"Bubur apa yang kamu beli?"
"Pagi tadi P'Phat bilang ingin makan salad bihun. Pha sudah membelikanmu dan menyiapkannya sejak pulang sekolah dan lihat siapa yang pulang hampir tengah malam begini. Saladmu masih utuh, kutelepon tidak diangkat, justru kembali dengan wajah babak belur seperti itu. Sekarang justru menyuruhku turun dan membelikan bubur udang hanya karena mulutmu sakit."
"Hey..orang jahat sepertiku berhak untuk menuntut sesuatu!"
Aku bersumpah, jika dia bukan adik perempuanku, Napapha, satu-satunya saudaraku yang paling kucintai dan kusayangi, tidak akan pernah ada hari di mana aku harus mendengarkan seorang wanita sekurus tusuk sate dan lebih terlihat seperti hantu tetapi tetap mengeluh setiap pagi dan malam kalau tubuhnya gemuk. Ditambah lagi, mulutku sekarang terasa seperti sebuah gunting yang berdiri tegak di atas kakiku dan ia pasti akan terus menghinaku. Ruang asrama yang seharusnya berupa kondominium berukuran sedang diubah menjadi dua kamar tidur kecil dengan satu kamar mandi dan sebuah ruang bersama yang merupakan ruang berisi kulkas. Kuulangi, hanya ruangan berisikan kulkas karena ukurannya terlalu kecil untuk menjadi dapur dengan lampu yang terang. Seolah-olah itu sudah menjadi rutinitas, di mana aku datang dan mendengarnya merengek setiap hari hingga itu sudah menjadi bagian dari hidup. Bangun tidur, makan, belajar, meninju seseorang, lalu kembali memakinya. Jika kamu berpikir bahwa geng mereka akan melihatku berdiri memegang tangan adikku dengan penuh rasa memelas seperti ini, aku yakin aku akan diejek selama sepuluh kehidupan.
"Kali ini, bukan aku yang mencari masalah," kataku dengan suara serak. Berdebat dengan seorang wanita merupakan hal yang membahayakan. Berkelahi secara fisik justru lebih aman, "Pran yang memulai."
"Apakah itu alasanmu kenapa kamu malah berlari ke sini dan tidak ke Pran?"
"Sebenarnya aku rajin belajar. Hanya saja Korn mendatangiku dan mengatakan bahwa ada orang yang menyerang mereka."
"Aku tidak tahu siapa yang benar dan salah sekarang. Tapi kamu seharusnya tahu orang seperti apa Pran itu. Dia tidak akan melakukan sesuatu tanpa alasan."
"Woww, kau itu sebenarnya adik siapa? Aku atau Pran?" keluhku kesal. Di dunia ini, selain Pha, kurasa aku tidak perlu marah dengan orang lain lagi. Seorang gadis muda yang usianya tiga tahun lebih muda dariku, berjalan ke arahku tapi sebenarnya berpihak pada musuh. Tapi akhirnya, ia kembali masuk ke kamarnya, membiarkan pintu kamar yang terbuat dari kayu bercat putih itu dibiarkan terbuka. Aku mengikutinya dalam diam, bahkan suara langkah kakiku pun tidak terdengar.
"Tunggu dan duduklah di tempat tidur,"
Pha memerintah dengan suara tajam. Menarik kursi dan meletakkannya di depan rak buku untuk memanjat dan mengambil kotak P3K yang tersimpan di bagian paling atas. Wajahnya masih menunjukkan ekspresi tidak nyaman. Saat ia melompat turun dan meletakkan kotak P3K, membukanya dan mengeluarkan kain perban untuk membalut luka di atas bantal, hal ini masih bisa membuatku sedikit gemetar dengan rasa takut.
"Kapan kalian akan berhenti berkelahi satu sama lain? Dan bagaimana kabar P'Pran?" Pha tiba-tiba berbicara,
"Oh, dia juga terluka," 'dan cukup parah' pikirku dalam hati, "Kamu akan bangga karena memiliki kakak sepertiku..aww! Kenapa kau memukulku?"
"Berhentilah merasa bangga hanya karena hal ini. Kau tidak keren. Memangnya ada wanita yang mau denganmu?"
