webnovel

Chapter 56 - 57

"Ukh..."

Frey memegang kepala dengan kedua tangannya. "Ini tidak pernah berakhir. Semua kertas omong kosong ini. Aku ingin membakar mereka semua saja."

Rengekan Frey membuat Valias teringat pada teman-teman di masa kuliahnya.

"Aku akan membakar bangunan universitas kita! Benar-benar tidak berguna!"

"Jangan khawatir. Kakakku pengacara. Kau pasti tidak akan dibela."

"Kalau begitu aku akan bunuh diri!"

"Tubuhmu akan dibuang ke sungai dan kubiarkan dimakan hiu."

"Tidak ada hiu di sungai!"

"Kupikir kita sedang berlomba mencipta omong kosong. Dalam hal ini, selamat. Tidak ada yang menang."

Valias tanpa sadar tersenyum. Frey menyadarinya dan langsung mengernyit.

"Apa yang lucu?"

"Ya? Tidak."

Valias membaca satu-persatu kertas di atas meja Frey. Berkomentar. "Mereka memiliki ide-ide yang menarik."

"Membuat peledak, memasang perhiasan pada dinding perbatasan," Frey menghela nafas. "Omong kosong yang tidak pernah berakhir."

"Yang Mulia berpikir mereka sudah mulai membuat apa yang mereka tuliskan di sini?"

"Bagaimana dengan yang kau sebut senjata api waktu itu? Belum ada yang menyebut soal itu sebelumnya. Tapi mereka membuatnya." Frey memasang wajah jelek.

Valias mengambil kertas lain.

"Hayden kerajaan yang damai."

"Benar. Tidak ada laporan kejahatan. Tidak ada laporan tuduhan pelanggaran peraturan. Damai sekali." Frey bersuara sarkas. Valias terkekeh.

"Yah... tidak begitu buruk."

Frey menaikkan alis. "Kau berpikir begitu?"

"Hal buruk akan muncul dengan sendirinya. Tidak perlu terlalu khawatir." Valias membaca kertas di tangannya. "Dan jika saya pikir-pikir lagi, Anda benar. Kita tidak perlu terlalu berburu-buru."

Frey mengerjap sebelum mencibir. "Kau bilang begitu tapi kau tetap akan pergi."

"Tidak ada salahnya."

Frey memerhatikan Valias sebelum bertanya.

"Kau menerima pesan dari dewa lagi?"

Valias mengangkat dagunya. Melihat Frey yang melihat ke arahnya. Matanya tajam. Ingin tahu apa yang akan menjadi jawaban Valias.

"Saya tidak pernah menerima pesan dewa."

Frey melebarkan mata. Mengernyit kemudian. "Apa?"

"Saat itu saya bohong."

Frey mengerjap. "Kau ... bohong?"

"Hm." Valias mengangguk.

Frey mengerutkan kening. "Lalu?"

"Lalu apa?"

"Lalu bagaimana kau tau??" Frey bertanya tidak terima. Bentuk wajahnya sudah tidak bisa dideskripsikan lagi.

Valias melihat pada Frey. Diam sebelum menghela nafas.

"Saya bukan dari sini."

"Bukan dari sini, maksudnya dari kerajaan lain? Ibumu imigran gelap?"

"Tidak. Saya dari dunia lain, Yang Mulia."

Frey tidak bersuara. Mulutnya terbuka tapi menolak untuk mengeluarkan suara apapun. Dia lalu menurunkan wajahnya dan memasang tawa. "Hahaha Valias. Kau mau becanda? Kau ingin menghiburku dari rasa amarah? Candaanmu lucu sekali dan kau becanda di saat yang sangat tiba-tiba sampai aku tidak bisa membedakannya. Ekspresimu bahkan tidak berubah sama sekali. Wajah datarmu terpasang dengan baik." Frey memegang perut dan keningnya. Lalu mengangkat wajah untuk melihat Valias. Melihat orang itu tidak menunjukkan perubahan ekspresi sama sekali. Menujukan matanya pada kertas baru di tangan. Tidak ada tawa. Tidak ada senyum bodoh.

