Selamat Membaca
"Reynand."
"Iya, Bu," sahut Reynand.
"Kamu katanya mau keluar dari OSIS, 'kan?" tanya Bu Tari.
Reynand mengangguk. "Betul, Bu."
"Kalau gitu ke majelis sekarang, temuin Bu Widya. Beliau sudah masuk sekolah lagi, kok."
"Oke, Bu. Terima kasih." Reynand berdiri lalu menepuk bahu Alaska pelan. "Aku ke majelis bentar, ya. Beberapa menit lagi, kan, istirahat, nih, kamu langsung ke kantin aja. Nanti aku pasti nyusul." Gina tersenyum simpul lalu mengangguk paham. Setelah itu Reynand langsung pergi dari hadapannya.
Seperti yang dikatakan Reynand tadi, waktu istirahat akan tiba sebentar lagi. Sepuluh menit setelah kepergiannya, bel istirahat pun berbunyi. Siswa-siswi Kelas Unggulan 1 berbondong-bondong keluar kelas. Begitu pun dengan Gina. Gadis itu berjalan sendiri menuju kantin. Di tengah perjalanan, ia dihadang oleh seorang perempuan yang sedang menatapnya dengan penuh amarah. Kesan benci yang mendalam dapat Alaska lihat di situ. Dia Abila Fayyana.
"Lo emang gak tahu diri banget, ya, bisu! Ha-ha-ha, cemen banget, sih. Lo itu emang beban, Alaska! Gak ada berani-beraninya banget jadi cewek." Abila maju, mengikis jarak antara dirinya dan Gina.
"Kemarin baru dijambak, ditampar, dan dihantukin ke dinding aja, tuh. Udah langsung ngadu ke Reynand. Gimana kalau kayak gini?" Abila mendorong tubuh Gina hingga gadis itu terjatuh. Posisi mereka sedang berdiri berhadapan di pinggir saluran air sekolah. Alhasil, kepala gadis itu terbentur ke pinggiran keramik.Tubuh Abila gemetar hebat. Gina tidak sadarkan diri. Kepalanya pun berdarah akibat benturan tersebut. Sungguh, tamat sudah riwayatnya.
Abila berjongkok lalu mengguncang tubuh Alaska. "Gina! Bangun ih, jangan bikin gue takut, s*al*n!"
"Tolong!" teriak Abila. Sontak, beberapa siswa berdatangan mengerumuni mereka.
"Gina kenapa, Bil? Lo apain dia?" tanya Zian—Siswa Kelas Unggulan 3.
Abila menggeleng takut. "Gu—gue gak tahu. Tadi pas gue lewat, gue udah liat dia pingsan kayak gini. Kepalanya juga berdarah."
"Ya, udah, bawa dia ke UKS cepet!" titah Tiana Wakil Ketua OSIS yang kebetulan ada di sekitar situ.
Lantas, dua orang siswa menggotong tubuh Gina menuju UKS. Anak PMR langsung memberikan penanganan pertama untuk gadis itu.
"Ini kepalanya bocor! Kita harus ke bawa rumah sakit," ujar Maya.
"Ada apa ini? Kenapa kalian berkerumun?" sahut Pak Wira Guru Fisika.
"Kak Gina, Pak. Dia tadi pingsan di pinggir saluran air, terus kepalanya bocor kata Kak Maya. Kita harus bawa dia ke rumah sakit," jawab Arrel Anak Kelas XI MIPA 2.
Guru Fisika tersebut terkejut setengah mati. "Ayo! Bawa Gina ke rumah sakit sekarang. Siapapun panggilin Reynand di majelis guru untuk ikut sama bapak."
"Siap, Pak."
Pak Wira menggendong Gina ala bridal style. Guru laki-laki itu membawa Gina ke rumah sakit dengan mobil pribadinya. Reynand pun ikut, dia memangku kepala Alaska di barisan belakang.
Reynand ingin menangis saja rasanya. Bagaimana bisa gadisnya jatuh? Alaska itu termasuk orang yang sangat berhati-hati di setiap langkahnya. Ia jarang terluka karena jatuh. Luka yang ia dapatkan kebanyakan karena rundungan Vanya, dan akhir-akhir ini Abila.Sampai saat ini tidak ada yang curiga bahwa pelakunya Abila. Bahkan mereka tidak tahu apakah Gina jatuh sendiri atau dicelakai.
Reynand mengelus lembut rambut gadisnya. "Bertahan, ya, Gina. Sebentar lagi kita sampai."
Sesampainya di rumah sakit, Gina segera dibawa ke IGD. "Bapak tadi, kan, ada urusan sama Kepsek. Jadi Pak Wira pulang aja, Rey bisa jaga Gina di sini, kok. Nanti Rey telepon tantenya juga," ujar Reynand sembari menunggu Alaska ditangani.