"Aku tidak tahu apakah wanita menyukainya atau tidak. Jadi, berhentilah. Kapan kau akan berhenti mengeluh. Kamu bahkan lebih parah dibanding Ibu."
"Karena Ibu berusaha untuk tidak pernah mengeluh padamu, P'Pat." Kata Pha yang seperti Ibuku, hanya usianya saja yang lebih muda. Dia mengatakannya sambil membungkuk, meneteskan obat merah ke atas kain kasa untuk mengobati lukaku dan mengoleskan balsem di beberapa tempat.
"Tidak ada kapas"
"Apa? Diawal bulan kan aku sudah membeli satu pak penuh," aku mulai melirik isi kotak obat.
"Ini semua karena kamu. Kau yang selalu kena pukulan setiap hari. Kamu pikir akan cukup satu pak kapas untuk satu bulan di mana kamu berkelahi hampir setiap hari? Biaya untuk peralatan mengobati lukamu bahkan lebih mahal dari biayaku membeli pembalut tiap bulannya."
"Dasar hiperbola.." aku mulai menggerutu
"Jangan sampai tagihan kita melunjak dari uang bulanan. Nota belanja obat-obatanmu akan kumasak supaya bisa membuatmu gemuk." Pha mulai membereskan barang-barang dan memasukkannya ke dalam kotak seperti biasa, menutup tutupnya dan meletakkannya kembali ke rak. "Pergilah ke Pran dan minta dia untuk mengobati lukamu."
"Hey..apa-apaan itu? Tidak, aku tidak mau keluar kamar lagi. Lihat, aku sudah terlanjur pakai piyama."
"Ya ganti baju saja sebentar."
"Bukankah akan lebih mudah kamu yang mengobati lukaku dibandingkan meminta Pran untuk bantu mengobati lukaku? Menurutmu mana yang lebih mudah? Pha..aku mohon. Ayolah. Tolong pergilah ke 7-Eleven dan beli kapas untukku, ya..?"
"Tidak perlu memelas seperti itu padaku." Gadis itu meregangkan tubuhnya, lalu melipat tangannya seperti membuat permohonan dan menunjukkan ketulusan melalui kata-katanya, "Ini hukuman kecil untukmu karena P'Pat pergi berkelahi lagi. Aku sudah sangat bosan. Nah, jika ada perkelahian yang kedua kalinya dalam minggu ini, maka aku akan benar-benar membiarkanmu tidur di jalanan."
"Pha..aku adalah saudaramu. Kau sungguh tega membiarkanku tidur di luar?"
"Aku melakukan ini justru karena kau adalah kakakku satu-satunya." Aku tahu sebenarnya adik perempuanku hanya mengkhawatirkanku. Tapi mau bagaimana lagi, aku tidak punya pilihan. "Jika kamu tidak menghentikan kebiasaan ini suatu hari, maka kamu akan berjalan dan melalui ini sendirian. Saat musuhmu datang dan mengerumunimu, apa yang akan kamu lakukan, P'Pat? Aku tahu kamu adalah anak yang pintar, tapi orang pintar tidak selalu bisa bertahan. Aku sudah tidak tahu lagi. Keputusan sudah diambil, aku tidak akan membelikanmu kapas. Kau harus pergi ke P'Pran sekarang dan kuharap kamu juga minta maaf padanya soal ini."
"Aku akan menganggap ini sebagai bentuk kamu berpihak ke sisi anak dari musuh Ayah dan melaporkannya"
"Kalau kamu memang niat, hal ini sudah kamu lakukan sejak lama." Aku sangat jengkel karena nenek tua ini tahu segalanya. Tapi, Pha ada benarnya. Aku memang bisa melakukannya sejak lama.
"Jangan lupa untuk minta maaf pada P'Pran."
"Iya, aku tahu."
Dan sekali lagi, aku menghela napas dan keluar kamar. Lalu, aku berdiri di depan pintunya untuk waktu yang lama.
Tok...Tok....Tok….
Samar-samar aku bisa mendengar suaranya. Aku langsung berlari kembali menuju kamarku. Tapi, kenop pintu tidak bisa diputar. Pha mengunci pintunya. Ini berarti, jika wajahku tidak dihiasi dengan kapas dan kasa yang dilapisi obat merah, maka pintu itu tidak akan pernah terbuka. Aku tidak tahu sudah berapa kali ini terjadi dan aku masih saja tidak bisa membuatnya tampak normal.