Sebuah kesadaran menghampiri Frey.

Valias tidak pernah bercanda.

Valias adalah orang yang serius. Dia tidak pernah main-main dengan ucapannya dan Frey bisa selalu memegang kata-katanya. Dia belum mengenal Valias lama tapi itulah yang dirinya tangkap.

Dia serius. "Kau, serius?"

"Saya tidak punya keinginan untuk berbohong. Tapi saat itu saya tidak terpikirkan jalan lain." Valias menelisik kertas lain.

Frey diam. "Ketika kau bilang dunia lain, dunia apa yang kau maksud?" Dia lalu mengernyit mengernyit. "Kau sudah mati?"

"Mungkin iya, mungkin tidak."

Frey berwajah tidak mengerti. "Apa maksudmu?"

"Saya dari dunia yang biasa disebut sebagai dunia modern."

"Dunia modern?"

"Ya. Tapi yang lebih tepatnya adalah dunia nyata."

Frey merasa tidak mengerti. "Dunia nyata apa maksudmu? Apa bedanya dengan dunia kita hidup sekarang?"

Valias menghentikan gerakan matanya. Berpikir bagaimana dia harus menjawab.

"Lupakan saja."

"Apa?"

"Baik saya dari sini atau dunia lain tidak akan merubah apapun. Jadi lupakan saja."

"Kau tidak bisa memulai topik dan membuang topik itu begitu saja," Frey protes.

Valias diam sebelum menghela nafas tanpa suara.

"Saya tidak bisa memberitahu Anda kenapa saya bisa tahu. Tapi itu bukan karena saya menerima pesan dewa. Hal itu tidak pernah terjadi dan tidak akan pernah terjadi."

Yang ada adalah Valias Bardev yang asli yang muncul di kepalanya dan bicara padanya.

Frey mulai melihat Valias dengan cara yang berbeda. "Lalu, apakah kau Valias Bardev?"

"Saya bukan Valias Bardev yang sebenarnya. Saya sedang menempati tubuhnya."

"Kau hantu?"

"Bukan juga." Valias meletakkan kertas di tangannya ke atas meja. "Tapi Yang Mulia bisa menganggapnya begitu."

"Lalu, di mana Valias Bardev?"

"Di kepalaku. Mungkin."

Frey tidak tahu bagaimana dia harus bereaksi.

"Siapa namamu?"

Valias bergumam. "Mungkin Anda lebih baik untuk tidak tahu."

Frey memandangi Valias. "Apakah, aku masih bisa mempercayaimu?"

Valias balas memandang Frey. Melihatnya yang berwajah nanar.

"Itu adalah keputusan Anda. Baik percaya ataupun tidak percaya, Yang Mulia hanya perlu melihatnya sendiri." Valias mengetuk kertas di depannya. "Tujuan saya tidak akan berubah."

Frey memperhatikan Valias dari tempatnya.

Tujuan apa? Tapi hanya bertanya. "Apakah, kau masih Valias yang kukenal?"

Valias melihat pada Frey dan tersenyum kecil. "Kecuali Anda pernah bertemu dengan Valias Bardev sebelum ketika perjumpaan kita di hari ulang tahun Anda waktu itu, maka iya. Saya Valias yang Yang Mulia kenal."

Frey berwajah kaku.

Valias yang dia kenal. Valias yang bertemu dengannya di hari ulang tahunnya. Di hari undangan istana. Istana sudah beberapa kali mengadakan undangan kepada para bangsawan tapi undangan saat itu berbeda bagi Frey. Karena itu adalah hari dimana semangatnya untuk menjadi raja Hayden sedang berada di titik yang lebih tinggi dari sebelum-sebelumnya. Hari di mana ayahnya Raja Chalis meninggal, dan dia mengalami percobaan penyerangan. Meskipun itu tidak jadi karena dia tidak terluka. Yang terluka justru adalah Valias.

