webnovel

Chapter 55 - "Kita mulai rencananya"

"Tuan muda."

Ren menyapa begitu sang tuan muda membuka matanya. Pelayan muda itu merasa jantungnya berhenti berdetak lalu jatuh ke perut ketika Alister mendatanginya dengan senyum. Wakil kepala pelayan Kediaman Bardev tempatnya bekerja itu menghampirinya. Dengan kedua tangan berada di belakang punggung orang tua yang sangat Ren hormati dan kagumi itu bicara padanya.

"Kau akan menggantikanku melayani tuan muda Valias kita."

Puk

Kentang yang ada di sendok Ren terjatuh kembali ke atas piring.

Wajahnya menampilkan ekspresi syok sebelum perubah menjadi pucat. Garis-garis gelap muncul di ruang antara kedua matanya dan wajahnya berubah ungu bercampur hijau. "EH?!!!" dirinya sedang makan sendirian di kamarnya. Kedatangan Alister saja sudah aneh. Dia pikir pelayan seniornya itu hanya akan menyapanya. Meskipun itu belum pernah terjadi sebelumnya. "M- Maksud Anda?"

Alister tetap dengan senyum andalannya. Mengingat dengan baik pertukaran kalimat yang terjadi antara dirinya dan tuan muda kesayangannya.

"Apakah ada pelayan tertentu yang Anda akan pilih?"

"Ya? Tidak."

"Bagaimana dengan Reuben?"

"Reuben? Bukankah dia kepala pelayan?"

"Benar."

"Dia akan sibuk. Aku tidak begitu memerlukan pelayan."

"Dan sayangnya saya tidak bisa membiarkan itu."

Alister merasa terhibur melihat wajah gelap Valias.

"Aku tidak tahu siapa-siapa di sini. Bukankah lebih baik kau yang memilih?"

"Kalau begitu bagaimana dengan Ren?"

"Ren?"

"Apakah Anda ingat pelayan muda yang mengantar Anda kemari di hari tidak terlupakan itu?"

"Apa?"

Alister memberi senyum. Valias kebingungan di tempatnya.

Hari tidak terlupakan?

Jika Valias ditanya hari apa yang akan menjadi hari tak terlupakan baginya sejak dia berada di dunia Kei Patra adalah ketika dia ke tempat tinggal para elf. Tebakan asalnya yang tepat. Membawa dirinya melihat manusia bertelinga runcing itu. "Pelayan yang kutahu hanya kau dan Reuben. Yang mengantarku kemari, bukankah kau?"

"Ren pasti akan sedih jika mendengar itu."

"....."

"Ingat ketika Anda untuk pertama kalinya makan malam bersama keluarga Anda, tuan muda."

"....Oh."

"Bagaimana dengan dia?"

"Hm. Terserah."

"Saya mengerti."

Alister pergi ke salah satu bagian Kediaman Bardev. Bangunan tempat tinggal para pelayan yang bekerja pada keluarga bangsawan itu. Menemui Ren. Memberitahu pelayan muda itu maksud kedatangannya.

Ren menghela nafas.

"Apakah ada masalah?"

"??!!!!"

Ren menghela nafas begitu keras. Dirinya melamun dan lupa bahwa dia sedang berada di ruangan sang tuan muda dari keluarga count Bardev.

"M- Maafkan saya tuan muda." Ren buru-buru membungkuk. Jantungnya berdetak berkali-kali lebih cepat. Hal tadi membuatnya ingin mati saja di tempat.

Sejenak Ren tidak mendengar respon. Tapi kemudian dia mendengar suara Valias.

"Tidak perlu meminta maaf. Meminta maaf untuk apa?"

"Ya?" Ren reflek mengangkat wajahnya melihat Valias yang berada dalam posisi duduk.

Valias berwajah kosong. Dirinya baru bangun dan butuh waktu untuk mengumpulkan segala indra atas keadaan sekitar.

