webnovel

Berawal dari Satu Malam

Hanya berawal dari satu malam. Terlalu singkat namun mengubah seluruh kehidupan dua orang yang dipenuhi ketidaktahuan. ONS? Benar. Lantas ketidaksengajaan, ketidaktahuan dan kesalahanlah yang terjadi. Bisakah mengalahkan takdir saat semuanya sudah terlambat? Rein, sang perempuan polos mau tak mau harus menerima kenyataan bahwa ia menjadi 'korban.' Lalu Redis Sanjaya langsung meninggalkan Rein begitu saja setelah ia pun juga merasa tak sengaja. Redis yang dipaksa menikah mengorbankan Rein. Sedangkan banyak orang menyukai orang tersebut. Pernikahan berjalan buruk, Rein dan Redis tak cocok. Justru, Redis hanya tahu soal kerja dan kerja sampai Rein pikir orang itu tak normal. Lantas, bagaimana jika ibu Redis minta Rein mengubah anaknya? Rein dihadapkan dengan pilihan keluar namun tak boleh membawa anaknya. Lalu orang tersebut mau tak mau memilih pergi. Sepupu Redis yang bernama Radit menyukai Rein, oleh karena itu ia pun membantu Rein. Radit adalah orang yang membuat orang lain kesal. Ia adalah orang yang menjengkelkan. Bisakah Rein bahagia?

Raein23_Raein · perkotaan
Peringkat tidak cukup
214 Chs

11 Hal Tak Terduga

"Apa!!!"

"Stop, tolong jangan berteriak depan wajahku," sungut Meri.

Telinganya berdengung oleh suara menggelar Rein. Seenaknya main teriak. Mana cempreng.

"Katakan sekali lagi, aku masih belum percaya."

Meri seketika datar, apa yang sahabatnya itu katakan, ia disuruh ngulang?

Harus dieja nih biar connect.

Dasar, untung sahabat sendiri. Kalau bukan sudah di becek-becek. Terus dijadiin perkedel kentang. Enak tuh.

Menyusahkan saja.

"Aku Diminta Jadi Pengiring Pengantin Pada Acara Pernikahan Kamu Dan pak Redis Oleh Pak Rey. KAMI PASANGAN!!!"

Rein tak melakukan apapun, walau sekarang justru Meri yang berteriak tepat depan wajahnya. Setelah tadi ia yang melakukan hal tersebut.

Membalas, seimbang.

Haruskah?

"Lihat, kamu pun gak bisa ngomong, apalagi aku yang kena ancam. Harusnya aku yang menggertak orang gila berkedok sekretaris perusahaan Sanjaya Corp itu. Dasar. Bagaimana bisa orang sok malah membalikkan keadaan," sungut Meri berapi-api.

Kalau dalam kartun-kartun sudah terlihat asap keluar dari kepalanya. Sungguh Meri tak bisa menahan gejolak. Rasanya kepengen ngamuk. Lebih daripada itu kalau boleh mau mukul orang.

Sayangnya tak mungkin orang malang itu Rein. Meri cukup waras untuk tak melakukan hal ekstrem.

"Wait, kamu kena ancam."

Wajah Rein terlihat seperti orang pintar yang mendapat nilai merah. Terlebih lagi pelajaran bahasa Indonesia. Bahasa sendiri kok gak lulus?

Betapa mirisnya hidup.

"Iya, kamu tahu pakai apa, memecatku. Padahal kan dia yang salah, terus kenapa aku yang harus kena pecat. Terus ya, tadi pas di kantor aku lihat pak Rey ciuman panas sama salah satu karyawan kantor yang terkenal cantik dan seksi. Siapa namanya, oh iya Angela. Harusnya aku yang gertak, bukan kena ancam begini. Dasar orang gila tak tahu diuntung."

Meri masih berapi-api. Kurang rasanya kalau hanya mengoceh. Ia ingin yang lebih ekstrem. Memukul!

"Berhenti bicara, stop."

Sekarang giliran Rein yang tak mampu. Ia lelah, tak tahu lebih condong kearah mana. Borong semua jenis perasaan buruk.

"Hua..., Rein. Kenapa nasib kita begini sih!?"

Percayalah, seorang Meri menitikkan air mata dengan tangan memukul kuat bantal yang berada tepat di hadapannya.

Miris.

Kan sudah dibilang mau mukul sesuatu. Jadilah, daripada tidak ada kerjaan. Tak ada rotan akar pun jadi.

"Sudah, daripada galau, lebih baik kita balas. Orang-orang gila itu harus dikasih pelajaran hidup biar gak bertindak seenaknya."

Aura semangat 45 memancar kuat dari dalam diri Rein. Ia ingin membalas bukan terbakar api. Tak ada kebakaran saat itu.

Asap yang menyesakkan dada.

Hanya berupa majas.

"Gak semudah itu Rein. Aku yang pintar ini saja tak berkutik depan orang sok besar itu."

Walau apapun yang terjadi, Meri masih menyempatkan diri membanggakan dirinya. Hey, kalau bukan kita, siapa lagi yang kasih pujian...?