Valias yang menerima pesan dewa. Lalu menjatuhkan batu besar padanya. Dan membuatnya kehilangan kata-kata berkali-kali. Itulah Valias yang Frey kenal. Bahkan di saat ini pun Valias baru saja memberinya kejutan baru.

Dunia lain? Dia bukan Valias Bardev yang asli?

Frey merasa dirinya kesulitan menerima pernyataan itu. "Kenapa kau memberitahuku ini?"

Jika Frey ada di posisinya, dia tidak akan memberitahukan rahasianya pada siapapun. Bahkan justru mungkin merencanakan sesuatu seperti menghancurkan Hayden. Valias yang dia tau, selalu bilang kalau dia ingin Hayden menang dalam perang.

Tapi bagaimana jika dia bohong?

Bagaimana jika Valias menyembunyikan sesuatu yang dia tidak tahu?

Apakah aku terlalu percaya padanya?

Ucapan Valias membuat Frey sadar bahwa dia sudah meletakkan kepercayaan terlalu banyak pada putra bangsawan itu. Bagaimana jika Frey tidak bisa memercayainya? "Darimana aku bisa tau apakah aku bisa memercayaimu atau tidak?"

Valias menaikkan alis. Terkekeh kecil. "Yang Mulia khawatir?"

"Bagaimana saya bisa menunjukkannya? Yang Mulia lah yang harus membuat penilaian. Jika saya membuat Yang Mulia curiga, apakah Yang Mulia akan membunuh saya?"

Frey mengerutkan kening. Pertanyaan ringan seperti itu, hanya Valias yang memilikinya.

Dia selalu meremehkan hidupnya sendiri.

Dia belum berubah.

Tepatnya, dia tidak berubah.

Dia Valias yang aku kenal.

Frey menutup wajahnya. "Kenapa kau selalu bisa mengejutkanku? Apakah itu bakat yang kau punya? Rahasia apa lagi yang kau punya? Kalau kau sebenarnya saudara tiriku?"

Valias mengerjap sebelum tertawa. "Tidak, Yang Mulia. Itu tidak mungkin."

"Saya tidak bisa menampik fakta kalau saya masih punya banyak yang saya simpan pada diri saya sendiri. Tapi yang Yang Mulia butuhkan adalah kejayaan Hayden dan saya tidak akan melanggar janji yang sudah saya buat."

"Janji apa?"

Tangan meletakkan tangannya pada meja.

"Hayden tidak akan hancur seperti yang saya bilang dan tidak akan ada satupun orang yang mati."

Frey menutup mulutnya. Valias yang mengatakan itu membuat Frey berpikir kalau perang akan memakan banyak korban.

Dia menelan ludah.

Bagaimana jika dia lah yang mati? Bagaimana jika itu orang-orang yang dekat dengannya? Keluarganya. Kalim dan Uvan.

Dia lalu mengangkat wajahnya.

Bagaimana jika itu Valias?

Valias yang sakit. Bagaimana jika Valias tidak ada ketika Hayden sungguh-sungguh menang?

Dia melihat Valias yang memasang senyum. Senyum yang selalu dia miliki di kala dia sedang menunjukkan keyakinannya. Frey berucap menekan. "Kau harus berjanji padaku untuk selalu mengatakan yang sebenarnya."

Valias mengerjap pada Frey yang melihatnya dengan mata tajam.

"Saya tetap punya hak untuk merahasiakan sesuatu." Dia memberi ucapan menolak. "Tapi,"

Valias terkekeh. "Anda bisa mempercayai saya, Yang Mulia. Selama saya tidak terbawa kembali ke dunia saya atau mati, maka saya akan terus ada membantu Anda untuk Hayden."

"Sekarang," Valias mengetuk kertas di atas meja dengan ujung jari telunjuknya.

"Saya mendapat satu ide yang cukup menarik."