Alister pasti sudah pergi

Karena sang pelayan sudah digantikan oleh seorang pelayan muda. Pelayan yang terlihat seumuran dengannya sebagai Abimala.

Valias merasa haus. "Apakah aku bisa minum?"

"Ya? A, Ah. Iya." Ren merutuki dirinya yang melamun.

Ah aku benar-benar gugup.

Meskipun dia sudah cukup lama bekerja di kediaman Bardev tapi dia belum pernah berhadapan langsung dengan para anggota keluarga bangsawan itu. Dan sekarang dia langsung berhadapan dengan sosok yang lebih dia takuti daripada Count Hadden yang ramah.

Valias mengeluarkan aura menekan sejak awal kemunculannya. Membuat Ren tidak mampu bernafas saking gugupnya.

Ren melihat Valias yang meminum teh di cangkir yang dia berikan. Tangan kiri memegang piring alas kecil sedangkan tangan kanan memegang cangkir.

Dia minum dengan anggun.

Wajah Ren memerah dan dia merutuki pikirannya sendiri.

Valias menyadari kondisi Ren dan menaikkan alisnya.

Dia kenapa?

Valias memandangi hamparan kertas di kamarnya. Lalu mencari keberadaan kertas terjemahan yang kemarin dia buat. Menemukannya di atas meja berlaci di sebelah ranjang.

Valias menaikkan alis. Terpikir untuk melakukan sesuatu. "Ren, benar?"

"Y- ya, tuan muda." Valias menangkap kegugupan dari pelayan muda itu.

"Kau tidak perlu ada untukku."

"Maaf?"

Valias menjawab. "Alister, dia bilang dia tidak ingin aku bergerak tanpa pengawasan. Makanya dia memintamu untuk menggantikannya. Tapi sebenarnya aku bisa melakukan segalanya sendiri. Kau bisa istirahat. Atau melakukan hal lain yang biasa kau lakukan biasanya."

Ren memasang wajah bingung. "Apakah saya melakukan kesalahan?"

Valias menoleh. Menaikkan alis. "Tidak. Aku hanya tidak ingin merepotkan."

Ren terdiam. Mulutnya terbuka tapi tidak mengatakan apa-apa.

Dia tidak merepotkan.

Valias menurunkan kakinya pada lantai. Pergi ke kamar mandi tanpa mengatakan apa-apa. Ren belum sempat melakukan apapun dan Valias sudah lebih dulu menutup pintu. Meninggalkannya berdiri gugup di depan pintu kamar mandi. Tapi dia berhasil menenangkan dirinya setelah beberapa waktu. Melihat Valias membuka pintu dan keluar dengan rambut dan tubuh yang basah.

Alister tidak pernah meletakkan handuk di kamar mandi. Valias akan keluar dengan tubuh basah dan Alister baru akan menyelubunginya dengan kain handuk. Mengeringkannya. Dia sudah terbiasa dengan Alister dan akhirnya dia melakukan hal yang sama dengan Ren. Tapi Ren tidak biasa dengan itu. Ekspresi wajahnya berubah. Melihat Valias tanpa lapisan pakaian.

Tapi kemudian dia melihatnya.

Tubuh yang terlalu kurus untuk bisa disebut sehat. Valias terlihat sakit. Sakit yang membuat siapapun memiliki keinginan untuk memastikan keadaannya untuk baik-baik saja.

Sebuah tangan terulur ke arahnya. Valias meminta handuk. Akan mengeringkan dirinya sendiri. Tapi Ren sudah lebih dulu tersadar dan akhirnya menggunakan handuk di tangannya pada Valias. Valias sudah bisa dibantu—dilayani—jadi dia tidak melakukan apapun lagi.

Tiba-tiba Valias mendapatkan sebuah dorongan untuk melakukan sesuatu. Dia berkata pada Ren begitu dirinya sudah selesai berpakaian. "Kau bisa pergi. Aku ingin keluar."