Sejauh yang bisa kuingat, aku dulu dikirim ke pre-school terbaik. Lalu, dari sana aku mulai menemukan teman yang cocok denganku. Pran adalah salah satunya. Setelah beberapa saat, guru sering memisahkan kami dengan satu sama lain. Ketika akhirnya aku beralih ke sekolah swasta khusus laki-laki di tingkat Sekolah Dasar, secara perlahan aku mulai menjauh dari Pran. Aku mulai mendengar rumor-rumor yang tidak terlalu jelas apa penyebabnya. Ditambah, orang tuaku dan orang tuanya tidak saling menyukai. Sejak itu, aku mulai mengutuk Ayahnya, mengikuti jejak Ayahku. Pada awalnya, Pran mengabaikannya. Semakin sunyi justru semakin menyenangkan. Sampai suatu hari, dia melemparkan batu ke dahiku. Itulah kali pertama kami bertengkar bersama. Kepalaku robek dan mendapatkan tiga jahitan pertama. Ibuku dengan keras menghina Ibu Pran di depan Unit Gawat Darurat. Sementara, dia hanya duduk di tempat tidur. Aku tidak tahu apakah dia mendapatkan banyak jahitan atau tidak. Kami hanya menangis sampai air mata, ingus, dan darah menggenang menjadi satu di baju sekolah kami. Aku membencinya dan bagiku, itu adalah perasaan satu-satunya yang kurasakan terhadap Pran. Kami tidak saling menyukai meskipun kami tidak tahu bagaimana atau siapa yang mengawali dan menjadi penyebabnya.
"Apa?"
Orang itu langsung membuka pintunya tanpa orang yang bertamu harus menunggu dan mengetuk pintu lagi, maka dia pasti tahu siapa yang mengunjunginya, "Kau membuatku kaget."
"Aku masih baik hati tidak melukaimu lebih parah."
"Tapi kau membuat banyak orang jadi khawatir,"
"Apa yang kau inginkan?" Aku mulai menunjuk luka diujung mulutku dengan jari telunjuk. Lalu, kuarahkan ke luka di sisi pelipis kiriku. Tidak sampai perlu dijahit, tapi lukanya cukup parah, "Dan?"
"Aku kehabisan kapas"
"Kau bisa turun dan beli di 7-eleven dekat asrama."
"Pha menyuruhku mendatangimu."
"Lagi?"
"Mau bagaimana lagi. Bukankah kamu cukup kaya kalau hanya untuk beli kapas?"
"Orang yang harus dimarahi di sini adalah kamu, bukan Pha. Dan orang tidak harus menjadi kaya untuk bisa beli kapas. Belajarlah untuk membeli sendiri."
"Siapa yang melukaiku duluan?" Ini murni karyanya sendiri. Sekarang dia ingin menyangkal dan lari dari tanggung jawab? Sama sekali tidak jantan, dasar brengsek. "Kamu harus membantuku mengobati lukaku."
"Maukah kamu mengganti perintahmu menjadi permintaan seperti yang dipesan oleh adikmu?"
"Siapa yang memberitahumu kalau Pha yang menyuruhku datang dan memohon padamu?" Pran berbalik. Aku segera menghadang pintu kamarnya agar tidak tertutup tepat di depan wajahku dan mengikutinya masuk ke kamar. Kamar Pran berbeda. Kamarnya terasa lebih luas karena ia tinggal sendirian. Jadi, dia tidak harus membaginya seperti kamarku dan Pha. Kamarnya terasa lebih nyaman, seperti kondominium dengan harga sepuluh ribu yang layak untuk ditinggali.
"Tangkap."
Aku menengadah dan melihat i-Phone keluaran terbaru terbang ke arahku. Aku segera melangkah untuk menangkapnya. Layarnya menunjukkan chatroom dengan Pha yang di dalamnya ada pesan yang memberitahu Pran untuk membantu mengobati luka di wajah dan kepalaku. Kata-katanya terkesan sangat lembut dan rendah hati, tidak seperti saat dia mengancamku layaknya harimau muda yang memamerkan taringnya.
