Selamat Membaca
Dua hari yang lalu, Reynand sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Hari ini laki-laki berusia delapan belas tahun itu sudah mulai masuk sekolah lagi. Apakah kalian bisa membayangkan, menjadi anggota sebuah organisasi, tetapi tidak pernah dianggap? Reynand mengalaminya setiap hari. Anggota-anggota OSIS yang seharusnya menjadi contoh terbaik bagi para siswa, malah ikut membenci Reynand sang anak koruptor. Setiap rapat, Reynand tidak pernah bertegur sapa dengan anggota lainnya. Bahkan beberapa guru di SMA Andelanska turut membenci dirinya. Sudah cukup jelas sesakit apa kehidupan seorang Kenzaki Reynand Regantara?
"Gina."
Gina yang sedang fokus mendengar penjelasan guru langsung menoleh saat Reynand memanggilnya. Ia langsung menggerakkan sedikit tangannya tanda bertanya ada apa.
"Aku pengin keluar aja, deh, dari OSIS. Aku, tuh, kayak gak ada gunanya di sana, Ka. Kalau lagi rapat, aku gak pernah kebagian tugas atau diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan sekolah kita. Jadi pure menghadiri rapat aja," keluh Reynand.
Gina membalas dengan bahasa isyaratnya. "Kalau itu yang terbaik menurut kamu, silakan keluar. Percuma juga, kan, kamu habisin waktu buat rapat, tapi gak ada gunanya sama sekali."
Reynand mengangguk setuju. "Oke, nanti aku bilang ke Bu Widya, deh, kalau aku mau keluar dari OSIS."
"Pak, saya izin ke WC," ucap Abila sembari mengangkat tangannya.
"Silakan, tapi jangan lama-lama."
"Iya, Pak." Abila bangun dari duduknya lalu memandang Gina. "Temenin aku, yuk."
Gina tersenyum simpul lalu mengangguk. Lantas, ia berdiri dan berjalan beriringan dengan Abila keluar dari kelas. Sesampainya di toilet, bukannya langsung masuk ke salah satu toilet yang kosong, Abila malah mendorong tubuh Gina hingga ke sudut. Dengan bersedekap dada, Abila memandang Gina sinis.
"Gue udah cukup sabar, ya, liat kebersamaan lo sama Reynand. Padahal lo tahu, kan, kalau gue suka sama Reynand? Ngaku lo!" Gina menunduk ketakutan. "Kalian itu nganggap gue temen kalian gak, sih? Bisa-bisanya Reynand masuk rumah sakit kalian gak kasih tahu gue! Satu lagi, kanker hati? Hal sebesar itu kalian sembunyikan dari gue? Maksudnya apa, ya, s*al*n!"
Abila mencengkeram lengan Alaska sehingga sang empu kesakitan. "Lo tahu? Baru kali ini gue merasa hina dan jijik sama diri gue sendiri. Lo tahu karena apa? Karena lo! Cewek bisu yang bisa-bisanya ngambil hati Reynand, padahal jelas-jelas cantikan gue. Di sekolah gue yang lama, semua cowok itu ngejar-ngejar gue, Gina! Kali ini? Gue bahkan kalah sama cewek bisu kayak lo!"
Gina membalas dengan bahasa isyaratnya. Kebetulan, Abila sudah memahami bahasa isyarat. "Asal kamu tahu, Abila. Aku dan Reynand pacaran sebelum kamu pindah ke sekolah ini. Tentang kanker hati itu, kamu tahu kenapa kami sembunyikan dari kamu? Karena aku gak mau kamu sok merhatiin Reynand karena dia sakit. Reynand itu sering ... banget bilang aku cantik, jadi wajar gak, sih, kalau aku ngerasa pantas untuk cemburu?"
Abila mengepalkan tangannya kuat. "S*al*n lo, Alaska!"
PLAK!
Satu tamparan berhasil mendarat di pipi sang tunawicara. Wajahnya tertoleh ke samping. Bekas merah dapat dilihat di situ.
"Ternyata bener, ya, kata Qamra. Lo itu cuma pembawa sial! Liat aja, gue akan rebut Reynand dari lo! Gue rasa mudah, kok, singkirin cewek bisu kayak lo, ha-ha-ha."
"Aku harap kamu gak berekspektasi terlalu tinggi. Bahkan dengan kamu nyatain perasaan duluan, itu udah bikin Reynand ilfeel sama kamu. Cewek itu kodratnya dikejar, bukan mengejar. Kalau kamu masih punya harga diri, ya, harusnya kamu sadar."