Ren berwajah terperangah. Melihat Valias yang melangkah ke arah pintu. Meninggalkan dirinya. "A- Apakah saya perlu menyiapkan sesuatu? Mungkin kereta kuda? Pengawal?"

Ren belum pernah melayani seseorang sebelumnya. Dia tidak begitu tahu apa yang harus dia lakukan ketika sang tuan muda bilang ingin pergi. Memikirkan hal-hal yang sekiranya akan dibutuhkan oleh seorang bangsawan ketika ingin keluar dari wilayah kediaman mereka.

Tapi Valias memberitahunya kalau dia tidak membutuhkan apa-apa. "Tidak. Aku hanya akan menemui mage dari istana."

Ren menutup mulutnya. Sudah mendengar tentang keberadaan seorang mage di kediaman tempatnya bekerja. Hal yang sebenarnya belum dia lihat sebelumnya. Dia tau tentang sosok mage tapi belum pernah benar-benar melihat mereka. Karena mereka yang hanya ada di istana sedangkan dirinya belum pernah menginjakkan kakinya di bangunan tempat tinggal para anggota keluarga kerajaan itu. Dibuat teringat dengan desas-desus kabar tentang Raja Chalis yang sudah meninggal. Dan Tuan Muda Valias Bardev, memiliki hubungan kedekatan dengan sang calon raja Hayden Putra Mahkota Frey Nardeen. Ren merasa dirinya diselimuti kekaguman. Tanpa sadar sudah tidak lagi bisa melihat figur Valias karena orang itu sudah pergi meninggalkan ruangan.

Valias menemui Mareen. Menerima keterkejutan dari orang-orang yang sempat berpapasan dengannya. Tidak ada Alister bersamanya. Membuat semua orang merasa bertanya-tanya. Rudiv yang melihat kemunculan Valias di area barak tempatnya tinggal para pelayan dan kesatria langsung menegakkan tubuh setelah sebelumnya bersandar pada tiang penyangga bangunan. Botol alkohol kecil berada di tangannya. "Tuan Muda. Apakah ada yang Anda butuhkan?"

"Aku mencari Nona Mareen," jawab Valias.

Rudiv langsung meraih fokusnya dan memberi Valias bungkukan. "Baiklah. Saya akan memanggilnya. Anda bisa menunggu di sini."

Valias memberi anggukan. Melihat Rudiv yang pergi dia mulai menolehkan kepalanya. Melihat para pelayan dan kesatria yang bersiap-siap untuk melakukan tugas mereka masing-masing di pagi hari.

Mareen muncul tidak lama kemudian. Memberi bungkukan. Dan mengucapkan sesuatu yang tidak diduga oleh Valias.

"Tuan muda. Jika boleh saya ingin ikut bersama Anda ke istana."

Valias menaikkan alisnya. Tapi tetap menjawab. "Baiklah."

Mareen membawa mereka ke depan ruangan Frey. Dia mengucapkan pamit. "Saya akan pergi ke tempat para mage, Tuan Muda."

Valias mengangguk. "Oke."

Mareen pergi dengan langkah yang terlihat sedikit berburu-buru dan Valias menekan kenop pintu. Melihat ruangan yang kosong. Frey tidak ada di tempat duduknya. Dan ada tumpukan pendek dokumen di atas meja. Valias berpikir kalau dirinya datang terlalu pagi. Mendudukkan dirinya di sofa. Tidak merasa masalah sekali dalam menunggu lama.

Suara kenop pintu yang ditekan akhirnya terdengar. Disambut dengan suara Frey yang bicara pada seseorang. "Awasi Wistar agar dia tidak pergi ke Kediaman Bardev. Dia tidak akan membiarkan orang itu beristirahat. Dan beritahu Azna kalau dia bisa membuat bingkisan untuk Valias kalau dia mau. Aku juga punya sesuatu yang akan kuberikan padanya."