"Dia bermain-main denganku lagi."
"Kalau kau masih ingin diobati, duduklah dengan baik. Aku akan mengambilkan kotak obat. Jika sudah selesai, cepat kembali ke kamarmu. Aku juga perlu mengobati lukaku."
Aku duduk bersila di lantai. Sementara, Pran duduk di tepi tempat tidur sambil mulai mengeluarkan bola kapas dan membasahinya dengan alkohol untuk mengusapnya di bagian luka terlebih dahulu. Aku memandangnya. Sebenarnya, Pran adalah orang yang bisa dibilang cukup tampan dan enak dilihat. Maksudku, kalau kau melihat wajahnya tanpa mempertimbangkan hal lain, ada terlihat sedikit arogan ditambah dengan karakter dingin di sana. Tipikal orang yang sulit tersenyum. Beberapa orang gengku mengatakan bahwa bajingan ini sering membuat ekspresi wajah yang menyebalkan. Aku sudah pernah mencoba membelanya beberapa kali, mengatakan bahwa dia sebenarnya orang yang menyukai seni dan tidak begitu peduli dengan dunia. 'Gaya arsitektur', sudah terkenal kalau mahasiswa fakultasnya adalah jenis orang seperti itu. Aku tidak terlalu terkejut. Lagipula, kilaunya sudah muncul bahkan sejak Pran masih SMA.
"Apa lihat-lihat?"
"Memang apa yang harus ku lihat?" Aku bertanya sambil menyeringai. Alisnya yang terbentuk dengan indah mulai berkerut, bekas luka kecil di ekor alisnya ikut bergerak sedikit. Sebelum tangannya berulang kali menekan bola kapas ke bagian luka di kepalaku.
"Berengsek, Pran! Itu sakit!!"
"Kakimu menggangguku."
"Aku bahkan belum melakukan apa-apa dan mukamu sudah merah karena malu."
"Apa yang sebenarnya kamu lakukan? Kamu mau aku mengobati lukamu atau menambah lukamu, hah?" Mata hitamnya memandangku lekat, membuatku menyerah dan diam. "Berhenti mengomel. Diamlah selama sepuluh menit dan itu akan sangat membantuku,"
Pran melanjutkan pekerjaannya untuk mengobati luka dan aku lanjut bicara, "Aku tahu kau memiliki luka di punggung. Apakah ada yang luka di bagian perut juga?"
"Yahh, keparat mana yang memukulku dengan seluruh kekuatannya?"
Aku mengulurkan tanganku, "Ini, kuberikan tanganku Nong Pran. Sudah seperti ini, kalau kau bertemu dengan orang lain di gengku, bukankah kamu bisa berakhir di rumah sakit? Berpikir tentang menjadi Raja, aku sudah belajar untuk menjadi sedikit lebih keras. Tidak lembut sepertimu begini, awas nanti kamu akan dianggap sebagai Ratu dan bukan Raja..oowww! Apa yang kau lakukan dengan tangan dan kakiku!?"
"Kalau begitu, tolong jawab aku. Kau mau aku menyumpal mulutmu atau bokongmu? Selanjutnya aku akan bilang ke Adikmu untuk berhenti membeli kapas tapi memintanya membeli pengaduk saja. Kenapa? Tidak suka? Apakah fakultas teknik juga mengajarkan bagaimana caranya menyalak seperti anjing? Atau mungkin aku bisa memberitahu orang-orang kalau kau sering mengadu ke adikmu. Bagaimana menurutmu?"
"Aku sendiri yang menggoda adik kelasmu." Aku membicarakan inti permasalahan antara fakultas arsitektur dan teknik, di mana seorang laki-laki menggoda perempuan cantik dan perempuan itu menganggap orang ini baik, "Aku sudah mengatakannya padamu, sepertinya lucu untuk menggoda mereka."
"Aku tidak tertawa."
"Kenapa kamu selalu jadi orang kaku dengan tegangan tinggi seperti ini. Kamu bisa mati lebih cepat kalau terus hidup begini."
"Anjing yang menyalak terlalu banyak juga bisa mati karenanya. Cepat angkat kepalamu."