Abila yang memahami itu semakin tersulut emosi. Ia menempelkan jari telunjuknya di dahi Gina, lalu menyeringai jahat. "Gue gak pernah bersikap sejahat ini sama orang, tapi sekarang? Lo bikin gue jadi orang yang jahat, Gina. Ini semua karena lo berani main-main sama gue!"
Abila menghantukkan kepala Alaska ke dinding. Gadis itu langsung memegang kepalanya yang terasa pusing. Tidak hanya itu, Abila juga menjambak rambut Alaska dengan kuat, sehingga gadis tunawicara tersebut terjatuh ke bawah.
"Maaf, Ka. Mungkin habis ini gue gak bisa kumpul sama lo dan Reynand lagi. Yang pasti, gue gak akan biarin lo sekolah dengan tenang setiap harinya! Camkan itu, bisu!"
Abila berlalu pergi dengan angkuhnya. Membiarkan Gina seorang diri dengan rasa sakit akibat ulah tidak terpuji yang ia lakukan.
"Tuhan, kenapa hidupku kayak gini, ya? Apa aku memang gak pantas bahagia? Capek banget rasanya. Boleh gak, sih, aku pergi dari dunia ini? Lebih baik aku mati. Gak akan ada yang tersakiti dan merasa terbebani karena kehadiranku," batin Gina.
Air mata mulai membasahi pipi gadis itu. Ia terduduk di lantai toilet yang kotor itu. Pipinya terasa sakit bekas tamparan tadi, kepala belakangnya benjol. Apa yang harus Alaska katakan kepada Reynand nanti?.Gina bangkit lalu berjalan menuju kelas. Seluruh pasang mata di Kelas Unggulan 1 tertuju pada Gina. Pasalnya gadis itu terlihat sangat acak-acakan dari sebelumnya. Rambutnya agak berantakan, serta wajahnya yang terlihat sendu.
Reynand menatap khawatir kekasihnya. "Are you okay?" Gina mengangguk singkat.
"Jangan bohong, Gina. Itu pipi kanan kamu kenapa merah? Rambut kamu kenapa berantakan? Kamu kenapa, Ka?" tanya Reynand berturut-turut.
Reynand mengelus rambut si cantik Alaska. Sontak, ia terkejut saat merasakan benjolan di bagian belakang kepala gadis itu. "Gina, serius ini kamu kenapa? Kepala kamu benjol belakangnya."
"Aku cuma kepleset, kok, di toilet tadi. Kepalaku kebentur dinding, makanya benjol."
Reynand menatap curiga gadisnya. "Beneran kepleset? Terus pipi kamu kenapa merah? Kayak habis ditampar gitu. Oh, ya, mata kamu kenapa sembab, hm? Jujur sama aku, Ka."
"Aku gak papa, kok. Pipi aku ini tadi kena dinding juga sedikit. Kalau mata aku, ini tadi habis kelilipan."
Kerutan di dahi Reynand semakin dalam. Apakah hal yang Gina beritahu itu masuk akal? "Oke, kali ini aku percaya sama kamu. Tolong, kalau ada yang ganggu kamu, bilang sama aku, Gina. Jangan takut, oke?"
"Iya."
"Kenapa Abila balik ke kelas duluan tadi? Sumpah ini aneh banget,Gina. Kalian beneran gak papa, 'kan?"
"Kamu nanya mulu, deh. Abila itu balik duluan karena mungkin dia ngira aku udah ke kelas. Soalnya aku juga ke WC, tapi dia selesai duluan."
Reynand mengangguk-angguk. "Oke."
Gina memalingkan wajahnya. Tatapan sendunya itu bertemu dengan tatapan nyalang milik Abila. Jujur saja, Gina takut melihat tatapan mengerikan itu. Sayangnya, Reynand tidak menyadari hal itu. Dia sedang mencatat materi yang ada di papan tulis.
Abila terus bertatap mata dengan Gina. Gadis itu menatap si tunawicara dengan tatapan sedalam mungkin. Tampak sangat mematikan. Ekspresinya menunjukkan seolah-olah dia sedang berkata 'Hidup lo gak akan pernah tenang!'
Tidak kuat menatap wajah jutek itu lama-lama, akhirnya Gina mengalihkan pandangannya ke depan. Gadis itu menghela napas berat.