Frey muncul dengan Kalim yang tidak ikut masuk ke dalam ruangan. Frey baru akan pergi menghampiri bangku kerjanya ketika dia menyadari keberadaan seseorang di dalam ruangan. Menoleh cepat. Membuat pose tubuh waspada secara spontan. Menyadari bahwa itu Valias dan langsung mengernyit luar biasa dalam. "Kau? S- Sejak kapan kau di sini?"

"Tidak begitu lama," jawab Valias acuh. Mengucapkan sesuatu. "Saya berencana untuk mempercepat beberapa hal."

Frey mengerutkan kening. "Mempercepat?"

"Hal-hal magis yang saya bilang." Valias menyebutkan. "Kita akan mendatangi mereka."

Frey kebingungan di tempatnya. Lalu menyadari Kalim yang masih ada di luar pintu. Memberitahunya untuk pergi. "Kau bisa pergi."

Dia menyadari keterperangahan di wajah Kalim tapi pelayan mudanya itu juga pandai untuk tidak membuat dirinya ikut campur dan hanya menutup pintu.

Frey melihat pintu yang sudah tertutup akhirnya mengembalikan matanya pada Valias. "Kau.. bagaimana kau akan melakukannya?"

"Saya mungkin akan bepergian sedikit."

"Dengan?"

"Dengan saudara Anda." Putra bangsawan itu menjawab.

"Kei?"

Valias mengangguk. Sang tokoh utama tentu saja harus ikut. Frey mencemberutkan wajahnya. "Hanya sehari, kan? Kau akan pergi dan kembali seperti biasanya."

Dibuat terkejut ketika dia melihat Valias menggeleng. "Mungkin kami akan menginap sedikit."

'Kami' yang disebut Valias membuat Frey menyadarkan dirinya pada siapa yang dimaksud oleh orang itu. Kei. "Kau akan pergi dengannya? Hanya berdua?"

Valias memutar bola matanya ke atas. Membuat dirinya menimbang-nimbang sesuatu. "Saya belum memikirkannya."

"Dan barang-barang yang harus kau siapkan. Kau sudah menyiapkannya?"

Valias menaikkan alis. "Belum." Dia menyanggah. "Ini rencana tiba-tiba."

Frey memasang wajah masam. "Memangnya ada rencana yang 'bukan rencana tiba-tiba'? Kau selalu memberitahuku setiap hal secara mendadak. Membuatku merasa diriku sedang dihukum untuk punya serangan jantung setiap harinya." Frey menyentuh dada bagian kirinya. Membuat wajah mengasihani diri sendiri.

Valias menaikkan alis. Tapi tidak menanggapinya. Di sisi lain menanyakan hal yang sebelumnya terbersit di kepalanya. "Yang Mulia. Apakah ada sesuatu yang terjadi di antara para mage?"

Frey mengangkat wajahnya. Tangan masih berada di dada. "Mereka tampaknya memiliki sesuatu untuk dibicarakan. Mungkin berkaitan dengan tempat tinggal mereka."

Tempat tinggal para mage. Menara di bagian tenggara Benua Reiss.

Valias merasa dirinya tidak akan punya urusan dengan tempat tinggal para mage itu. Menanyakan hal lain. "Bagaimana dengan Nona Durah?"

"Wanita dari Solossa itu? Aku belum melihatnya lagi. Kalim pelayanku sudah menunjuk pelayan istana untuk memberinya arahan."

Valias memikirkan kapan dia akan memanfaatkan keberadaan wanita itu untuk keuntungan Hayden. "Yang Mulia. Apakah ada tempat yang mencurigakan di Benua Reiss?"

Frey menaikkan alis. "Mencurigakan?"