Pak Wira tersenyum seraya mengangguk. "Kalau gitu bapak izin balik ke sekolah lagi, ya. Tolong jaga Gina."
"Pasti, Pak. Terima kasih karena mau nganterin kami ke rumah sakit."
"Sama-sama. Sudah kewajiban guru untuk membantu dalam keadaan darurat kayak gini. Ya, udah, bapak duluan, ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam." Sepeninggal Pak Wira, Reynand kembali memfokuskan dirinya kepada Gina. Dirinya ikut merasakan sakit saat kepala gadis itu harus dijahit. Alaska yang sudah sadarkan diri tampak meringis kesakitan. Rasanya pasti nyeri.
"Sudah selesai, Dek. Lain kali lebih hati-hati, ya."Gina mengangguk. Tiba-tiba ia merasakan pusing yang teramat sangat di kepalanya. "Sshht."
"Apa yang sakit, Dek?" tanya dokter yang diketahui bernama Aziya.
"Kepala saya pusing banget, Dok. Rasanya" Gina bahkan belum selesai berbicara, tetapi tubuhnya sudah pingsan kembali.
"Astaga, Gina! Gina kenapa, Dok? Dia baik-baik aja, 'kan?" tanya Reynand panik.
"Saya akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Mohon ketersediaannya untuk menunggu."
"Iya, Dok. Tolong sembuhkan Gina, ya." Dokter Aziya menutup tirai, menyisakan dirinya dan beberapa orang perawat. Hal ini dilakukan supaya dia bisa lebih fokus memberi penanganan lebih lanjut kepada Gina.
Reynand menghembuskan nafasnya kasar. "Semoga Gina baik-baik saja, Ya Allah. Rey gak mau dia kenapa-napa." Cukup lama Reynand menunggu penanganan kedua ini. Rasa khawatir semakin menguasai dirinya.
"Keluarga Alask Gina Stefani?" tanya Suster Anisa.
"Saya, Suster."
"Begini, Dek. Setelah kita melakukan pemeriksaan terhadap Gina tadi, ternyata dia mengalami gegar otak ringan. Jadi Gina terpaksa dirawat di rumah sakit, minimal dua hari. Setelah dua hari, baru kita lihat seperti apa perkembangannya. Kalau sudah baikan, boleh pulang."
Tubuh Reynand mendadak gemetar. Dadanya sakit dan sesak. "Ya, udah, Dok. Sediakan kamar rawat VIP untuk Gina."
"Boleh, tapi untuk biayanya?"
"Tenang aja, saya selesaikan semuanya sekarang."
"Baik, Dek. Kami akan menyiapkan kamarnya segera."
Reynand mengangguk lantas menghampiri kekasihnya. Ia duduk di sebelah Gina, lalu mengelus pelan punggung tangan gadis itu.
"Kamu kenapa bisa kayak gini, Sayang?"
Gina masih belum siuman. Ia ingin beristirahat barang sejenak. Lelah, gadis itu pasti lelah. Beban hidupnya sudah terlalu banyak.Tangis Reynand pecah. Ah, sialan. Sebenarnya dia tidak mau menangis seperti laki-laki yang lemah. Namun, jika hal seperti ini terjadi pada gadis yang sangat ia cintai, Reynand benar-benar akan menumpahkan air matanya.
"Bangun, Gina. Aku gak mau melihat kamu terbaring lemah kayak gini. Cukup aku aja yang sakit, kamu jangan."
"Reynand."
Reynand menoleh, lalu menyeka kasar air matanya. "Iya, Tante."
"Gina kenapa?"
"Kepalanya bocor, tapi sudah dijahit, kok. Hmm ... tapi dia mengalami gegar otak ringan, Tante. Jadi harus dirawat di rumah sakit."
Tante Paula membelalakkan matanya lebar. "Apa? Gegar otak? Terus gimana ini? Tante mana ada uang buat bayar biaya rumah sakit. Emang, ya, anak ini nyusahin, aja! Ngebantu enggak, malah nambah beban!"
Reynand mengepalkan tangannya kuat. Tidak salah lagi, akhirnya apa yang Gina katakan selama ini terbukti juga di depan mata Reynand. Pasalnya laki-laki itu tidak pernah melihat sisi jahat Tante Paula. Wanita itu selalu bersikap baik di depan dirinya.
"Tenang aja, Tan. Saya yang tanggung semua biayanya. Tadi saya juga sudah memesan kamar VIP."
Tante Paula semakin terkejut. "Masya Allah, terima kasih banyak, ya. Tante gak tahu kalau gak ada kamu, Reynand."
"Sama-sama."
"Hmm, ini gak ada apa-apa lagi, kan, ya? Tante pamit pulang dulu, ya. Di toko lagi banyak kerjaan soalnya, nanti malam tante kesini. Titip Gina, ya, Rey."
"Iya, Tante."