Frey termenung pada bagaimana Valias mengalihkan topik tapi tetap mengeraskan wajahnya. "Apa?"

Valias ingin bertanya pada dirinya sendiri.

Ada apa denganku?

Valias menyadari dirinya yang perlahan-lahan berubah. Sejak dia ke dunia Valias Bardev. Dia bertemu dengan hal-hal yang tidak pernah dirinya temui sebelumnya.

Dina. Hadden. Danial dan Ruri. Lalu Frey, Kei, Wistar dan Dylan. Valias menemukan dirinya ingin menjadi penolong mereka. Walaupun dirinya punya keraguan kalau dia bisa. Tapi dia tetap ingin mencoba.

Di dunia ini, dia ingin menjadi versi terbaik miliknya. Dia terlalu banyak menjadi pendiam sebelumnya. Dia sadar itu. Dia bisa bertahan karena ada teman-temannya di sekelilingnya. Tanpa mereka, Abimala mungkin akan menemui kegagalan lebih awal.

Dia ingat kapan waktu semua itu berubah. Setidaknya, dengan dia yang memerankan identitas baru sekarang. Dia ingin mencoba untuk menjadi seseorang yang berbeda. Seseorang seperti temannya. "Apakah pernah ada bangsawan yang meminta untuk berhadapan langsung dengan Yang Mulia Raja Chalis sebelumnya?"

Frey mencemberutkan wajahnya pada pertanyaan itu. "Tidak."

"Bagaimana dengan Anda?"

"Sejauh yang kutahu hanya kau satu-satunya orang yang bisa dengan seenaknya meminta waktu untuk bertemu dengan seorang raja."

"Begitukah?"

"Hm."

"Kalau begitu ayo undang seseorang untuk ke istana."

"Siapa?" Frey mengerutkan kening.

Valias mengetuk kertas di bawah tangannya. "Hayden punya lebih banyak orang yang menarik dari yang saya duga. Seorang bangsawan meminta dukungan Anda dalam membuat tempat perdagangan di bawah tanah."

Frey menaikkan alisnya tanpa menghilangkan kernyitannya sama sekali. "Alen Arlcliff."

Valias mengangguk. Frey bertanya. "Apa yang kau rencanakan?"

"Mungkin kita bisa membuat para elf tinggal di bawah tanah Hayden."

Frey kehilangan kata-kata.

"Para elf?"

"Ya." Valias membenarkan. "Sejak awal kita harus melindungi mereka."

"Melindungi mereka dari apa?"

"Mereka tertakdir untuk dipaksa bekerja untuk salah satu kerajaan tetangga."

"Bukan Solossa?"

"Bukan."

"Lalu?"

"Yang Mulia belum perlu tau. Tapi," Valias memandangi kertas di depannya. "Akan bagus jika kita bisa membuat mereka hidup bersama kita. Di balik dinding Hayden. Kita bisa menggabungkan wilayah kita, Yang Mulia."

"Wilayah atas dan wilayah bawah," gumam Frey.

"Benar."

"Seperti apa tempat tinggal mereka yang sekarang?"

"Mereka tinggal di bawah tanah." Valias menghentikan kalimatnya. "Saya tidak bisa menjelaskan lebih dari itu."

Frey mencibir. "Kau benar-benar menyimpan sesuatu untuk dirimu sendiri." Valias mengabaikannya.

Sebenarnya bukan hal yang harus dirahasiakan.

Frey akan melihatnya sendiri cepat atau lambat. Valias hanya bukanlah orang yang pandai menggambarkan sesuatu dengan kata-kata. Dia akan membuat gambar di atas kertas jika dia memang harus. Menyerah jika Frey memintanya memberikan deskripsi padanya. "Jadi kita bisa melakukan proyek ini, Yang Mulia." Valias mengangkat wajahnya. "Kita bisa panggil bangsawan Alen untuk ke istana. Membahas pelaksanaannya."

Frey mencemberutkan wajah. "Menurutmu kita bisa memercayainya?"

