Hah..., kepalaku pusing," celutuk Rey.

Serius, kepala berdenyut seperti berputar.

Niat awal menemui atasan adalah untuk bertanya soal berkas kantor. Rey tak pernah tahu keputusannya malah buat hidupnya di ambang-ambang begini.

Poor Rey.

"Aku baru pulang dari rumah keluarga Sanjaya. Aku tahu soal makan malam, cuman gak ikut. Kamu berposisi sebagai apa di keluarga itu, panggil calon kakak ipar terus," celutuk Rein polos.

Sedari tadi kalimat yang ia ucap berputar-putar di otak. Nah sekarang tinggal dikeluarin deh.

Radit mengerjap lamat-lamat, namun tak lama setelah itu muncul sebuah senyum misterius. Lihat apa yang akan orang itu lakukan.

"Aku adik sepupu calon suamimu, Kakak ipar. Sayang sekali, ku rasa kak Redis gak anggap kamu, buktinya aku toh gak dikenalin. Kami sekeluarga kaget lho dengar kak Redis yang gak pernah pacaran tiba-tiba ingin nikah."

"Pak, tolong jaga mulut Anda," ujar Meri. Orang itu tak tahan dengan situasi sekarang.

Mulut Radit benar-benar, siapa yang pengen bully!?

Ayo merapat.

Bila perlu tenggelamin ke dasar laut.

Hancur!

"Berhenti, kita sedang di rumah sakit. Sekarang bubar atau aku akan panggil tuan Sanjaya. Ku pikir mulutmu harus di sekolahkan ulang Pak, biar gak asal keluar." Rey sudah tak sanggup.

Bisa gak biarin dia tenang?

Orang-orang buat ia terkena sakit mendadak. Mana belum tidur lagi.

"Wah sekretaris Rey, aku tersinggung lho."

"Radit?"

Semua pasang mata beralih ke datangnya sumber suara.

Pemilik suara berat tersebut adalah..., Mr Sanjaya yang ditemani oleh sang istri.

Poor, Radit.

Bersiaplah kena semprot.

***

Halo Kakak-kakak semua. Ayo dong follow Ig rinia_raein23. Di follow back kok. Walau hanya berkunjung. Anggap ini ajakan pertemanan dari Raein23. Ya?

Terima kasih sudah berkunjung. Tolong bantu sebar cerita ini ya. Biar Raein23 semangat update dan kasih hal-hal baru dari sisi yang lebih baik. Entah sih... baik atau gak, tapi ya ingin gitu. Terima kasih.

See you more!

*****