"Belum selesai sama Vanya, sekarang nambah Abila. Menyedihkan banget, ya, hidupku?" batinnya.
***
Semenjak kejadian kemarin, Abila tidak pernah berkumpul dengan Reynand dan Gina lagi. Gadis itu kini berteman dengan Qamra dan Yuki-Primadona SMA Tunas Bangsa. Gadis cantik yang diidam-idamkan banyak laki-laki. Yuki itu orangnya tidak suka mencampuri urusan orang lain. Walaupun satu kelas dengan Reynand dan Gina, gadis itu tidak pernah ikut membuli mereka. Meski tidak bisa dipungkiri, bahwa dia juga tidak pernah menyapa sepasang kekasih tersebut.
Mungkin membenci dalam diam? Atau cukup tidak bertegur sapa seolah tidak kenal saja? Karena Yuki merasa, dirinya tidak punya masalah terhadap keduanya. Bisa dibilang, Yuki ini adalah most wanted girl yang sangat ramah dan baik hati. Dia tidak sombong dan bersikap semena-mena. Tahu karena apa Yuki tidak pernah berbaik-baik atau berbicara dengan Reynand dan Gina? Karena dirinya tidak mau turut menjadi bahan rundungan satu sekolah. Ketetapannya, siapa pun yang berteman dengan dua manusia itu, pasti akan turut merasakan apa yang mereka rasakan.
Kejam sekali, bukan? Tidak ada keadilan bagi mereka. Bahkan, Reynand sudah bersikap berani dan tegas melawan para perundung dan Geng AODRA. Namun begitulah takdir hidupnya. Akan terus dibenci oleh orang ramai.
"Gina."
Gina yang sedang menyuapi sesendok nasi goreng ke mulutnya sontak berpaling ke arah Reynand.
"Pasti ada sesuatu yang terjadi kemaren, 'kan? Aku gak bodoh buat menyadari semua itu, Ka. Semenjak kamu dan Bila pulang dari toilet, kalian jadi dingin banget sikapnya. Liat sekarang? Dia gak pernah main sama kita lagi. Ya, aku bukannya ngelarang atau apa, cuma heran aja. Sebenernya apa yang terjadi waktu itu? Please, cerita sama aku."
Gina menghela napas berat. Apakah ini saat yang tepat untuk dia berkata jujur? Rasanya sungguh berat. Gina tidak mau ada pertengkaran lagi.
"Janji, ya, gak bakal marah? Janji gak akan labrak Abila?" Setelah memahami bahasa isyarat tersebut, Reynand mengangguk singkat. Perasaannya menjadi tidak enak. Ada hal apa sebenarnya?
"Abila udah tahu aku sama kamu pacaran, dan dia juga tahu kalau kamu itu kemaren bukan sakit demam biasa, tapi kanker hati. Bahkan, dia tahu kalau kamu masuk rumah sakit, bukan di rumah."
Reynand mengembuskan napasnya kasar. Ia memijat pelipisnya lelah. "Terus apa lagi?"
"Ya, dia marah karena kita rahasiain ini dari dia. Habis itu, dia tampar aku, Nand. Karena dia bilang dia mau rebut kamu dari aku, jadi aku marah, dong. Aku bilang, dengan dia nyatain perasaan duluan aja itu udah bikin kamu ilfeel sama dia. Jadi aku ditampar karena dia gak terima diomongin kayak gitu."
"Oh, jadi ini alasan pipi kamu merah? Terus benjolan itu? Kerjaan dia juga?"
Gina mengangguk samar, lalu kembali berbicara melalui bahasa isyaratnya. "Dia jambak rambut aku, terus pas aku jatuh ke lantai, kepala aku dihantukin. Maaf, Nand. Kesannya aku kayak ngadu banget sama kamu. Aku tahu, kok, aku cewek lemah."
Reynand mengepalkan tangannya kuat. Ia berdiri, lantas berlalu pergi dari kantin untuk mencari Abila. Gina bahkan sudah mengingatkan di awal jika Reynand tidak boleh melabrak Abila. Setelah mendengar cerita darinya, Reynand seperti lupa akan semua itu.
Di taman belakang sekolah, Reynand dapat melihat Abila, Qamra, dan Yuki sedang duduk manis sembari berbincang ria.
"Abila! Ikut gue, gue mau bicara sama lo!"
Abila sedikit mengernyitkan dahinya heran saat nada bicara Reynand begitu ketus. "Ada apa, Nand?"