Mengharapkan orang lain itu lama.

Benar kok, Rein dan Meri seumuran dan sudah lulus S1. Secara otomatis keduanya memang terlahir pintar. Usia 21 tahun lulus dengan nilai memuaskan. Hanya terkadang agak rada-rada aneh.

Hey, setiap manusia punya kekurangan. Bahkan walau itu ia seorang jenius sekalipun. Siapa yang mengira Thomas Alva Edison, Albert Einstein dan ilmuwan lain, yang menderita kekurangan bisa menciptakan lampu dan penemu berbagai macam rumus dan teori.

Tolong jangan berpikiran sempit. Eksplorasi manusia itu luas. Keanekaragaman.

Tak masuk akal, itu melalui berbagai macam nalar. Semua terlihat biasa. Lumrah.

So, rileks.

"Pasti bisa, itu harus," ujar Rein cepat.

Mereka tak bisa terus-terusan diam mendapat perlakuan tak adil. Walau bagaimana kondisi dan keadaan mereka. Keadilan adalah milik semua orang.

Mau dibawah, jungkir balik ataupun atas, Tuhan bukan mereka.

Lalu kalimat adil bukanlah hal haram baik untuk Rein maupun Meri. Mereka boleh. Tak ada larangan.

"Ya sudah, ayo kita pikirkan sesuatu," ujar Meri masih pukul bantal.

Air mata yang keluar tadi sudah ia kondisikan. Jadi tak akan menganggu otak berproses.

Berbagai macam rencana harus hidup. Kuat hingga mengusai.

Untung bantal adalah benda mati, kalau hidup kasihan tuh. Habis..., Meri pukul terus.

"Begini, kamu ikut saja yang Pak itu, itu..., maksudku si sekretaris perusahaan bilang. Terserah mereka mau ngapain, yang jelas kita juga harus bertindak. Setelah ini kamu masih bisa kok pukul balik. Percayalah."

Rein bicara seakan-akan situasi mudah untuk mereka taklukkan. Padahal belum tentu. Tidak sama sekali. Diambang batas.

"Gimana caranya coba. Posisi kita sama-sama gak bagus. Pak Redis hanya suka pekerjaan, gak suka sama..., maaf ya kalau kasar atau bahkan nyinggung, pak presdir gak percaya cinta, gak mungkin suka sama kamu."

"Tapi dia mau menikahiku," balas Rein spontan.

Sebenarnya perempuan itu tak terlalu yakin terhadap yang ia ucap. Cih, permainan posisi hanya harapan palsu tak berujung.

Tak berkelas. Walaupun Rein memang tak suka yang terlalu tinggi. Sedang-sedang saja.

"Lah, memangnya ada yang bisa dibanggakan dari status? Gak mungkin juga kan kalian langsung saling cinta. Non fiksi itu semu, Rein," ujar Meri seakan-akan sedang mengajar anak TK mengenal huruf.

Baru pelajaran dasar.

"Kamu benar, Meri. Tapi aku punya pemikiran lain. Akan ku buat orang aneh, angkuh, tak berperasaan, arogan, egois dan semua sifat buruk itu menyukaiku. Memangnya kamu pikir aku rela gitu cuma nikah diatas kertas?"

Meri mengerjapkan mata bingung. Dengar yang Rein bilang, sifat buruk keluar sebanyak itu lho. Mudah tanpa beban. Lagian si pak Redis serakah banget langsung ngeborong banyak sifat buruk.

Rein pakai otak 'bakat' nulisnya nih.

Sementara itu si empu yang bicara hanya menarik napas panjang kemudian makan cemilan yang sudah disiapkan Meri.

Sayang kalau makanannya tak tersentuh. Mubasir.

Yup, kedua orang itu sedang berada di rumah Meri yang letaknya tak terlalu jauh dari rumah Rein. Istilahnya masih satu komplek. Jadi dua sahabat itu bertetangga lumayan jauh.

Flat milik mereka sendiri.

"Kita bisa melakukan sesuatu. Ambil peluang walau kecil, bahkan sekecil-kecilnya sampai hanya celah. Tak apa, kita pasti bisa."

Meri tanpa ekspresi. Sebegitu mudah mereka berharap. Tak masalah-lah, positif thinking dulu. Kalau tak tercapai, akan ada yang namanya hikmah tersendiri.

Yaks, sok bijak. Dalam dunia ini jarang yang namanya begitu. Ada namun sedikit.

Life is hard.

"Oke, setidaknya sikap dan pendirianmu masih bisa ku harapkan. Kita belum putus harapan."

"Nah gitu dong!"

Tiba-tiba Rein jadi punya semangat penuh. Perempuan tersebut tak sesederhana kelihatannya. Trust me all.

"Ngomong-ngomong, kamu lagi masa subur gak?"

Seketika itu juga wajah Rein langsung datar. Ia teringat, dunia sebegitu kejam. Jawabannya adalah iya.

***

Baiklah, mari kita beralih ke situasi dan keadaan lain.