"Tidak ada cara lain." Valias mengedikkan bahu. "Kita harus membuatnya bisa dipercaya."

"Apa maksudmu?"

"Mengawasinya. Memastikannya tidak bisa berbuat curang."

"Dan siapa yang akan memastikannya? Kau?"

"Bukan."

"Lalu?"

"Kei dan teman-temannya."

Frey tidak bisa berkata-kata.

14/04/2022 18.00 1777words

Ppal: "semoga reader VB kuat mental menghadapi authornya"

________

Chapter 57

"Aku sudah memberitahunya untuk datang."

"Bagus."

"Aku akan percaya padamu."

"Senang mendengarnya."

"Aku akan mengawasimu."

"Saya memang berencana untuk melakukan beberapa hal tanpa sepengetahuan Anda."

"Apa?"

"Anda benar. Saya sudah terlalu banyak mengejutkan Anda. Jadi saya akan bergerak tanpa memberitahu Anda. Anda hanya akan perlu untuk melihat hasilnya."

"Bagaimana aku akan tahu apakah aku akan menyukai apa yang akan kau lakukan atau tidak?"

"Jadi Yang Mulia tidak protes jika saya menghubungi Anda setiap hari?"

"...Aku akan menutup wajahku frustasi tapi aku tidak akan mengeluh."

Valias bergumam.

"Jadi kau akan pergi?"

"Ya."

"Kau siapkan apa yang perlu kau persiapkan."

"Yang Mulia tidak perlu memberitahu saya."

"Kalau begitu aku tidak akan bertanya tentang apa yang akan kau rencanakan lagi."

"Benar. Yang Mulia tidak perlu tahu."

"Pastikan agar apapun kekacauan yang kau buat tidak akan membawa nama Hayden."

"Apa yang akan saya lakukan adalah untuk Hayden tapi saya akan membuat diri saya terlihat sebagai seorang peneliti lepas biasa."

"Dan jika kau sakit?"

"Saya tidak akan sakit."

"Tapi bagaimana jika iya?"

"Maka yang harus terjadi akan terjadi."

"Kau akan berdarah dari hidungmu dan kau akan kehilangan kesadaran." Frey mengerutkan kening.

"Mungkin."

"Dan bagaimana ketika itu terjadi?"

"Bagaimana apa?"

"Apa yang akan kau lakukan????"

Valias mengerutkan kening. "Apa lagi yang akan saya lakukan? Kalau pingsan ya pingsan saja. Mungkin saya akan bangun di pinggir jalan. Lalu pulang."

"Kau, kau tidak sungguh-sungguh pada kata-katamu itu, kan?" Frey tercengang pada ketidakacuhan Valias.

"Kalau Kei cukup baik hati maka dia akan membawa saya. Kalau tidak, antara dia memotong kepala saya dan menggantungnya atau dia akan meninggalkan saya di sana lalu pulang ke tempat dimana dia tinggal bersama teman-temannya," bicara Valias asal.

Frey memegang leher dimana jakunnya berada. "Dia, dia memotong kepala orang?"

"Dia sering melakukannya," Valias memberitahu.

Di cerita yang dia baca, Valias tidak bisa menghitung lagi seberapa banyak Kei memotong kepala seseorang. Memotong leher mereka. Menebas mereka hingga sebuah kepala melayang dan akhirnya terjatuh di atas tanah atau lantai bagai sebuah bola yang lonjong dan mengeluarkan darah. "Karena apa?" tanya Frey.

"Karena dia tidak menyukai orang itu."

Kei akan memotong kepala siapapun yang membuatnya tidak senang. Semudah itu baginya mengayunkan pedangnya dan melayangkan sebuah nyawa.

Kegelapan Kei bertambah setelah dia melihat kebusukan bangsawan-bangsawan di Hayden.

Saat itu, bahkan teman-temannya pun takut padanya. Radja berhenti bicara. Oza tidak punya cukup keberanian untuk mendekat. Kei bagai sesosok makhluk buas dengan tubuh gelap dan mata yang tajam menyala. Tapi setelah itu dia berubah. Kembali ke dirinya yang sebelumnya. Teman-temannya kembali mendekatinya.