Valias mengangguk. Frey berpikir. "Aku tidak tahu dengan kerajaan lain. Para penulis buku selalu menjuduli buku mereka Benua Reiss tapi sebenarnya yang ada di dalam buku buatan mereka selalu hanyalah hal yang sejak awal sudah diketahui oleh semua orang dan hanya sebatas pada wilayah kekuasaan Hayden."

Valias mengeluarkan gumaman mengerti. Seseorang tidak bisa melakukan pencarian di wilayah lain. Karena kerajaan-kerajaan di wilayah Reiss adalah kerajaan yang menutup diri dari kerajaan luar. Tidak ada yang tahu apapun selain yang berada di dalam ruang lingkup wilayah kerajaan tempat tinggal mereka sendiri. Dan jika Valias ingin mengambil hal-hal yang disebutkan di dalam bacaan situs itu, maka dia harus melakukannya sebagai seseorang tanpa identitas. Hayden tidak boleh terlibat. "Setiap hal yang akan saya lakukan akan dianggap tidak ada hubungannya dengan Hayden."

Hal itu membuat Frey mengerutkan kening. Merasa dirinya merasakan firasat buruk. "Kau, bencana seperti apa yang akan kau buat?"

Valias menaikkan kedua alisnya.

Bencana? Bencana apa? "Bencana apa Yang Mulia?"

Frey memasang wajah jelek. "Aku harap kau tidak akan membuatku mati oleh serangan jantung, Tuan Muda Keluarga Bardev."

Valias tidak merubah ekspresinya. "Anda punya riwayat penyakit jantung?"

"Itu–" Wajah Frey berubah frustasi. Begitu frustasi hingga dia menutup wajahnya dengan kedua tangan sembari berdiri di dekat pintu ruang kerjanya. "Tidak. Syukurlah tidak."

"Anda tidak boleh menjadikan penyakit jantung sebagai bahan mengkhawatirkan seseorang ketika orang itu tidak benar-benar memilikinya." Valias mencemberutkan wajahnya protes.

Frey membuka sedikit kedua tangan yang ada di wajahnya.

"Kau–" ingin balas protes tapi akhirnya memilih menyerah. Menghela nafas frustasi. "Baiklah, baiklah. Aku minta maaf."

Lalu akhirnya bertanya. "Jadi, apakah ada tujuan di balik kedatanganmu kesini?"

Valias meletakkan sikutnya di atas lengan sofa. Menyandarkan kepala pada tangannya yang ditekuk. "Sedikit bosan."

Frey terguncang.

"Apakah kau orang yang mudah bosan?"

Valias memberi lirikan pada Frey. Lalu menumpahkan beban kepala pada tangannya sendiri lagi. "Tidak."

Dia tidak pernah bosan.

Karena ketika dia sebagai Abimala, dia selalu punya sesuatu untuk dilakukan. Tapi sekarang, ketika sebuah hp bahkan tidak ada bersamanya, Valias menemukan dirinya berada di situasi yang tidak bisa dia terima.

Dia juga tidak bisa membuat dirinya berkutat dengan kertas-kertas milik Valias Bardev. Merasakan kejenuhan dari itu. Muncul keinginan di dalam dirinya untuk melakukan sesuatu yang berbeda.

Dia melihat pada Frey. "Yang Mulia. Beri saya sesuatu untuk dikerjakan."

Frey mematung di tempatnya.

Orang ini, dia kenapa?

Tapi kemudian Frey merasa dirinya punya ide. Dia punya sesuatu yang ingin dia tunjukkan pada laki-laki itu. "Bantu aku membaca kertas-kertas proposal itu."

Valias menarik kepalanya dari bersandar. Wajah datarnya tetap menunjukkan antusiasme. Frey merasa dirinya dibuat tercengang.

Sejak kapan ada orang yang suka dibuat bekerja?

Dia mengesampingkannya dan menggunakan tangannya untuk memberitahu Valias bahwa dia bisa ikut dengannya ke meja kerja miliknya.

04/06/2022

Measly033