webnovel

BEN ABRAHAM

Ben Abraham, seorang duda berusia matang yang harus membesarkan putra semata wayangnya seorang diri. Memilih bercerai dengan mantan istrinya, Elena yang selalu mengutamakan harta dalam kehidupannya. Sampai suatu saat putranya yang bernama Robin, menginginkan kehadiran seorang Ibu yang bisa menyayangi dirinya. Apakah keinginan Robin akan terpenuhi? Dan perempuan seperti apakah yang bisa menarik perhatian seorang Ben Abraham? Kisah seorang Ayah dan anak yang bisa membuat kalian terharuh dan tertawa dalam waktu yang bersamaan.

Nuzullahliia · Sci-fi
Peringkat tidak cukup
31 Chs

7. Ciuman Pertama

"Aku mau menjadi Ibunya, izinkan aku!"

Ben memberhentikan langkahnya, saat mendengar ucapan latang dari Alena. Dia kini berhenti tepat disamping mobilnya, lalu menurunkan Robin dari gendongannya. Dia memutar tubuhnya, menghadap kearah Alena yang tampak sedang menatapnya.

"Sayang sekali, Nona. Tetapi aku tidak mau lagi berhubungan dengan yang namanya wanita!" Ben berkata dengan penuh penekanan diakhir kalimatnya.

Alena berjalan mendekat kearahnya, lalu berhenti tepat dihadapannya. Membuat jarak yang minim antara keduanya. Ben mengerutkan keningnya, menatap Alena dengan rasa penasarannya.

"Apakah kau seorang gay, Ben Abraham?" Alena mengelus dada bidang Ben yang terbalut kemeja, membuat Ben merasakan getaran aneh saat merasakan sentuhan lembut dari tangan mungil milik Alena. Dia juga merasa kaget, saat mendengar penuturan Alena yang sangat berani mengatai dirinya seorang gay.

Ben menyeringai mendengar perkataan Alena, dia menarik pinggang ramping wanita yang ada dihadapannya. Sehingga tubuh mereka kini berhimpitan, dan dapat saling merasakan tubuh lawan jenisnya.

"Gay katamu?" Ben berucap sambil mendekatkan wajahnya kewajah Alena, hingga kini hidung mancungnya beradu dengan hidung milik Alena. Ben bisa merasakan adanya ketegangan dari raut wajah Alena yang tampak terdiam mematung ditempatnya. Dia berfikir jika wanita dihadapannya ini sangat pandai menyembunyikan rasa ketakutannya, dengan menunjukkan keberaniannya.

Alena mencoba mengendalikan dirinya. Dia tidak ingin menunjukkan rasa ketakutannya dihadapan pria arogan seperti Ben Abraham. Meskipun pria ini terlihat tampan dengan rahang kokohnya, namun Alena tidak ingin terpesona secepat itu. Dengan memasang wajah menantangnya, dia berkata, "Ya. Sepertinya begitu."

"Apa perlu ku buktikan jika aku bukanlah seorang gay, Nona Alena?" Tanya Ben mengelus pinggang rampingnya, sambil menaikkan satu alisnya.

"Coba buktikan!" Tantang Alena menatap dalam manik mata Ben yang berwana kecoklatan.

"Bagaimana jika kita melakukannya malam ini? Ku undang kau untuk datang ke rumahku." Ben menunjukkan kembali seringainya, membuat tubuh Alena menegang . Namun dengan cepat dia mengembalikan ketenagannya, saat harus menghadapi pria keras kepala seperti Ben.

Ben tartawa pelan saat melihat wajah tegang Alena yang kini menatapnya dengan mata membulat sempurna. "Lupakan saja tawaranku tadi! Kau pasti tidak mau, atau mungkin kau takut?" Goda Ben mengalihkan pandangannya pada bibir merah delima milik Alena.

Ben semakin mendekatkan wajahnya, lalu dengan beraninya kini dia menepelkan bibirnya pada bibir Alena. Melumat lembut bibir merah delima yang menggugah selera, membuatnya tidak bisa mengendalikan nafsunya. Dia mencium Alena dengan rakusnya, tidak perduli jika disana ada Robin yang tengah terdiam menyaksikan adegan yang tidak sepantasnya.

Alena mendorong kuat tubuh Ben, sehingga dirinya juga ikut bergerak maju karena lengan Ben yang masih melingkari pinganggnya. "Apa yang kau lakukan, Ben? Putramu melihatnya! Kau sungguh tidak tahu malu!" Marah Alena menatap tajam kearahnya, lalu mengalihkan pandangannya pada Robin yang masih terdiam dan akhirnya menundukkan kepala.

Ben hanya tersenyum tipis dan menarik tubuh Alena untuk kembali mendekat kepadanya. "Biarkan saja. Apa kau malu dilihat anak kecil?" Ucap Ben dengan santainya.

Alena merasa geram menghadapi tingkah Ben yang sungguh kekanakan. Dia mencoba untuk tetap bersabar karena adanya Robin diantara mereka. "Kau keterlaluan! Daddy macam apa kau ini?" Alena mencoba melepaskan tangan Ben dari pinggangnya. Namun karena tenaganya tidak sebanding dengan tenaga yang dimiliki pria, dia pun merasa kesusaha untuk melepaskannya.

"Lepaskan aku!" Pinta Alena sambil menatap kearahnya. Ben hanya menggelengkan kepalanya, pertanda jika dirinya tidak ingin melepaskan Alena.