Tapi di saat itu terjadi, perang muncul. Membuat Kei kehilangan mereka lagi.

Valias sadar dia sudah bicara hal buruk. Tidak seharusnya dia berucap seperti itu tentang Kei. Dia belum melakukannya. Dan dia tidak akan melakukannya jika Valias bisa membuatnya tidak melakukan itu. Valias akan membuat Kei mengendalikan emosinya. Memiliki banyak mayat tanpa kepala di Hayden bukanlah hal yang bagus. "Lupakan itu. Saya bicara omong kosong. Dia tidak pernah melakukan itu. Saya hanya bicara tanpa berpikir."

Frey menggelapkan wajah.

Valias tidak pernah bicara omong kosong. Jika dia mengatakan itu, maka itulah yang terjadi. Mungkin itulah kebenarannya tapi Valias kemudian menutupinya.

Dia ingin menutupi apa yang Kei lakukan. Kenapa? Kenapa dia ingin melindunginya? Walaupun Kei tidak melakukan apapun tapi Kei sudah membuat Valias terluka beberapa kali. Luka-luka kecil.

Kenapa Valias tidak marah? Jika Frey ada di posisinya dia akan marah. Kenapa Valias masih menutupi hal buruk tentang saudaranya itu?

Frey mengernyit tapi kemudian menggeleng. "Baiklah. Aku akan melupakannya."

Dia lebih memilih untuk tidak tahu bahwa Kei suka memenggal kepala orang. Membayangkan dia melakukan sebuah kesalahan dan langsung mendapati dirinya melayang di udara sedangkan tubuhnya masih ada di tempat dimana dia berdiri. Lalu membentur tanah. Frey tidak ingin itu terjadi padanya. Tidak juga kepada orang-orang yang dia tahu.

Frey belum pernah melihat hukuman mati sebelumnya. Itu tidak ada di Hayden. Ada, tapi belum pernah dilaksanakan. Tidak sejauh yang dia tahu.

Frey bertanya-tanya apakah akan ada saat dimana dia termakan emosi dan mengayunkan pedang kerajaan miliknya. Memotong kepala seseorang. Dia pikir itu bisa terjadi jika dia memiliki amarah yang luar biasa kepada sesuatu. Amarah yang disebabkan oleh apa, Frey tidak tahu. Dan semoga itu tidak akan pernah terjadi.

Valias memikirkan bagaimana dia akan bepergian.

Dia akan pergi dengan Kei. Tapi bagaimana dia akan pergi?

Mereka akan membutuhkan seseorang untuk membuat sihir berpindah. Tapi siapa yang akan melakukannya?

Valias mulai berpikir apakah dia akan mempelajari sihir juga.

"Jangan coba-coba lakukan itu."

Sebuah suara tiba-tiba terdengar.

Valias terdiam.

Suara itu,

Valias Bardev.

Valias berdiri dari duduknya. Berjalan pergi ke sudut ruangan. Menjauh dari Frey. Membuat Frey memandanginya bingung. Ikut berdiri karena merasa Valias bersikap aneh.

Ada apa dengannya?

Dia melihat Valias yang berdiri memunggunginya. Valias di tempatnya sedang memegang satu telinganya.

"Kau di sana?"

Dia memanggil. Tapi tidak ada jawaban.

"Valias?"

"Ah sial. Anggap aku tidak pernah mengatakan itu. Lupakan aku. Anggap aku tidak pernah ada."

Suara di dalam kepalanya menjawab. "Kau, apakah kau membaca pikiranku?" tanya Valias bingung.

Valias Bardev tidak menjawab.

"Valias?"

"Ya! Ya! Ya! Aku melakukannya! Kau tidak suka?!"

Valias mengerutkan kening. "Kau tidak seharusnya melakukan itu."