"Lo budeg? Gue bilang gue mau bicara sama lo!"
Tidak mau mendengar nada bicara yang tidak mengenakkan itu, Abila segera menarik tangan Reynand untuk berbicara empat mata. Rooftop, tempat yang menjadi pilihan mereka.
"Kenapa, sih, Nand? Ada masalah apa?" tanya Abila.
"Gue gak nyangka, ya, kalau kelakuan lo bakal sebusuk ini, Abila!"
"Lo ngomong apa, sih, Reynand? To the point aja, kali."
"Gue udah tahu apa yang terjadi sama lo dan Gina di toilet kemaren. Sumpah, gue gak habis pikir. Kenapa lo bisa sejahat ini, Bil? Banyak, kan, cowok lain di sekolah ini? Gak cuma gue!"
"Hati gue milihnya lo, gimana, dong? Perasaan itu gak ada yang tahu akan berlabuh ke mana, Nand. Jadi lo gak bisa nyalahin gue kalau gue jatuh cinta sama lo."
"Cara lo salah, Abila! Seharusnya lo belajar buat hilangin perasaan itu, apalagi lo tahu gue udah punya pacar. Level tertinggi dalam mencintai itu, kan, mengikhlaskan. Seharusnya lo tahu itu, Abila. Gak semua yang kita mau di dunia ini akan dituruti sama Tuhan."
"Gue cinta sama lo, Nand. Yang bikin gue makin gak terima adalah, kenapa gue bisa kalah sama Alaska yang jelas-jelas bisu kayak gitu? Kenapa, hah? Spesialnya dia apa?"
Reynand tertawa kecil. "Orang kayak lo, gak akan pernah ngerti mau gue jelasin gimana pun caranya. Yang lo tahu dia bisu, gak bisa bicara, itu doang. Lo gak mau cari tahu sebaik dan setulus apa anak itu. Banyak hal yang ada di dia, tapi gak ada di lo, Abila."
Hati Abila seperti tersayat mendengar semua kalimat yang Reynand lontarkan. Sesempurna itukah seorang Gina Stefani? Atau hanya di mata Reynand saja? Sebagai satu-satunya manusia yang menghargai kehadiran gadis itu di muka bumi.
"Jadi bener-bener gak ada tempat untuk gue di hati lo, ya?" tanya Abila dengan raut wajah yang tampak lelah dan putus asa.
"Maaf, gak ada. Di sini, cuma ada Alaska Faira Dellany. Gue harap lo ngerti." Reynand menyentuh dadanya dengan jari telunjuk.
Setetes air mata akhirnya berhasil lolos membasahi pipi Abila. Gadis itu berlari meninggalkan Reynand dengan hati yang teramat sakit.
"Eh, lo kenapa, Bil? Reynand apain lo?" tanya Qamra panik saat melihat temannya itu kembali dalam keadaan menangis.
"Dia bener-bener gak mau nerima cinta gue, Ra. Bahkan dia muji-muji Alaska di depan gue! Lo kebayang, kan, sesakit apa hati gue?"
Qamra mengangguk seraya mengelus punggung Abila. "Yang sabar, ya, Bil. Yuk! Belajar move on. Gue yakin lo bisa dapetin cowok yang lebih baik dari dia."
"Gak semudah itu, Qamra. Dia, cowok kedua yang berhasil luluhin hati gue setelah Zaynar. Gue itu orangnya susah banget jatuh cinta, tapi sekalinya jatuh cinta, kenapa selalu kayak gini, ya? Udah dua kali, lho, Ra. Dua kali cinta gue bertepuk sebelah tangan. Padahal, cowok-cowok lain ngantri buat pacaran sama gue, tapi Zaynar dan Reynand enggak. Mereka malah bikin gue yang ngejar-ngejar mereka."
Yuki menghela napas berat. "Banyak, kok, yang kasusnya kayak gini. Gue harap lo selalu sabar, ya, hadapin semua masalah yang ada. Satu lagi, sebenci apa pun lo sama Alaska, tolong jangan bully dia. Bullying itu tetap salah dalam bentuk apa pun, Abila. Semoga lo bijak mengambil keputusan."
Abila tersenyum samar. "Iya, Ki. Gue tahu, kok."
"Gak segampang itu, s*al*n! Gue gak peduli bullying itu salah atau melanggar hukum. Yang pasti gue akan tetap bikin lo gak tenang di sekolah ini, Gina!" batin Abila jahat.
Bersambung