Aku menurut, mengikuti kata-katanya untuk mengangkat kepalaku. Pran mulai mengusap luka di dekat mulutku, rasanya sedikit menyengat, tapi aku masih bisa sedikit menahannya. Aku melihatnya lagi. Rambut hitamnya sudah jatuh di bawah alis. Padahal, baru beberapa minggu lalu dia memotong rambutnya.
"Rambutmu semakin panjang."
"Aku tahu. Ini semakin menggangguku juga."
"Akan kubantu untuk mengikatnya."
"Tidak perlu. Diamlah. Sulit ku obati jika kamu terus bergerak," Pran mulai mengomel sambil mencubit ringan pipiku. Faktanya, dia sebenarnya orang yang cukup baik menurutku. Aku mencoba mengingat lagi, sejak SD kami tumbuh semakin jauh setiap harinya, saling pukul jika ada kesempatan. Sampai suatu hari, kami pergi bersama ke danau di dekat desa. Aku membawa sepedaku. Pran juga memiliki sepedanya sendiri. Kami bertemu di bawah pohon Karawak yang tinggi dan besar. Itu adalah tempat istirahat yang sudah kami pesan. Aku memesannya saat masih di dalam kandungan. Tapi, Pran berargumen kalau Ayahnya sudah memesannya duluan. Aku menjawab kalau Ayahku sudah membeli rumah duluan di sana. Dia bahkan menantangku untuk menunjukkan akta rumah padanya. Sejujurnya, aku tidak pernah mengerti, karena kita selalu saling benci seperti ini, kenapa justru kita terus berputar-putar dan berada di dekat satu sama lain?
**Zoommm** \\sfx
Tiba-tiba suara air tersebar di danau teratai. Aku langsung balik badan dan melihat sebuah jejak di lumpur menunjukkan bagian kecil seperti roda sepeda. Sepedaku hilang. Kami terlalu sibuk bertengkar sambil menarik kerah baju satu sama lain sampai kami melupakan bahwa Pha masih mengendarai sepeda dan terjatuh ke kolam. Rambutku meremang, aku baru sadar kalau aku tidak bisa berenang. Orang tuaku selalu menasihati kami, saat hanya ada kami berdua, maka tidak boleh ada yang mendekati kolam.
**Zoommm** \\sfx
Terdengar suara air lagi. Sepeda Pran sudah terjatuh di dekat pohon Karawak, tapi pemiliknya sudah tidak terlihat. Melihat sesosok tubuh yang bergerak dan melompat ke arah kolam, aku hanya bisa berdiri diam, tidak mengeluarkan suara apapun. Setelah beberapa saat, Pran kembali. Dia kembali sambil memegang tangan Pha, dan menariknya ke arah tepi kolam. Pha masih dalam kondisi sadar dan menangis cukup keras sambil memeluk erat musuhku.
'Pha'
**Bugg!!** \\sfx
Ini adalah kali pertama aku membiarkan dia mendorong dan memukulku telak. Pran memukulku dengan sangat keras sampai aku terjatuh dengan wajah terlebih dahulu. Aku bahkan tidak sempat berpikir untuk melawan. Aku sangat marah, tapi dia bahkan lebih marah lagi "Tidakkah kamu ingin menolong saudara perempuanmu sendiri? Jika aku tidak menolongnya, apa kamu akan membiarkan dia mati?"
"Tidak…."
"Kau benar-benar menjijikkan!"
Pran pergi mengangkat sepedanya. Tubuhnya basah dari kepala hingga kaki. Daun dan akar-akar tanaman bahkan masih menyangkut di leher dan pundaknya. Semakin lama, punggung Pran semakin menjauh dan semakin tidak terlihat. Aku langsung berlari untuk memeluk Pha segera setelah aku mendapatkan kesadaranku kembali. Pha masih menangis. Aku masih ketakutan karena apa yang baru saja terjadi. Aku bahkan tidak tahu bagaimana Pran bisa melakukannya. Sepedaku masih berada di dalam kolam dan aku melihat kaos Pha basah oleh air dan darah. Aku mengecek seluruh tubuh Pha, tapi tidak ada satu luka pun di sana. Setelahnya, aku baru menyadari kalau Pran memiliki bekas luka kecil di daerah ujung alisnya. Sebuah bekas luka yang terus memunculkan sebuah pertanyaan di dalam kepalaku. Apakah itu sebuah bukti tanda keberaniannya?