"Sulit untuk menahan diriku ketika aku bisa melakukannya. Selain itu," Valias Bardev bicara di kepalanya lagi. "Kau punya pikiran yang sangat lurus, paman. Kau tidak pernah berpikir yang aneh-aneh."

Valias menaikkan sebelah alisnya. "Aneh-aneh seperti apa?"

"Kau tidak perlu tau. Aku senang kau orang yang lurus. Aku tidak perlu melihat hal-hal aneh dari kepalamu," suaranya berdecak.

"Kau tidak bisa melakukan itu, Valias. Pikiran seseorang adalah milik orang itu. Kau tidak bisa masuk ke dalam pikiran mereka." Valias menasihati.

"Kau tidak perlu memberitahuku itu. Aku sudah tahu." Valias Bardev terdengar menggerutu dengan putaran bola mata.

Valias mempertanyakan lalu? Tapi dia tidak mengatakannya. Tapi siapa yang menebak kalau Valias Bardev masih juga membaca pikirannya? "Kau berasal dari dunia lain seperti yang kau bilang. Aku harus mengawasimu."

Valias mencemberutkan wajahnya.

Semua orang bilang ingin mengawasiku. Apa yang sudah kulakukan? Dia bertanya pada dirinya sendiri.

"Kau tidak melakukan apapun. Tapi justru itulah yang mencurigakan. Paman." Valias Bardev bicara di dalam kepalanya. Kemudian memanggil. "Kau punya rencana untuk membuat dirimu mati lebih dulu agar yang lain bisa selamat?"

Valias diam. Tidak menjawab.

Valias Bardev berucap. "Tidak ada perlunya menyangkal. Aku tahu apa yang ada di dalam kepalamu. Kau punya keinginan yang besar untuk bunuh diri."

Valias tidak menjawab. Dia berusaha meluruskan kepalanya. Mengerutkan kening.

Valias Bardev bicara. "Baiklah baiklah baiklah. Kau bisa memikirkan cara bagaimana untuk bicara padaku. Tapi kau juga harus tahu kalau aku sudah banyak melihat apa yang kau pikirkan. Kau tidak bisa mengelak apapun. Aku tidak seharusnya membaca pikiranmu jadi aku akan berhenti. Kau bisa tenang."

(a/n: I would never let anyone see what's inside my head. A very terrible place to be in)

Valias mengerutkan kening. "Kau janji?"

"Aku janji."

Valias berwajah tidak suka. Dia tidak tahu apakah Valias Bardev sungguh-sungguh atau tidak. Tapi dia harap anak remaja itu mengatakan yang sebenarnya. Dia tidak mau seseorang membaca pikirannya.

"Aku harap kita bisa bicara malam ini," ucap Valias.

Remaja di kepalanya bertanya. "Kau mau bicara padaku?"

"Ya," jawab Valias.

"Tentang apa?"

"Kau akan lihat nanti."

"Aku punya kebebasan untuk menemuimu atau tidak. Aku punya kuasa penuh dalam alam bawah sadarmu. Kau tidak bisa memaksaku."

Valias menggerutu. "Tentu saja aku tidak bisa memaksamu."

"Setidaknya aku sudah memberitahumu apa yang ingin aku lakukan. Kau akan memersiapkan dirimu untuk bicara padaku," dia melanjutkan.

Valias Bardev berdecak. "Terserah." Dia lalu bicara lagi. "Sekarang kembalilah pada Sang Putra Mahkota. Kau pasti sudah membuatnya bingung."

Valias menunggu untuk suara lain dan suara di kepalanya tidak pernah muncul lagi. Berbalik melihat Frey yang berdiri di tempatnya dengan wajah bingung. Ada jejak kecemasan di sana.

"Apa yang terjadi?" tanyanya.

Valias melihat Frey sebelum kembali ke tempatnya. "Tidak ada apa-apa."

"Kau pergi tiba-tiba. Apakah kau menerima pesan dewa?" Frey mengerutkan kening.