Oke, ayo mulai. Lihat yang terjadi antara dua orang yang menatap satu sama lain. Tatapan keduanya mengisyaratkan kubu masing-masing. Konspirasi.

Bukan masalah buruk, sudah biasa.

"Apa?"

Redis bertanya ke seseorang yang sangat ia benci.

Pasti sudah tahu siapa. Orang itu lho, si Radit yang menyeringai ke Redis.

Wajah evil-nya ikut kemanapun kaki melangkah.

Tidak sopan. True, this is Radit. Sebenarnya tidak kok, Radit hanya suka menggoda seseorang. Lantas tak peduli mau siapapun.

Tak pilah-pilih.

Lihat orang lain kesal adalah sesuatu yang buat Radit senang bukan main.

"Apa yang kamu lihat?" tanya Redis tajam.

Look, mereka kelihatan seperti anak kecil tak akur. Musuh bebuyutan. Anak kecil berebut mainan. Penentu siapa yang menang.

Tak mau ngalah walau bagaimanapun yang terjadi.

"Hahaha Kak, c'mon, aku adik sepupumu. Tolong perlakukan aku seperti adik pada umumnya. Bukankah Kakak gak punya adik sama sepertiku."

Radit memasang wajah seorang anak kecil merajuk tidak dituruti keinginannya.

Apa yang salah?

Gak masalah kok, hanya ingin. Pokoknya harus.

"Beruntung ada orangtua kita. Kalau tidak, aku pasti sudah mematahkan lehermu."

Redis mengepalkan tangan kuat. Ia sedang berusaha menahan diri. Pada sekretaris yang merupakan teman sendiri kejam, apalagi orang yang ia benci.

Walau orang itu adalah keluarganya.

"Wies Kak, jangan galak begitu."

Redis langsung mengalihkan pandangan. Jika bisa, ia ingin segera pergi dari tempat tersebut. Namun apa yang boleh buat, mau bagaimana, acara keluarga menjadi momok yang tak bisa ditepis.

Harus ada perlakuan khusus, jangan sok tinggi saat ada para orang tua.

Jadilah 'anak anjing' yang baik.

Ah tidak..., maksudnya anak tunggal yang sopan.

"Ayo anak-anak, kita makan."

"Ah..., akhirnya berjalan juga," batin Redis.

Sedari tadi orangtua mereka diskusi hal yang sangat membosankan untuk Redis. Apalagi kalau bukan tentang masa kecil. Kalau soal bisnis sih Redis akan dengan senang hati ikut serta.

Itu adalah bagian yang ia inginkan. Sangat, melebihi hidup.

Skala normal Redis berbeda dari parameter orang lain.

"Renata, minggu ini rencananya Redis akan menikah. Tapi maaf, malam ini kami belum memperkenalkan calonnya. Rein baru saja pulang semalam."

Redis hanya menatap datar. Terserahlah, mau berdongeng pun ia tak peduli. Yang jelas ia hanya ingin segera menyelesaikan acara menyebalkan tersebut.

Kemudian langsung pergi.

Menyingkir. Bisakah?

"Oh ya. Redis, kapan kamu berpacaran? Kenapa tidak memperkenalnya ke kami."

"Maaf Tante, saya terlalu sibuk untuk memperkenalkannya," ujar Redis singkat.

Tak mau repot.

Bahkan, walaupun sedang bersama orang yang lebih tua, cara bicara Redis sama sekali tak berubah. Terlebih lagi orang tersebut adalah Paman dan Bibinya, yang dalam hal ini disebut ia Om dan Tante.

Redis tak pilah pilih soal orang yang harus ia ajak ngobrol. Itu sebuah ketentuan mutlak. Pencitraan Redis hanya untuk orang awam, bukan 'dalam.' Beberapa orang.

"Mungkin karena pacar dadakan kali Ma, atau 'kecelakaan'."

Perkataan Radit seketika langsung membuat seluruh orang yang tengah makan tersebut melihat padanya.

Kedua sepupu itu tak jauh beda, sama-sama kurang memfilter omongan.

Lantas, boleh Redis mengamuk?

Sedari tadi sudah 'berbaik hati' menahan. Sekarang tak 'mampu.'

Jangan bicara omong kosong. Redis bisa membungkam mulut siapapun yang mengusik hidupnya.

"Radit, jaga ucapanmu," ujar sang papa tajam.

Mulut sang anak memang harus diservis biar gak lost. Terlebih lagi dalam acara keluarga seperti itu.

Lantas, siapa yang salah dan memulai duluan...?

"Siapa tahu. Mohon maaf, Paman dan Bibi kalau mulutku kurang ajar."

Gubrak!

Seketika itu juga suasana berubah tak terduga. Atmosfer panas segera mengusai keadaan.

Jangan kaget.

Biasa kok, hampir setiap kali pertemuan dua keluarga tersebut pasti berakhir 'kurang baik.'

Padahal mereka adalah keluarga yang hanya terdiri atas 'dua,' maksudnya, papa Redis bersaudara dengan mama Radit.

Akan tetapi, malah tak akur...?

Ironis.

*****