Reynand tersenyum miris. Lihat, bahkan di saat keponakannya sedang terbaring sakit, dia tetap tidak mau peduli. Bukankah Tante Paula mempunyai karyawan? Kenapa dia bersikap seolah-olah dia adalah orang paling sibuk di dunia ini, sehingga tidak ada waktu untuk menjaga Gina.
"Maafin aku, ya. Aku gak bisa ngomong sama Tante Paula buat jangan pergi tadi. Aku janji, aku akan jaga kamu selama di sini. Tante Paula gak usah datang sama sekali juga gak papa. Semua orang itu gak ada yang peduli sama kita. Ha-ha-ha, hidup kita menyedihkan banget, ya? Aku harap kamu tetap bahagia semisal aku udah pergi nanti, Gina. I love you."
"Eunghh."
Reynand tersenyum sumringah. Akhirnya, Gina sudah sadarkan diri.
"Kamu udah siuman, Sayang. Gimana? Apa yang sakit?"
Gina menggeleng pelan. Ia mengeluarkan ponselnya lalu mengetikkan sesuatu. Saat ini tangannya tidak kuat untuk berbahasa isyarat. "Ayo pulang, Nand. Aku udah gak papa, kok."
"Kamu tahu? Kamu gegar otak ringan, Ka. Jadi kamu harus dirawat minimal dua hari."
Gina menggeleng kuat. Ia kembali mengetikkan balasan untuk Reynand. "Gak bisa, Reynand! Nanti Tante Paula bakal marahin aku karena ngabisin uang dia! Aku bakal dibilang beban."
Gina menangis tersedu-sedu. Ia trauma sekali. Pernah dulu, kejadian beberapa tahun lalu. Ia sakit demam berdarah, dan harus dirawat di rumah sakit. Setelah keluar dari rumah sakit, Gina dipukul habis-habisan oleh Tante Paula. Bahkan, ia dikurung dan tidak diberi makan selama empat hari. Karena apa? Karena dia dianggap telah membuang-buang uang Tante Paula hanya untuk membayar biaya rumah sakit.
Reynand mendekap tubuh Gina kuat. Ia mengelus pelan rambut gadis itu. Meniup-niup pucuk kepala si cantik Gina. Tanpa sadar, ia menangis lagi. "Tenang, Sayang. Kejadian itu gak akan terulang lagi. Aku yang akan bayar semuanya."
"Aku takut, Nand. Aku gak mau dipukul lagi. Rasanya sakit banget."
Hati Reynand sangat hancur saat membaca teks itu. "Gak akan, Gina. Aku gak akan pernah biarin kamu disakiti sama siapapun, termasuk Tante Paula."
"Aku takut, Nand. Gimana kalau Tante Paula tetap pukulin aku karena aku nyusahin kamu? Gimana kalau aku dibilang bikin malu karena biaya rumah sakitnya dibayarin sama temen? Aku gak mau dipukul lagi. Cukup ditampar aja, Nand."
Reynand menangis terisak-isak. Ia mengambil ponsel Gina lalu disimpan ke dalam sakunya. Tidak mau Gina terus-terusan mengetikkan kalimat-kalimat kesakitan tersebut.
"Listen! Aku akan jagain kamu, melindungi kamu, dan bahagiakan kamu selagi aku hidup. Kamu gak perlu pikirin dan khawatirin apa pun, okay? Aku janji, kamu aman sama aku, Sayang."
Gina mengangguk, lalu membalas dengan bahasa isyaratnya. Jujur, untuk mengangkat tangan saja rasanya lemah. "Janji, ya? Aku bener-bener gak mau dipukul lagi. Kalau ditampar gak papa, sih. Hampir tiap hari aku ditampar sama Tante Paula, sekali pun aku gak salah apa-apa. Kalau untuk dipukul, aku gak sanggup. Sakit banget rasanya, Nand."
"Setelah ini gak ada lagi yang namanya pukulan, tamparan, dan bentuk kekerasan lainnya. Kalau perlu aku laporin Tante kamu itu ke KPAI. Mau?"
"Gak! Jangan! Kasian Tante Paula, nanti dia dimarahin sama orang-orang itu."
Reynand mengangguk samar. "Oke, aku gak akan laporin Tante kamu."
Reynand memandang setiap lekuk wajah gadisnya. Wajah yang selalu mendapat kekerasan dari orang-orang terdekatnya sendiri. Wajah yang jarang sekali mulus tanpa bekas. Selalu ada luka di sana.Laki-laki itu mengelus pipi Gina. Ibu jarinya menyeka air mata yang masih tersisa di pipi Gina. Reynand semakin tahu, bahwa gadis yang ia cintai tidak kalah menderita. Dia terluka dengan cara yang berbeda. Penderitaan yang ia maksud dalam konsep yang berbeda. Hanya saja, mereka adalah dua orang yang sama-sama kurang beruntung. Kebahagiaan itu benar-benar hal yang sulit digapai bagi keduanya.
Bersambung