"Robin, Bibi inikah yang kau inginkan untuk menjadi Ibu barumu?" Tanya Ben menatap Robin yang tampak dengan cepat menganggukkan kepalanya. "Kalau putraku mau. Aku juga menyetujuinya." Lanjutnya kembali menatap Alena yang merasa bingung dengan perubahan sikapnya.

"Kenapa begitu cepat sekali kau merubah pendirianmu Ben? Apa kau sudah mulai tertarik padaku, begitu?" Tanya Alena dengan percaya diri, membuat Ben tertawa mendengar ucapannya.

"Astaga. Kau percaya diri sekali Alena. Aku baru menemui wanita yang seperti dirimu." Ben kembali tertawa, karena tidak menyangka dengan ucapan yang terlontar dari bibir Alena.

"Aku memang percaya diri, Ben Abraham! Sekarang lepaskan lah tanganmu!" Kesal Alena yang membuat Ben langsung melepaskan tangannya dari pinggang Alena.

"Katakan dimana rumahmu!" Tanya Ben bersandar pada mobilnya.

"Aku tidak memiliki rumah." Ketus Alena yang kemudian berjongkok dan mengelus puncak kepala Robin. "Robin, masuklah kedalam mobil! Nanti jika sudah sampai di rumah, bersihkan lagi lukamu mengerti?" Lanjutnya memberitahukan kepada Robin yang tampak menganggukan kepala dan langsung memeluknya.

"Kau anak yang pintar." Puji Alena membalas pelukan erat Robin.

Ben yang melihat kedekatan keduanya, hanya terdiam dan mendesah pelan. Dia sedang berfikir, apakah harus dia memberikan Ibu baru untuk putranya. Sedangkan didalam fikirannya, dia tidak memiliki keinginan sama sekali untuk mempunyai istri.

"Masuklah!" Perintah Alena yang membuat Robin memesuki mobil dengan patuh.

Alena berdiri dari posisinya, lalu menatap kearah Ben dan berkata, "Jangan memarahinya jika sudah sampai dirumah! Bicaralah yang halus padanya, dan berikan sedikit perhatianmu untuknya! Dia hanya butuh itu, bukan keegoisanmu!" Ucap Alena yang kemudian melangkah pergi untuk kembali memasuki kaffenya.

Baru dua langkah dia pergi dari hadapan Ben, dia kembali memutar tubuhnya dan menatap kearah Ben yang juga sedang menatapnya. "Aku tahi kau pasti tidak menyukai diriku, dan menganggap jika aku adalah wanita yang suka ikut campur dalam urusan keluargamu. Aku hanya tidak suka melihat caramu pemperlakukan putramu, tidak lihatkah jika dia adalah anak yang penurut?" Ben terdiam mendengar ucapan Alena, lalu melihat punggung wanita itu yang semakin menjauh dari pandangannya.

Ben memasuki mobilnya, menjalankannya untuk kembali pulang ke rumah. Entah kenapa fikirannya kini tertuju pada Alena. Bagaimana rasa manis yang diberikan oleh bibir Alena saat mereka berciuman tadi. Membuatnya semakin tidak bisa berkonsentrasi dan terus memikirkan wanita itu.

**

"Kau dari mana, Elena?" Tanya Gion yang tidak lain adalah suaminya.

Elena membalikkan tubuhnya, menatap kearah Gion yang kini tengah berdiri didekat pintu masuk rumah mereka sambil memasukan satu tangannya kedalam saku celana. Sepertinya suaminya itu juga baru tiba di rumah, dan Elena tahu persis apa saja yang sedang dilakukan oleh suaminya itu.

"Kita sama-sama tahu, jika kita memiliki urusan pribadi masing-masing Gion. Lebih baik kau urus saja adikmu yang hilang itu, dan jangan mencampuri urusanku!" Ucap Elena sinis kepada suaminya.

Sudah beberapa bulan ini kehidupan rumah tangga mereka memang tidak harmonis. Elena merasa jika suaminya itu kini tidak perhatian kepadanya, dan lebih mementingkan urusan pribadinya yang tengah sibuk mencari keberadaan adiknya. Gion jadi sering menghambur-hamburkan uangnya untuk menyewa detektif handal dengan bayaran selangit agar bisa menemukan adiknya. Sedangkan Elena tidak menyukai hal itu, karena merasa jika lebih baik uang itu digunakan untuk keperluan mereka saja.

"Kau ini kenapa Elena? Kau selalu saja mempermasalahkan hal itu. Apakah ini semua karena uang yang ku gunakan?" Tanya Gion dengan nada tingginya. Dia merasa geram dengan tingkah laku Elena yang semakin buruk saja.

"Bagaimana aku tidak mempermasalahkannya? Kau sudah terlalu banyak membuang-buang uang dan tenagamu untuk mencari keberadaan orang yang tidak jelas keberadaannya. Bisa saja kan adikmu itu sudah tiada?" Elena membalas dengan nada suara yang sama. Dia memang memiliki keberanian yang berlebih, bahkan untuk melawan suaminya sendiri.

"Jangan pernah lagi berkata seperti itu, Elena! Aku memang belum mengatahui bagaiman keadaannya dan dimana keberadaannya. Namun aku yakin, jika adikku itu masih hidup dan aku pasti akan menemukannya!"

"Terserah padamu lah. Aku sudah terlalu lelah untuk berdebat lebih panjang dengan pria keras kepala sepertimu!" Elena berjalan meninggalkan Gion yang masih berdiri ditempatnya. Dia berjalan menaiki anak tangga untuk menuju kamarnya.

TO BE CONTINUED.