"Saya sudah bilang itu tidak pernah terjadi."

"Barangkali saja," cemberut Frey. "Kau sudah membawa-bawa dewa dalam kebohonganmu. Bagaimana jika Dia mendatangimu?"

Valias memasamkan wajahnya. "Itu tidak akan terjadi."

"Darimana kau tau?" ketus Frey. "Bukankah kita selalu percaya kalau dewa ada untuk menghukum perbuatan buruk kita? Apakah Dia mau dijadikan bahan membuat kebohongan olehmu?"

Valias mengernyit.

Jika dia pikir-pikir lagi, itu memang mengerikan. Tapi dia yakin itu tidak akan terjadi. "Lupakan itu. Saya akan memastikan beberapa hal."

Valias duduk dan meletakkan ujung jemari-jemarinya di atas meja. Melihat ke arah Frey. "Anda akan menjadi Raja Hayden."

Frey melihat Valias dan mengerutkan kening.

Kenapa dengannya tiba-tiba?

Tapi kemudian Frey teringat dengan keraguan yang dia punya.

Apakah dia pantas? Bagaimana jika Valias lah yang lebih berhak untuk menjadi raja?

Dia sudah dipersiapkan untuk menjadi raja sejak dia kecil. Dia didorong untuk belajar oleh ibunya sang ratu. Dia sudah mendapat banyak tekanan dari itu. Dia selalu dipandang oleh semua orang sebagai Raja Hayden yang selanjutnya. Dia mendapatkan tekanan di bahunya dari itu. Ketika dia berumur dua puluh satu tahun, dia melihat apa yang tidak bagus dari cara ayahnya memimpin Hayden. Dan dia ingin merubah itu. Dia ingin berbeda dari Chalis. Dan ketika di hari ulang tahunnya yang ke dua puluh dua, tekadnya dalam menjadi raja bertambah berkali-kali lipat.

Namun kemudian Valias muncul. Memberikan keraguan padanya.

Dia melihat Valias. Mengepalkan tangannya.

"Benar. Aku akan menjadi raja Hayden."

Tidak. Aku akan menjadi raja. Ini adalah keinginanku. Aku tidak akan membiarkan siapapun mengambil posisi itu. Posisi Raja Hayden, adalah milikku.

Frey menunjukkan keyakinannya pada Valias. Dia adalah Raja Hayden. Dia akan menjadi Raja Hayden. Itu adalah hal yang akan terjadi. Frey akan memastikan itu untuk terjadi.

Valias mengangguk. Sejak awal tidak punya keraguan tentang itu. "Ketika Yang Mulia sudah mendapatkan gelar Raja Anda," Valias memberitahukan isi pikirannya. "Tolong berikan posisi perdana menteri pada Oza."

"......"

Frey kemudian mengeraskan suaranya. "Oza???!!"

Frey tercengang. Oza. Anak itu. Teman Kei yang satu itu. Frey mengetahuinya dengan baik. Valias ingin Frey menjadikannya perdana menteri Hayden?

"Kau serius?" tanya ulangnya.

Valias mengangguk.

- Oza selalu ingin menjadi perdana menteri. Dia punya keinginan besar untuk campur tangan dengan pemerintahan Hayden. Kerajaan tempatnya tinggal. Dia ingin merubah Hayden dengan kedua tangannya sendiri. Bukan dengan posisi raja, tapi sebagai menteri. Itu adalah cita-citanya -

Itu yang penulis sampaikan di dalam ceritanya.

Oza adalah seorang anak dengan ide-ide besar.

Oza adalah seorang jenius yang punya banyak ide di dalam kepalanya. Jika Valias bisa membuatnya memberikan ide-idenya untuk Hayden. Hayden akan memiliki keuntungan yang besar. "Kita akan memberikannya posisi itu jika dia mau."

Ketika Hayden sudah bebas dari perang. Hayden akan menjadi kerajaan terkuat di Benua Reiss.

04/06/2022

Measly033