"P'Phat, jangan bilang ke Ibu. Aku takut pada P'Pran."
Sejak saat itu, perubahan terjadi. Hubungan kami menjadi seperti ini. Tidak terlalu membenci seperti sebelumnya, tapi juga tetap tidak berteman terlalu baik. Dia menempelkan plester terakhir di lukaku dan akhirnya proses pengobatan selesai. Sikuku juga memiliki goresan luka di bawah lengan bajuku, tapi tidak sampai berdarah. Hanya mungkin akan meninggalkan bekas luka selama 2 minggu. Itu akan segera menghilang jika aku tidak terluka lagi.
"Oke. Sana pergi." Si pemilik kamar berdiri dan bersiap untuk membukakan pintu. Aku menggapai pergelangan tangannya dan menarik dia untuk duduk di kasur lagi.
"Bagaimana denganmu?"
"Aku akan melakukannya sendiri."
"Jangan bergerak terlalu banyak. Biarkan aku melakukannya. Aku tidak akan melukaimu lebih parah."
"Kemampuanmu dalam mengobati luka itu sangat buruk, Pat."
"Aku melakukannya bukan untuk menunjukkan kemampuanku. Aku minta maaf. Biarkan aku melakukannya sebagai bentuk permintaan maafku."
"Apa!? Tunggu..tunggu sebentar. Kamu? Minta maaf? Hey, kamu baik-baik saja?"
"Oh ayolah. Akan baik-baik saja kalau hanya membantu sebanyak ini." Aku sambil tersenyum ke arahnya sampai mataku menyipit dan sepertinya senyum ini sedikit membuat Pran kesal. "Biarkan aku bertanggung jawab atas luka-lukamu."
"Berhenti. Tolong berhenti mengatakan hal-hal yang membuatku ingin muntah."
"Apa yang kamu maksud dengan hal-hal yang membuatmu ingin muntah padahal aku hanya ingin membantumu? Apa yang sebenarnya kau pikirkan? Brengsek macam apa kau ini, dasar tidak tahu diri." Aku menjawab, membuat Pran langsung mengepalkan tangan dan ingin meninjuku. Tapi, aku lebih cepat darinya dan segera menggenggam pergelangan tangannya. Akhirnya, kami berada di posisi di mana aku memegang kedua tangannya. Berhadapan dengan dia yang duduk di tepi kasur dan aku berlutut di lantai, berusaha untuk menariknya agar tetap diam di kasur.
"Dasar wajah datar tapi tidak sabaran."
"Hanya dengan orang sepertimu."
"Aku merasa jadi orang yang sangat spesial."
"Segera lakukan apapun yang kau inginkan dan kembalilah ke kamarmu. Aku memiliki banyak pekerjaan. Aku tidak ingin membuang waktuku yang berharga untuk orang sepertimu."
"Baik, baik. Ini akan segera selesai. Biarkan aku melihat luka di bagian perutmu."
"Tunggu! Kau tidak harus melakukannya!"
Tangan putihmya segera menghentikan pergerakan tanganku yang ingin membuka kemejanya. Pran mulai mengernyitkan dahinya.
"Cukup obati ini. Bagian yang lain tidak terluka. Kau membuat segalanya menjadi terasa sangat canggung." Kata si Arsitek sambil memutar matanya.
Aku hanya menurutinya dan dia bergeser untuk duduk di lantai. Dia sedikit mengangkat kepalanya agar aku bisa memgobati luka yang ada di sudut mulut dan dekat tulang pipinya. Aku menggunakan ujung jariku untuk mengoleskan salep di lukanya secara perlahan dan secara tidak sengaja aku memandangnya. Pemandangan yang aku sukai.
Bersambung.
Halo ^^
Selain update di webnovel, kita memutuskan untuk update juga di twitter untuk jaga-jaga kalau disini kena 'tilang' dan di block lagi.
Readers bisa cek twitter @audidorkas ya
Thank you ~~